Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 10 Maret 2017

Mantra Tumpul Deradikalisasi (HENDARDI)

Deradikalisasi adalah metode dan teknik yang digunakan untuk melemahkan dan mengalahkan proses radikalisasi sehingga dapat mengurangi potensi risiko dampak terorisme pada masyarakat.

Selain itu, ada istilah counter-radicalization yang menggambarkan metode untuk mengontrol atau menghentikan radikalisasi dengan menghalangi dan mencegah radikalisasi.

Istilah yang populer di lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) adalahpreventing violent extremism (PVE), yakni upaya mencegah terjadinya kekerasan ekstremis dengan berbagai cara dan pendekatan.

Sementara, Polri mendefinisikan deradikalisasi sebagai segala upaya untuk menetralisasi paham-paham radikal melalui pendekatan interdisipliner, seperti hukum, psikologi, agama, dan sosial-budaya bagi mereka yang dipengaruhi atau terekspos paham radikal dan/atau prokekerasan.

Sebatas mantra

Deradikalisasi selalu menjadi mantra dan obat penawar atas aksi terorisme. Akan tetapi, istilah itu sering hanya dipahami sebagai upaya mengembalikan orang yang sudah terpapar oleh virus radikal. Padahal, jika mengacu pada konsep PVE yang dirilis PBB, deradikalisasi tidak hanya menjangkau mereka yang sudah terpapar virus radikal, tetapi juga menjangkau banyak lapisan masyarakat dengan multi-pendekatan dan berorientasi memperkuat resiliensi masyarakat atas berbagai pandangan keagamaan radikal yang destruktif.

Peledakan bom di Taman Pendawa, Cicendo, Kota Bandung, Senin (27/2), oleh Yayat Cahdiyat, yang merupakan residivis kasus terorisme telah menggenapi aksi-aksi terorisme dengan aktor seorang residivis seperti Afif alias Sunakim (2016), Juhanda (2016), juga jaringan Santoso dan Muhammad Basri di Poso (2016).

Keberulangan aksi terorisme dengan aktor yang sama jelas menggambarkan kegagalan deradikalisasi. Kinerja optimal Densus 88 Mabes Polri dalam bertindak tidak ditopang oleh kinerja deradikalisasi yang menjadi domain utama kerja Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan secara praktikal dijalankan bersama lembaga pemasyarakatan (LP), terkhusus bagi narapidana terorisme.

Sejak 1999-2016, tercatat 69 kali aksi teroris telah terjadi di Indonesia. Saat ini jumlah narapidana teroris mencapai 222 orang yang tersebar di 62 LP dan dua rumah tahanan di seluruh Indonesia.

Di luar 222 orang terdapat 478 orang mantan narapidana teroris, mantan teroris, serta keluarga dan jaringannya yang oleh BNPT dihimpun dalam program pembinaan di luar LP. Mereka tersebar di 17 provinsi di Indonesia dengan tingkat radikalisme berbeda-beda.

Deradikalisasi yang dijalankan oleh BNPT dapat dikatakan tidak kokoh secara konseptual, tidak sinergis secara institusional, dan tidak berbasis bukti dalam merumuskan kebijakan deradikalisasi. Hal ini terlihat dalam Blue Print Pencegahan Terorisme (BNPT, 2015) yang implementasinya tidak terukur karena tanpa desain holistik yang mampu menggerakkan setiap kelembagaan pemerintahan dan elemen masyarakat sipil.

Kinerja deradikalisasi

Perihal efektivitas deradikalisasi di LP dan di luar LP terkonfirmasi dalam studi Setara Institute (2016). Program deradikalisasi tidak berjalan, kecuali seremoni insidental yang tidak terukur capaiannya.

Sementara di luar LP, selain tidak ada konsep yang jelas perihal deradikalisasi, elemen kunci di tubuh negara juga tidak bekerja secara padu dan sinergis. Tidak ada treatment khusus dari negara terhadap napi terorisme. Justru sebaliknya, banyak napi yang mengeluhkan perlakuan negara terhadapnya.

Program pembinaan pada masa cuti menjelang bebas, misalnya, juga tidak padu antara apa yang dijalankan oleh LP dan Polri. Saat mereka menjalani proses asimilasi dan cuti menjelang bebas, BNPT masih melakukan monitoring secara terbuka sehingga mengganggu pemulihan napi. Sementara LP sama sekali tidak mempunyai treatment apa pun pada fase ini. Situasi ini membuat banyak napi mengalami diskriminasi dan penolakan untuk kembali ke masyarakat.

Di sisi lain, pada sektor masyarakat, deradikalisasi justru tidak mengarah pada mereka yang rentan terpikat dan terlibat terorisme (outward-looking). Deradikalisasi justru diarahkan pada mereka yang sebenarnya secara kultural dan institusional memiliki resiliensi kuat karena lingkungan keagamaan yang toleran, seperti kalangan pesantren dan kelompok ormas moderat.

Waspadai intoleransi

Pendekatan inward-looking dianggap tidak lagi relevan untuk memperluas dampak kinerja deradikalisasi. Apalagi praktik intoleransi juga tidak memperoleh perhatian memadai dari negara. Padahal, sebagai tangga pertama menuju terorisme, intoleransi semestinya menjadi kerja pertama memberantas deradikalisasi dan terorisme.

Berdasarkan UU Pemasyarakatan, setiap narapidana wajib mengikuti tata tertib program pembinaan dan kegiatan tertentu, tetapi pembinaan dan deradikalisasi sering kali ditolak oleh napi teroris.

Laporan The International Centre For The Study of Radicalisation and Political Violence, Prisons and Terrorism: Radicalisation and De-radicalisation in 15 Countries, (King's College London, 2010) menyebutkan, di dalam penjara mereka memanfaatkan kesempatan untuk mengubah penjara menjadi medan perang yang mendukung perluasan kampanye ideologinya. Bentuknya: (a) menolak untuk bekerja sama dengan otoritas penjara; (b) mengembangkan pergerakan strategi dan ideologi; (c) memobilisasi pendukung di mana penjara menyediakan lingkungan untuk melanjutkan konfrontasi dengan negara; dan (d) ikut serta kampanye kekerasan.

Masih efektif beroperasi

Kondisi semacam ini masih terus berlanjut terlihat dari jaringan terorisme yang tetap efektif beroperasi, seperti banyaknya distribusi logistik yang terus mengalir ke dalam LP dan temuan-temuan baru kepolisian yang menunjukkan bahwa aktor-aktor teroris memiliki afiliasi dengan kelompok-kelompok mentor yang sudah ada dalam penjara dan artikulasi kekerasan oleh para residivis.

Meningkatkan sinergi LP dan BNPT dalam mengelola LP yang berkontribusi pada deradikalisasi adalah cara mengubah mantra menjadi kinerja deradikalisasi. Diperlukan pengkajian efektivitas LP khusus bagi napi terorisme dan efektivitas deradikalisasi di LP umum.

Diperlukan pula desain tata kelola asimilasi menjelang bebas bagi narapidana terorisme untuk menghindari diskriminasi dan penolakan dari masyarakat. Monitoring BNPT, misalnya, tidak perlu dilakukan secara terbuka sehingga tidak memunculkan stigma berkelanjutan pada diri napi sebagai teroris.

Secara paralel, BNPT perlu mempertajam desain deradikalisasi dan membangun mekanisme kerja yang equal dengan lembaga pemasyarakatan untuk mencegah radikalisme menyebar luas di lingkungan lembaga pemasyarakatan.

HENDARDI

Ketua Badan Pengurus Setara Institute, Jakarta

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 Maret 2017, di halaman 7 dengan judul "Mantra Tumpul Deradikalisasi".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger