Kecurangan (election fraud) terjadi tak hanya dalam pilkada serentak yang baru saja dilaksanakan, tapi hampir di setiap pemilu. Seakan-akan kecurangan ini menjadi bagian dari strategi pamungkas untuk memenangkan calon tertentu ketimbang menggunakan cara yang dibenarkan oleh undang-undang guna mendapatkan suara pemilih.
Padahal, pilkada ini merupakan refleksi kesepahaman antar-individu di ranah publik untuk memberi legitimasi pemimpin yang terpilih berdasarkan prinsip jujur dan adil. Sangat di sayangkan jika itu harus dinodai dengan cara-cara di luar aturan yang telah disepakati. Umumnya kecurangan dilakukan secara sistematis dengan modus "seolah-olah" ini terjadi karena kesalahan administrasi pilkada atau kelalaian penyelenggara. Pilihan alasan ini dimaksudkan agar tak ada protes dan tuntutan yang berlebihan sehingga dapat membatalkan kemenangan calon yang melakukan kecurangan tersebut.
Tidaklah mengherankan jika dalam setiap pilkada yang muncul adalah tudingan terjadinya kecurangan oleh pihak tertentu. Dampaknya muncul sikap penafian terhadap hasil pilkada dari pihak yang merasa dicurangi. Yang paling ekstrem, akan mencetuskan penolakan terhadap keputusan KPU disertai dengan kerusuhan massa dan kekerasan yang melibatkan pendukung calon yang kalah. Dalam catatan sejarah pilkada di Indonesia, kerusuhan yang terjadi selalu diawali dengan perilaku curang.
Sangat mengherankan, antusiasme publik mengikuti pilkada justru harus dicederai dengan perbuatan curang oleh kelompok tertentu. Kelompok ini jelas memiliki hubungan dengan tim pemenangan calon kepala daerah. Idealnya, kecurangan dalam pilkada dapat dicegah karena setiap tahapan pemilihan yang dilaksanakan selalu diawasi, mulai dari pemutakhiran data pemilih hingga ke penghitungan suara. Namun, mengapa masih saja terjadi kecurangan tersebut?
Penyebab dan penegakan hukum
Paling tidak ada empat faktor yang berkaitan langsung dengan perbuatan curang tim pemenangan calon kepala daerah. Pertama, rendahnya tanggung jawab bersama terhadap keberhasilan pelaksanaan demokrasi elektoral yang menjadi pilihan masyarakat. Sungguh disayangkan, komitmen bersama yang sudah terbangun selama ini, yaitu menolak dikembalikannya sistem pemilihan kepala daerah melalui DPRD, harus dihancurkan oleh perbuatan curang ini.
Sangat jelas perbuatan curang itu telah memberikan pengaruh buruk pada perkembangan demokrasi di Indonesia. Tanpa disadari, kepercayaan masyarakat terhadap pilkada akan menurun. Jika ini yang terjadi, tentu suatu kemunduran dalam berdemokrasi yang sudah kita rasakan sejak pemerintahan Orde Baru mundur dari kekuasaan politiknya.
Kedua, tidak profesionalnya penyelenggara pilkada. Profesionalisme ini dapat dilihat dari kemampuan penyelenggara melaksanakan tugas kepemiluannya mulai dari tingkat KPPS hingga ke komisioner dalam melaksanakan tahapan pilkada. Dari pengamatan sekilas, refleksi ketidakprofesionalan ini dapat dilihat dari keberpihakan penyelenggara kepada calon tertentu. Indikasi lain adalah kurangnya surat suara sehingga pemilih tak dapat menggunakan suaranya, penggunaan data orang lain untuk mencoblos, adanya pemilih ganda, migrasi pemilih ke TPS di luar domisili mereka, tidak tersebarnya formulir C6 untuk masyarakat, dan manipulasi hasil penghitungan suara.
Memang tak mudah mencari penyelenggara yang profesional dan mampu melaksanakan pekerjaannya sampai selesai sesuai ketentuan yang ada, terutama di tingkat KPPS. Sialnya, justru tingkat KPPS inilah yang cenderung terabaikan dan luput dari Komisi Pemilihan Umum (KPU). Padahal, KPPS adalah titik krusial terjadinya kecurangan dalam pilkada. Walaupun ada antisipasi untuk menurunkan praktik kecurangan dengan melibatkan saksi, sering kali praktik manipulatif yang dilakukan penyelenggara sulit diketahui publik.
Ketiga, hasrat besar tim sukses untuk memenangkan calonnya dengan segala cara. Hal ini terjadi karena adanya "kontrak" yang harus dilaksanakan agar mereka mendapat "bagian" dari kemenangan yang dicapai calon kepala daerah yang mereka dukung. Akibatnya, politik menghalalkan segala cara akan dilakukan, termasuk menafikan aturan perundang-undangan dan melakukan intimidasi kepada pemilih.
Selain itu, modus mendatangkan pemilih siluman dan melakukan politik uang juga sering ditemukan. Celakanya, calon kepala daerah yang diharapkan bisa mencegah perbuatan curang tim pemenangan ini cenderung pasif dan menerima apa pun yang akan dilakukan oleh timnya agar bisa menang dalam pilkada.
Keempat, lemahnya pengawasan dan tidak adanya upaya penegakan hukum bagi yang melanggar aturan pilkada secara optimal. Banyak kecurangan dilaporkan masyarakat dan menjadi temuan panitia pengawas pilkada, tetapi jarang ditindaklanjuti menjadi kasus hukum yang berimplikasi pada pemidanaan. Bagi pelaku sendiri, keadaan ini tentu menguntungkan sehingga tidak ada rasa takut dan rasa bersalah ketika berbuat curang dalam pilkada berikutnya.
Praktik curang ini harus menjadi pelajaran penting bagi semua pihak yang terlibat dalam pilkada. Tindakan pencegahan harus dilakukan tidak hanya oleh penyelenggara, tetapi juga masyarakat yang menjadi aktor utama keberhasilan pelaksanaan pilkada. Membangun kesadaran politik masyarakat menjadi salah satu cara mencegah munculnya kecurangan ini. Paling tidak, dengan meningkatnya pemahaman masyarakat akan menutup celah bagi sejumlah pihak yang ingin merusak sistem demokrasi yang sudah terbangun ini.
Apalagi, dalam waktu dekat juga akan berlangsung pilkada putaran kedua di DKI Jakarta yang akan dilanjutkan dengan pelaksanaan pilkada serentak gelombang ketiga pada bulan Juni 2018. Idealnya, harus ada upaya sungguh-sungguh untuk meniadakan kecurangan ini agar kepercayaan publik terhadap pilkada sebagai mekanisme memilih pemimpin secara jujur dan adil tetap terpelihara.
ASRINALDI ASRIL
Dosen Ilmu Politik Universitas Andalas
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 Februari 2017, di halaman 7 dengan judul "Praktik Curang Pilkada Kita".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar