Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 06 April 2017

TAJUK RENCANA: Mitigasi Kita Belum Tuntas (Kompas)

Hingga hari keenam, 25 korban bencana longsor di Ponorogo, Jawa Timur, belum ditemukan. Evakuasi terkendala cuaca, lokasi, dan masifnya longsoran.

Bencana itu tepatnya terjadi di Dusun Tangkil, Desa Banaran, Kecamatan Pulung, Kabupaten Ponorogo. Tebing setinggi 100 meter ambrol ketika warga tengah memanen jahe di kebun, Sabtu (1/4) pagi. Longsoran itu memanjang hingga 800 meter dengan ketinggian sekitar 20 meter, menimbun 23-35 rumah dan kebun penduduk.

Sebenarnya bencana longsor itu tidak terjadi tiba-tiba. Longsoran kecil-kecil dan retakan tanah bisa menjadi penanda. Pertanyaannya kemudian, apakah semua penanda ini ditindaklanjuti sebelum bencana terjadi?

Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral bahkan telah memetakan kawasan rawan longsor lengkap dengan skala kerentanannya. Peta ini, dipadukan dengan prakiraan curah hujan dan bentang alam, menghasilkan peta potensi gerakan tanah yang diperbarui setiap bulan. Peta dikirim ke semua provinsi terkait.

Menurut peta rawan longsor, Desa Banaran termasuk daerah dengan tingkat bahaya tinggi longsor. Penduduk desa tersebut ternyata juga memahami potensi bencana, bahkan sudah mengenali tanda-tanda menjelang longsor 20 hari sebelum bencana terjadi. Mereka pun sudah mengantisipasi potensi ini dengan mengungsi: setiap malam tidur di lokasi yang lebih aman.

Namun, bencana tetap memakan korban karena sumber ekonomi penduduk ada di tempat itu. Hampir seluruh bukit di lokasi bencana berubah menjadi ladang jahe. Sebagai sumber penghasilan, jahe adalah bahan baku obat tradisional yang menjamin kesejahteraan. Ironisnya, di sisi lain, perladangan jahe justru memicu kelongsoran karena tidak mampu mengikat tanah dan air.

Apa boleh buat. Kita ternyata masih abai mitigasi. Bencana longsor di Ponorogo kembali menunjukkan belum tuntasnya upaya mitigasi di negeri ini. Memahami risiko dan mengenali tanda-tanda potensi bencana masih belum cukup karena harus diikuti dengan relokasi penduduk secara berkelanjutan. Meski tidak mudah, solusi ini bisa dilaksanakan.

Selain menyediakan lahan dan rumah, pemerintah harus menjamin ketersediaan sumber ekonomi di lingkungan baru rakyat yang direlokasi. Tentu saja dibutuhkan kerja keras dan anggaran besar untuk mewujudkannya.

Untuk keselamatan rakyat, pemerintah harus mengupayakan segala cara. At all cost. Apalagi, mitigasi atau pengurangan risiko bencana yang dilakukan secara benar akan menurunkan kerugian ekonomi akibat bencana alam yang mencapai Rp 30 triliun per tahun—belum termasuk korban jiwa—hingga tinggal sepersepuluhnya.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 6 April 2017, di halaman 6 dengan judul "Mitigasi Kita Belum Tuntas".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger