Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 15 Februari 2017

TAJUK RENCANA: Hidupkan Dialog 6 Pihak (Kompas)

Dengan mengabaikan sanksi Perserikatan Bangsa-Bangsa dan kecaman internasional, Korea Utara kembali menguji coba rudal balistik, akhir pekan lalu.

Setelah dua kegagalan uji coba pada Oktober tahun lalu, Pyongyang mengklaim berhasil meluncurkan Pukguksong-2, rudal jarak menengah yang bisa memuat hulu ledak nuklir. Rudal itu menempuh jarak 500 kilometer sebelum jatuh di Laut Jepang atau Laut Timur.

Yang mengkhawatirkan bukan soal jarak tempuh, melainkan penguasaan teknologi Korut untuk meluncurkan rudal dengan sistem "pelontar dingin". Peluncuran rudal sebelumnya menggunakan bahan bakar cair yang proses pengisiannya membutuhkan waktu berjam-jam dan bisa terpantau oleh satelit.

Jika klaim Korut benar, Pukguksong-2 menggunakan roket berbahan bakar padat, teknologi yang dikembangkan dari rudal yang diluncurkan dari kapal selam (SLBM) hasil uji coba Agustus 2016. Prosesnya menjadi lebih cepat dan bisa diluncurkan dalam hitungan menit. Jepang, Korea Selatan, bahkan Amerika Serikat pantas merasa terancam karena waktu untuk pencegahan semakin singkat.

Digabung dengan klaim sebelumnya bahwa Pyongyang telah sukses menguji coba bom hidrogen dan uji ledakan nuklir, Korut semakin dekat memiliki rudal berhulu ledak nuklir. Perdamaian kawasan pun terancam.

Dewan Keamanan PBB dan komunitas internasional beramai-ramai mengecam aksi Korut. Namun, Presiden AS Donald Trump yang sebelumnya sangat reaktif terlihat menahan diri. Tak lama setelah insiden ini, dia hanya membaca pernyataan sepanjang 23 kata, menegaskan tekad AS mendukung Jepang, dan tidak menyebut nama Korut sama sekali. Perubahan sikap ini bisa dilihat sebagai upaya Trump tidak termakan provokasi Korut. Namun, masih ditunggu bagaimana kebijakan pemerintahan baru AS. Tom Karako, pakar proliferasi dari Center for Strategic and International Studies di Washington DC, menyebut, strategi mantan Presiden Barack Obama untuk bersabar terbukti tidak berhasil. Pemerintahan Trump perlu pendekatan baru untuk menanggapi program nuklir Korut.

Berkaca pada keberhasilan perundingan program nuklir Iran dengan enam negara—AS, Rusia, Inggris, Perancis, China, dan Jerman tahun 2015—maka mengajak Korut kembali ke meja perundingan jadi pilihan terbaik. Apalagi, China menyebut salah satu penyebab friksi ini adalah AS dan Korsel tak mau berdialog langsung dengan Korut.

Karena itu, PBB perlu menghidupkan kembali mekanisme perundingan enam pihak (six party talks), yang melibatkan Korut, Korsel, AS, China, Jepang, dan Rusia. Perundingan ini menemui jalan buntu setelah Korut menarik diri pada 2009. Dunia internasional harus mencegah negara tertutup dengan sistem totalitarian seperti Korut untuk mengembangkan senjata nuklir.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 Februari 2017, di halaman 6 dengan judul "Hidupkan Dialog 6 Pihak".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger