Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 06 April 2017

Trump, Sisi, dan Kepentingan AS (Kompas)

Sambutan hangat Presiden AS Donald Trump atas Presiden Mesir Fatah el-Sisi di Gedung Putih, Senin (3/4), menandai era baru hubungan dua negara itu.

Presiden Trump menyampaikan keinginannya membangun kembali kemitraan strategis, terutama di bidang militer dan perang melawan teroris. Sebenarnya, di masa kampanye pun Trump sudah menyatakan akan mengambil pendekatan berbeda dan menyampaikan keinginan untuk memperbaiki hubungan Amerika Serikat (AS) dan Mesir.

Ketika Abdel Fatah el-Sisi mengambil alih kekuasaan Presiden Muhammad Mursi pada 2013, Presiden Barack Obama sempat membekukan bantuan ke Mesir, termasuk latihan militer bersama. Pembekuan itu berakhir setelah Presiden Sisi dan Presiden Obama melakukan pembicaraan melalui telepon, Maret 2015, menyusul serangan teroris yang terus-menerus terjadi di Mesir.

Antara tahun 1948 dan 2016, total bantuan AS ke Mesir mencapai 77,4 miliar dollar AS, termasuk 1,3 miliar dollar AS bantuan militer. Bantuan besar itu diberikan karena AS melihat letak geografis, penduduk, dan kemampuan diplomasi Mesir. Apalagi, Mesir mengontrol penuh Terusan Suez.

Sambutan hangat Presiden Trump juga dianggap wajar, bahkan nilai strategis pertemuan Trump dan Sisi di Washington ini setara dengan pertemuan Presiden AS Jimmy Carter dan almarhum Presiden Mesir Anwar Sadat tahun 1977.

Ketika itu, pertemuan Carter-Sadat menandai dimulainya kemitraan strategis AS-Mesir membangun perdamaian di Timur Tengah. Pertemuan mereka telah mengantarkan tercapainya kesepakatan damai Israel-Mesir di Camp David pada 1979 yang ditandai dengan membuka kedutaan besar di negara masing-masing meski 15 negara di Timur Tengah memutuskan hubungan akibat perjanjian Camp David ini, termasuk Arab Saudi.

Sadat yang mati ditembak oleh anggota militer Mesir, Letnan Satu Khaled, yang diduga punya hubungan dengan kelompok garis keras, saat upacara, digantikan Hosni Mubarak. Mubarak meneruskan kebijakan yang diambil Anwar Sadat. Bahkan, Mubarak menjadi "teman setia" AS untuk urusan Timur Tengah karena suara Mesir selalu sama dengan suara AS.

Setelah Timur Tengah dilanda Musim Semi Arab (Arab Spring) tahun 2011, AS seperti kehilangan kawan yang dapat mengawal kebijakannya di Timur Tengah. Trump menganggap Sisi memenuhi keinginan AS sehingga wajar jika kehadirannya di Gedung Putih mendapat sambutan hangat.

Kepentingan strategis AS di Timur Tengah pada masa Obama selalu diganjal oleh Rusia. Apakah Mesir akan menjadi mitra strategis AS untuk menghadapi Rusia ataukah Rusia akan mengontrol sepenuhnya kawasan ini.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 6 April 2017, di halaman 6 dengan judul "Trump, Sisi, dan Kepentingan AS".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger