Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 15 April 2017

Ketimpangan dan Bonus Demografi (OMAS BULAN SAMOSIR)

Ketimpangan pembangunan yang tinggi antarwilayah di Indonesia telah menjadi salah satu perhatian utama Presiden Joko Widodo (Kompas, 5/1; 24/2; dan 29/3).

Seberapa besar ketimpangan itu? Kebijakan pemerataan apa yang bisa dilakukan untuk mengentaskan dari ketimpangan tersebut? Apa dampak positif dari pengentasan ketimpangan itu?

Ketimpangan tingkat kesejahteraan nyata antarwilayah di Indonesia. Pada 2015, pendapatan per kapita paling rendah di Nusa Tenggara Timur (Rp 11,1 juta) dan paling tinggi di DKI Jakarta (Rp 142,9 juta). Artinya, pendapatan per kapita di NTT hampir 13 kali lebih rendah daripada pendapatan per kapita di DKI Jakarta. Selain itu, pada 2016, hampir 11 persen dari penduduk Indonesia tergolong miskin. Penduduk miskin paling rendah di DKI Jakarta (3,75 persen) dan paling tinggi di Papua (28,54 persen). Jadi, penduduk Papua 10 kali lebih cenderung untuk miskin daripada penduduk DKI Jakarta.

Ketimpangan pencapaian pembangunan ekonomi merupakan konsekuensi dari ketimpangan dalam pembangunan bidang kesejahteraan rakyat. Dalam bidang pendidikan, pada 2016, angka partisipasi murni (APM) SD sebesar 96,8. Rentang APM SD ini berkisar antara 78,7 di Papua dan 99,2 di DI Yogyakarta. APM SMP sebesar 77,9, paling rendah di Papua (54,3) dan paling tinggi di Aceh (85,7). Sementara APM SMA sederajat sebesar 59,9, bervariasi antara 43,3 di Papua dan 71,7 di Bali.

Di bidang kesehatan, pada 2012, 83 persen persalinan ditolong tenaga kesehatan terlatih. Angka ini paling rendah di Papua (39,9 persen) dan paling tinggi di DKI Jakarta (98,7 persen). Jadi, perempuan yang melahirkan di Papua sekitar 114 kali cenderung melahirkan tidak ditolong tenaga kesehatan terlatih dibanding perempuan melahirkan di DKI Jakarta. Prevalensi keluarga berencana (KB) adalah 61,9 persen pada 2012, berkisar 21,8 persen di Papua dan 70,3 persen di Lampung. Artinya, perempuan kawin usia reproduksi (15-49 tahun) di Papua delapan kali cenderung untuk tidak ber-KB daripada perempuan kawin usia reproduksi di Lampung. Kebutuhan ber-KB yang tak terpenuhi adalah 11,4 persen, bervariasi antara 7,6 persen di Kalimantan Tengah dan 23,8 persen di Papua. Hal ini mengindikasikan perempuan kawin usia reproduksi di Papua empat kali cenderung tak terpenuhi kebutuhan ber-KB daripada perempuan kawin usia reproduksi di Kalimantan Tengah.

Di bidang ketenagakerjaan, pada 2016, hampir 14 persen dari penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja merupakan pekerja keluarga/tidak dibayar. Angka ini paling rendah di DKI Jakarta (5,1 persen) dan paling tinggi di Papua (32 persen). Artinya, penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja di Papua sembilan kali lebih cenderung jadi pekerja keluarga alias tak dibayar daripada penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja di DKI Jakarta.

Kebijakan penting

Pengentasan dari ketimpangan pembangunan bidang kesejahteraan rakyat antarprovinsi merupakan kebijakan penting untuk pemerataan pembangunan di Indonesia. Pembangunan pendidikan, kesehatan, dan ketenagakerjaan di provinsi-provinsi tertinggal, khususnya Papua, harus ditingkatkan. Kebijakan peningkatan pendidikan dasar bagi penduduk usia SD/SMP di Papua harus diprioritaskan. Kuantitas dan kualitas pendidikan dasar merupakan hal yang makin penting bagi perekonomian pada masa kini karena dapat meningkatkan produktivitas seseorang pada saat memasuki pasar kerja. Kekurangan pendidikan dasar dapat menghambat upaya pemerataan pembangunan.

Peningkatan akses terhadap layanan dan informasi kesehatan di provinsi-provinsi tertinggal, termasuk kesehatan reproduksi dan KB, juga harus dapat perhatian serius. Layanan persalinan di fasilitas kesehatan yang berkualitas serta oleh tenaga kesehatan terlatih, dan pemenuhan kebutuhan ber-KB, penting dalam rangka meningkatkan kesehatan ibu dan anak serta menurunkan tingkat kelahiran.

Ibu yang sehat lebih produktif jika terlibat dalam pasar kerja. Ibu yang ber-KB cenderung memiliki anak lebih sedikit serta berpartisipasi dalam pasar kerja. Ibu yang sehat dan produktif lebih cenderung menginvestasikan sumber daya keluarga untuk pembangunan modal manusia anak-anaknya, terutama pendidikan dan kesehatan yang berkualitas, sehingga menghasilkan anak yang sehat dan produktif. Sangat penting untuk dipahami bahwa ibu dan anak yang sehat merupakan kontributor penting bagi pemerataan pembangunan.

Tingginya persentase pekerja keluarga/tidak dibayar merupakan salah satu penyebab ketimpangan pembangunan di Indonesia. Oleh karena itu, kebijakan penciptaan kesempatan kerja yang layak, produktif, dan remuneratif (dibayar) di provinsi-provinsi tertinggal merupakan suatu agenda yang sangat penting untuk pemerataan pembangunan di Indonesia. Akses terhadap pekerjaan yang layak, produktif, dan remuneratif merupakan satu-satunya jalan keluar dari kemiskinan dan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Pengentasan dari ketimpangan pembangunan bidang kesejahteraan rakyat merupakan kebijakan penting untuk pemerataan pembangunan di Indonesia. Akses yang merata antarprovinsi terhadap pendidikan, kesehatan reproduksi dan KB serta kesempatan kerja yang layak, produktif, dan remuneratif akan membawa Indonesia pada suatu kondisi demografis yang diinginkan, yaitu tingkat kelahiran dan kematian yang rendah di semua provinsi.

Situasi demografis ini akan mengakibatkan dominasi penduduk usia produktif (15-64 tahun) dalam struktur umur penduduk di seluruh provinsi, yang jika dimanfaatkan secara optimal akan memungkinkan setiap provinsi di Indonesia menuai bonus demografis. Jika penduduk usia produktif ini tidak dimanfaatkan akan terjadi jebakan demografis. Penduduk usia kerja yang banyak malah menjadi beban. Negara terjebak di dalam sumber daya manusianya sendiri.

OMAS BULAN SAMOSIR, PENGAJAR DI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS INDONESIA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 April 2017, di halaman 7 dengan judul "Ketimpangan dan Bonus Demografi".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger