Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 13 Februari 2017

Medsos, Pantaskah Dilarang? (RADHAR PANCA DAHANA)

Persoalannya bukan sekadar hoax, macam berita keliru, berita palsu, berita tipu hingga pengelabuan, pengeliruan atau menyalahartikan data dengan sengaja. Media sosial alias medsos yang menjadi salah satu puncak pencapaian teknologi komunikasi (plus informasi) yang berbasis pada ilmu komputasi, algoritma, dan sebagainya, kini bukan saja kita puji, kita selebrasi, bahkan kita legitimasi dengan segala macam bentuk legalisasinya. Padahal, justru di situ masalah terbesar bermukim sebenarnya.
HANDINING

Sebagian (besar, saya kira) dari kita—para akseptor atau selebran (celebrant) medium komunikasi terkini ini—antara lain melihat medsos sebagai sarana sosial, bahkan kultural, paling mutakhir untuk mengimplementasikan apa yang kita sebut nilai dan hak dasar manusia. Sebutlah seperti hak untuk berpendapat, bicara, berekspresi, hingga pada individual/hak asasi. Dengan medsos kita sebagai manusia seakan mendapatkan wadah sempurna mengejawantahkan problem ontologis-filosofis purba tentang eksistensi "aku", ecce homo, apa yang menjadi "gue banget", gitu lo.

Inilah titik kulminatif (bisa jadi sebagian menganggapnya titik iluminatif) di mana individu mendapatkan kekuatan dan keberadaannya yang tak terusik (indérangeable). Sang individu menjadi semacam penguasa sekurangnya atas dirinya sendiri. Ia seperti pembebasan manusia dari semua penjara segala nilai, norma atau etika yang dibentuk oleh adat/tradisi, agama, hukum positif, dan sebagainya, yang selama ini menelikung kebebasan dan keberadaannya. Manusia atau pribadi mencapai puncak kejayaannya. Belum ada presedennya.

Maka, pada saat yang bersamaan, medsos pun memberi ruang, waktu dan peluang seluas imajinasi—dan kita semua melegitimasi serta melegalisasinya—untuk setiap orang menyatakan kebenarannya sendiri. Bahkan, kebenaran yang sangat personal, preferensial.

Apa yang selama ini menjadi acuan, tuntunan, atau pedoman (karena konsensus pada tetua sepanjang sejarah kebudayaan/peradaban) kini jatuh pada tolok ukur preferensi-per-orang (PPO). Bukan hanya kebaikan, kebenaran, melainkan juga keindahan/estetika, keharusan/kewajiban, dan seterusnya. Apabila ada orang lain mengatakan "itu keliru", "yang baik/benar bukan itu", "masak keindahan atau estetika seperti itu", dan sebagainya, PPO akan membalas dengan santai: "terserah lu", "siapa elo", "emang gua pikirin", "itu urusan lo", "lo gue end", dan sebagainya.

Rimba virtual

Tunailah sudah. Kita indérangeable, tak satu pun pihak dapat mencegah kita memiliki apa yang menurut kita baik, buat kita pribadi. Tak peduli yang lain, apa pun mereka, entah kiai atau rohaniwan besar, cendekiawan atau budayawan besar, politikus atau negarawan agung, pak camat atau presiden, "lo gue end". Luar biasa. Inilah dia sesungguhnya praksis dari jargon rakyat untuk, dari dan oleh rakyat. Demokrasi? Jreng!

Apa Anda mulai dapat meraba di mana persoalan kritis dan krisisnya?

Ya, saya kira, dengan sedikit kecerdasan akal dan adab kita mulai mengerti. Hak manusia, termasuk yang kita sebut "asasi", hingga realitas ideal dari ideologi yang kita sebut demokrasi, jika terejawantah sebagaimana terilustrasi di atas, tentu tidak akan memproduksi kebaikan, order, atau tatanan yang membuat kita menjadi masyarakat, jadi modern, beradab. Sebaliknya, PPO atau kebenaran-preferensial akan menciptakan kekacauan, chaos dalam acuan; menciptakan tak hanya ironi, tetapi juga tragedi bahkan involusi dalam tubuh (manusia/masyarakat) kita sendiri.

Tragik hidup atau tragedi sosial terjadi, dan mulai kita rasakan, kita ber-medsos menjadi sarana publikasi ampuh, bahkan di banyak kalangan menjadi alternatif, bahkan substitusi dari kehebatan media massa konvensional (mainstream) untuk klaim- klaim kebenaran hingga kejujuran walau sesungguhnya ia palsu, penuh tipu, manipulatif, koruptif, dan seterusnya. Namun, begitu ia menyangkut pengikut (followers) atau peserta dan penanggap yang masif, menjadi topik tren (trending topic), sebagian dari kita—dengan tingkat keawamannya—menganggap dan menerima semua itu sebagai hal yang "benar dan baik". Hal yang walaupun seorang presiden pun tak akan bisa menyanggah atau "meluruskan"-nya.

Maka, yang berlaku kemudian adalah hukum "rimba virtual", di mana jumlahfollowers adalah penanda utama ke-"kuasa"-an (akan kebenaran): seberapa besar followers sebesar itu pula kuasa. Dan kita mafhum bersama, dalam negeri yang sesungguhnya masih digenggam adab "mayoritas bisu" ini, mereka yang sibuk dan getol menjadi pengikut atau penanggap sebuah (trending) topik adalah mereka yang menganggap atau teryakini dengan semacam false adagium: katakanlah (siapa) dirimu. Semakin bicara (seakan) semakin kita menegaskan (siapa) kita. Sebuah sikap yang berasal dari internalisasi pemahaman, akal adalah puncak eksistensi manusia dan manusia yang berakal adalah manusia yang bicara, berkata-kata.

Dalam realitas internal manusia itulah, siapa bicara banyak, terlebih tampak meyakinkan, akan banyak yang menyertainya, akan segera menjadi topik tren. Kemudian bahkan media massa tradisional pun mengikutinya, menjadikannya acuan sebagai hot news, bahkan berita utama, walaupun kadang peserta topik itu hanya terbilang puluhan ribu dibandingkan dengan ratusan juta pemilik telepon seluler atau jumlah penduduk negeri ini. Tak terelak, kita kerap terjebak dalam isu-isu yang sesungguhnya tak terjustifikasi, bahkan terfalsifikasi, termanipulasi.

Apa yang terjadi sepanjang proses pemilihan presiden di Amerika Serikat sebagian juga disebabkan oleh keadaan/kenyataan di atas. Terlibatnya Wikileaks, Snowden, hingga intelijen Rusia dalam peredaran isu hingga penciptaan topik tren, yang sebagianhoax, berita bohong, diyakini dan dibuktikan menjadi modal kemenangan (fake) Donald J Trump. Beberapa radio yang juga menggunakan modus dan sentimen yang sama, dituding beberapa ahli sebagai penyebab lain (baru) dari tergelincirnya pemahaman dan kesadaran publik.

Ketika hal yang sama, dalam bentuk dan mungkin gaya yang berbeda terjadi di negeri ini, kita menyaksikan bagaimana data yang keliru (fake di atas) bukan melulu menciptakan kesadaran keliru (fake consciusness), tetapi juga tokoh, anutan, otoritas yang juga keliru (fake hero/personnage). Apabila kita seksamai di dunia virtual itu, hal-hal tersebut bermunculan di segala lapangan atau dimensi kehidupan: intelektual, seni, budaya, hingga spiritual/agama.

Akibat yang menjadi giliran dari semua fenomena itu adalah runtuhnya hampir seluruh acuan/panutan/otoritas tradisional, termasuk guru, orangtua, pejabat publik, ahli/tokoh agama, bahkan lembaga-lembaga bergengsi: mulai dari parlemen, menteri, mahkamah hingga lembaga agama. Jika semua hal itu terjadi, biarpun mungkin masih dalam bentuk gejala, tetapi menjadi kecenderungan yang luar biasa, seluar biasa pertumbuhan dawai atau akses gawai(gadget) teknologi ini, dapatkah kita membayangkan bersama (dengan ruang imajinasi kita yang kian terpangkas ini) akan tragedi yang mungkin terjadi di negeri ini? Dalam diri bangsa ini? Bahkan, dalam diri kita?

Larang medsos

Saya tidak akan mengurai dampak atau ekses di atas. Kecerdasan adab, juga rasionalitas umum kita, jika masih cukup terpelihara, dapat memberi jawaban memadai walau mungkin akurasinya minim. Apa yang jelas adalah kita tentunya tidak menghendaki keruntuhan otoritas tradisional, yang dengan letih (bersama keringat, darah, dan air mata) ditumbuhkan dan dijaga oleh para pendahulu kita menjadi awal dari keruntuhan kita sebagai manusia, sebagai bangsa, apalagi negara (yang memang sudah rapuh ini).

Tentu saja kita tidak akan bisu menyaksikan, apalagi terlibat, atau justru menjadi provokator atau penyebab dari keruntuhan itu. Kita harus berbuat. Tidak perlu radikal atau revolusioner karena sesungguhnya secara mental juga spiritual kita tidak siap untuk itu. Sederhana saja, tindakan dan perbuatan yang perlu kita lakukan untuk menangkal atau mencegah kecenderungan di atas: larang medsos!

Tunggu, tunggu dulu. Jangan reaksinya berlebihan begitu, jangan emosi dulu, seolah saya ini anti teknologi, anti kemajuan, anti hidup, dan anti orang banyak. Tentu saja tidak. Semua hal itu justru saya dukung dengan kuat, sejak saya paham apa itu pengetahuan dan pengalaman. Saya mendukung semuanya dengan kebaikan, dalam ekspresi lain: semua hal tersebut harus menjadi sumber atau bahan untuk memproduksi kebaikan. Teknologi, kemajuan, hidup, dan orang banyak harus menciptakan kebaikan karena pada dasarnya semua bermula dari hal yang sama.

Dalam soal teknologi dan kemajuannya, akan menjadi bijaksana dan produktif—juga konstruktif—jika kita mampu seleksi, apresiasi, dan aplikasi seluruh potensi kebaikannya secara optimum. Bukan potensi negatif-destruktifnya. Karena, pahamlah kita, walau sejauh ini belum ada ilmu dilahirkan untuknya, setiap hasil teknologi, kemajuan (juga kebudayaan itu sendiri) sebenarnya juga memiliki sisi negatif dan destruktifnya. Kita semua menciptakan kebudayaan sebenarnya terutama juga untuk menolak, mengatasi, dan mengantisipasi produk (negatif) dari perilaku kita sendiri itu.

Maka, medsos harus disingkirkan sisi negatif-destruktifnya. Sekurangnya pada bagian dari rakyat kita yang belum paham, belum mampu mengidentifikasi dimensi negatif itu, juga belum dapat dituntut tanggung jawabnya jika mereka—sadar atau tak sadar—memproduksi atau mereproduksi, menyebarluaskan atau justru kian menyesatkan sisi negatif medsos. Dan, orang-orang ini adalah golongan yang kita anggap—baik secara hukum positif, agama maupun tradisi—termasuk dalam generasi remaja. Mereka yang belum akil-balig, tepatnya belum berswa-identitas (KTP), atau secara demografis belum lulus sekolah menengah.

Pada merekalah medsos bukan lagi dibatasi, tetapi dilarang. Karena apa yang ada dalam diri mereka, baik pengetahuan, pengalaman, kemampuan menimbang-mengambil-keputusan, maupun mengomprehensi keluasan dampak dari medsos masih sangat minim. Tentu hal yang wajar secara alamiah. Dan hukum atau agama sulit untuk meminta pertanggungjawaban material pada mereka. Biarkanlah dunia itu menjadi "rimba kehidupan"—walau virtual—yang menjadi dunia masa nanti mereka, sebagaimana mereka kita didik dan ajarkan, juga protek, untuk siap menjalani "rimba hidup faktual" yang sesungguhnya nanti.

Dan rasanya tak ada ruginya. Seorang anak (remaja) akan jadi korban kekejaman kita, ketika belum habis masa pubertas atau belum tangkas tangannya memegang pisau masak, sudah harus kita cemplungkan, tepatnya: kita biarkan tercemplung, dalam dunia entah-berentah virtual di atas. Dunia yang masih dikuasai imajinasi dan nonsense(tanpa makna), yang luasannya lebih tak bertepi ketimbang daripada kehidupan sebenarnya.

Menjaga dan mempersiapkan mereka sebenarnya juga menjaga diri dan bangsa kita, mempersiapkan mereka menghadapi masa nanti yang tak terperi. Masihkah kita tak mampu melihatnya, juga dengan mata batin kita?

RADHAR PANCA DAHANA, BUDAYAWAN

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 13 Februari 2017, di halaman 6 dengan judul "Medsos, Pantaskah Dilarang?".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger