Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 09 Februari 2017

TAJUK RENCANA: Pers Hidup di Era Erupsi (Kompas)

Barangkali pers dapat menjadi saksi atas zaman yang bergejo- lak ini. Pers bisa mengulang se- ruan "O tempora, o mores!" "Oh zaman, oh kebiasaan (itu)!"

Secara umum, seruan Cicero itu berarti, "Sungguh buruk ini!" Dari zaman ke zaman kita menyaksikan pergulatan pers yang tak kenal lelah untuk menyaksikan pasang surut politik, ekonomi, sosial, sains dan teknologi, prestasi olahraga, dan lain-lain kemujuran serta kemalangan manusia.

Dalam realitas, pers tidak berdiri dalam ruang vakum. Ia eksis di atas platform. Menurut sejarahnya, pers lahir dan sampai satu titik mencapai kejayaan dalam platform cetak, lalu elektronik—radio dan televisi—serta yang terakhir media online/digital. Semula muncul isu, media digital akan menggulung media cetak sehingga lahir ramalan kiamat bagi media konvensional, seperti ditulis Philip Meyer dalam buku The Vanishing Newspaper (2006).

Gegar, kekacauan, atau disrupsi pertama ini—sementara gejalanya menguat dengan surutnya minat baca koran— masih disikapi dengan hati mendua oleh konservasionis media konvensional. Namun, seiring dengan itu juga muncul disrupsi kedua, yang tidak kalah dahsyat mengguncang kemapanan media dan pers secara umum. Pemicunya tidak lain adalah media sosial yang merevolusi cara dan tabiat orang mendapatkan informasi.

Semula orang masih menyaksikan perdebatan ilmiah, misalnya tentang status bloger, apakah bisa digolongkan sebagai wartawan atau tidak; dampakpeer-to-peer journalism, dari wartawan langsung ke audiens, tanpa melalui redaktur, tanpa kontrol pemimpin redaksi, dan juga bisa tanpa media arus utama. Ini revolusioner. Menafikan kemapanan organik media konvensional.

Kini, yang heboh tentang hoax atau informasi (berita) bohong. Riuh rendah penyebaran hoax yang potensi bahayanya bisa mulai dari teraniayanya seseorang hingga memecah belah bangsa. Di tengah disrupsi hebat tadi, pers Indonesia masih berjuang menatap diri yang dalam cermin. Acap kali masih terseok. Dari sekitar 80.000 wartawan di Indonesia, misalnya, baru 10 persen yang tersertifikasi.

Tahun 2010 lahir Piagam Palembang yang mengamanatkan agar pers Indonesia menghormati kode etik, memajukan kesehatan perusahaan pers, melindungi wartawan, dan menerapkan uji kompetensi wartawan. Ungkapan Cicero di atas bisa kita tujukan kepada pers Indonesia saat ini. Alih-alih bertambah maju, justru perlu kita pertanyakan hasilnya. Apakah penegakan kode etik lebih baik? Apakah kondisi perusahaan pers kian sehat?

Dewan Pers sebagai pengayom pers nasional mencoba menegakkan profesionalitas dengan mengeluarkan daftar media terverifikasi. Jumlahnya masih sebagian kecil dari media yang ada. Pekerjaan rumah masih dikerjakan.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 Februari 2017, di halaman 6 dengan judul "Pers Hidup di Era Erupsi".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger