Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 16 Januari 2017

TAJUK RENCANA: Trump dan Status Jerusalem (Kompas)

Keinginan presiden terpilih AS Donald Trump untuk memindahkan Kedubes AS di Israel dari Tel Aviv ke Jerusalem membunuh proses perdamaian.

Kita katakan "membunuh" karena kebijakan tersebut, apabila benar-benar diwujudkan, justru akan mengobarkan permusuhan, melanggengkan konflik, dan semakin menjauhkan Timur Tengah dari perdamaian. Dengan demikian, langkah tersebut akan semakin menyuramkan masa depan perdamaian Timur Tengah, yang hingga kini masih terus diupayakan untuk terwujud.

Jerusalem adalah salah satu dari sekurang-kurangnya empat persoalan utama yang menjadi penghambat terwujudnya perdamaian di Timur Tengah. Ketiga persoalan lainnya adalah menyangkut pengungsi, batas negara, dan keamanan. Hingga kini, dari perundingan ke perundingan, keempat masalah itu belum bisa dipecahkan; belum tercapai kesepakatan antara Israel dan Palestina.

Harus diakui bahwa status legal Jerusalem hingga sekarang ini menjadi pusat perdebatan di kalangan para politisi dan juga ilmuwan. Mengapa? Oleh karena tidak ada dokumen legal yang secara tegas dan jelas mendudukkan status Jerusalem. Dalam setiap perundingan antara Israel dan Palestina, masalah status Jerusalem itu selalu "dipinggirkan" atau mungkin lebih tepatnya "ditangguhkan" pembahasannya. Misalnya, dalam Kesepakatan Oslo 1993, hal tersebut terbaca.

Oleh karena itu, tidak ada perjanjian, baik internasional maupun bilateral, yang mengikat secara hukum tentang status Jerusalem. Akan tetapi, pada tahun 1980, secara sepihak, Knesset (Parlemen) Israel menyatakan bahwa Jerusalem menjadi "ibu kota tidak dapat dibagi dan abadi" Israel, termasuk wilayah pendudukan yang direbut dalam perang 1967. Yang dimaksudkan wilayah pendudukan dalam hal ini adalah Jerusalem Timur.

Akan tetapi, tidak ada satu negara pun yang mengakui klaim Knesset tersebut, yang mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel. Bahkan, PBB pun menyatakan bahwa keputusan Knesset itu tidak berlaku. Tidak ada satu negara pun yang menempatkan kedubesnya di Jerusalem meskipun Bill Clinton dan George W Bush menyerukan pemindahan kedubes AS ke Jerusalem; dan sekarang dilakukan oleh Trump.

Pada Oktober 2009, Sekjen PBB Ban Ki-moon memperingatkan bahwa Jerusalem harus menjadi ibu kota, baik Israel maupun Palestina. Ini berarti, tidak bisa Israel mengklaim secara sepihak sebagai "pemilik" Jerusalem, dan tidak bisa pula AS secara mata gelap memindahkan kedutaan besarnya dari Tel Aviv ke Jerusalem, karena status Jerusalem hingga kini tetap menjadi isu krusial.

Karena itu, seperti di atas sudah disebutkan, langkah Trump justru akan mematikan proses perdamaian dan akan mengobarkan api ketegangan dan permusuhan.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 Januari 2017, di halaman 6 dengan judul "Trump dan Status Jerusalem".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger