Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 10 Desember 2016

Trump dan Politik LN Bebas Aktif (ALEKSIUS JEMADU)

Di tengah berbagai ketidakpastian setelah Donald Trump terpilih sebagai presiden Amerika Serikat, muncul pertanyaan tentang masa depan politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif.

Apakah penggunaan prinsip ini bisa membantu Indonesia mengoptimalkan pencapaian tujuan kepentingan nasionalnya di tengah konstelasi politik dan ekonomi baru tingkat regional ataupun global?

Sesuai amanat Undang-Undang Hubungan Luar Negeri Nomor 37 Tahun 1999, sampai saat ini Indonesia masih memegang teguh prinsip politik luar negeri bebas aktif. Sikap ini dianggap sebagai pilihan paling rasional demi pencapaian kepentingan nasional Indonesia.

Sebagai negara terbesar di Asia Tenggara dari segi luas wilayah, jumlah penduduk, dan skala ekonomi, Indonesia sadar bahwa negara-negara besar, seperti AS dan Tiongkok, akan terus berusaha menarik Indonesia masuk ke dalam wilayah pengaruh masing- masing kedua negara.

Menggaet Indonesia

Setelah keputusan Mahkamah Arbitrase Internasional (PCA) yang menolak klaim kedaulatan sepihak Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan (LTS) dikeluarkan, AS sesungguhnya mengharapkan Indonesia mengeluarkan pernyataan tegas dan eksplisit terkait penolakan Tiongkok yang dianggap melecehkan wibawa hukum laut internasional. Nyatanya Indonesia hanya mengeluarkan pernyataan yang bersifat umum dan normatif agar tidak menyudutkan pemerintahan Beijing. Sikap lunak yang sama terhadap Tiongkok juga tampak dalam komunike bersama yang dikeluarkan setelah KTT ASEAN di Vientiane, Laos, pada September lalu.

Tiongkok juga, dengan caranya, berusaha untuk menarik Indonesia ke dalam wilayah pengaruhnya. Meskipun Tiongkok mendeklarasikan cakupan sembilan garis putus (nine-dash line) di LTS yang menjangkau wilayah sekitar Kepulauan Natuna, Tiongkok tetap mengakui kedaulatan Indonesia atas Natuna dan status Indonesia sebagai negara non-claimant.

Menariknya pada saat yang sama Tiongkok juga berusaha menggerogoti kepemimpinan Indonesia di ASEAN dengan mengajak Kamboja dan Laos untuk lebih mengutamakan dukungan terhadap Beijing daripada solidaritas ASEAN dalam menyikapi konflik di LTS.

Sikap agresif Tiongkok di LTS yang berbarengan dengan sikap Trump yang terkesan ingin "mundur" dari Asia membuat sekutu-sekutu AS di wilayah ini, seperti Jepang, Korea Selatan, dan Australia, mulai khawatir tentang isu kebebasan berlayar (freedom of navigation) di LTS. Kawasan laut itu merupakan jalur perdagangan strategis bagi ketiga negara tersebut.

Mengingat pola konflik teritorial dan historis di Asia Timur, Jepang juga cemas terhadap implikasi jangka panjang kebijakan inward-looking Trump. Pada saat yang sama, Korsel juga masih membutuhkan perlindungan AS terhadap ancaman nuklir Korut.

Memang masih terlalu dini untuk memastikan apa yang akan dilakukan oleh Trump dengan politik luar negeri AS di Asia Pasifik. Namun, tanda-tandanya sudah terlihat. TPP (Trans-Pacific Partnership) yang tadinya diandalkan oleh Presiden Barack Obama sebagai pilar perdagangan dan investasi AS dalam memanfaatkan momentum pertumbuhan ekonomi Asia telah ditinggalkan Trump.

RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership) sebagai kerja sama perdagangan yang lebih longgar dan akomodatif diperkirakan akan terus dipromosikan. Tiongkok bahkan tampil sebagai pendukung utamarencana yang lebih luas dan inklusif, yaitu FTAAP atau Free Trade Area of the Asia Pacific.

Navigasi bebas aktif

Mencermati perubahan lingkungan strategis di atas, apa yang harus dilakukan Indonesia dengan prinsip politik luar negeri bebas aktif?

Jelas terlihat daya tarik Indonesia tidak hanya dari segi ekonomi, tetapi juga strategis keamanan. Posisi Indonesia sebagai kekuatan menengah (middle power) di kawasan menjadi sangat penting (indispensable) karena berpeluang tampil sebagai inisiator pemeliharaan stabilitas keamanan regional yang dibutuhkan semua pihak.

Dalam konteks itu, Indonesia yang berprinsip menjaga jarak yang sama (equal distance) dengan kekuatan-kekuatan besar memiliki soft poweruntuk memainkan peran yang konstruktif di tengah kegalauan negara-negara tetangganya.

Dalam kaitan ini, doktrin keseimbangan dinamis (dynamic equilibrium) yang pernah dilontarkan oleh mantan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa tetap relevan untuk digunakan.

Ada beberapa catatan penting yang bisa menjadi masukan bagi pemerintah dalam menavigasikan pelaksanaan politik luar negeri bebas aktif. Pertama, konsistensi Indonesia dengan prinsip ini justru menjadikannya sebagai mitra tepercaya (credible partner) dan dapat diterima oleh semua pihak.

Kedua, dalam konteks kekinian, prinsip bebas aktif tidak lagi dibingkai dalam pertentangan ideologis kapitalisme versus komunisme, tetapi kombinasi yang cerdas antara kekayaan imajinatif tradisi politik luar negeri warisan Mohammad Hatta dan optimalisasi pencapaian kepentingan nasional.

Ketiga, melalui rangkaian pertemuannya dengan pimpinan Beijing dan Washington DC, tampaknya Presiden Joko Widodo telah cukup piawai mengelola politik luar negeri bebas aktif sambil mengoptimalkan pencapaian kepentingan nasional Indonesia dalam bidang ekonomi.

Keempat, meskipun ada upaya memecah belah ASEAN, Indonesia harus tetap mempertahankan kompatibilitas antara politik luar negeri bebas aktif dan kapitalisasi platform regional ASEAN demi meningkatkan daya tawar terhadap kekuatan-kekuatan besar di kawasan ini.

Akhirnya, ketidakpastian yang ditimbulkan oleh perubahan kebijakan luar negeri AS di bawah Donald Trump di Asia Pasifik justru bisa menjadi peluang bagi Indonesia untuk memainkan peran yang konstruktif sambil mengoptimalkan pencapaian kepentingan nasionalnya. Semoga.

ALEKSIUS JEMADU

Guru Besar Politik Internasional Universitas Pelita Harapan Karawaci, Tangerang

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 Desember 2016, di halaman 7 dengan judul "Trump dan Politik LN Bebas Aktif".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger