Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 01 April 2017

Uni Eropa di Ujung Tanduk (PETER FRANS GONTHA)

Melanjutkan tulisan saya mengenai Brexit, Juni 2016, di harian Kompas, perkembangan Uni Eropa cukup mencemaskan. Uni Eropa sedang di ambang krisis eksistensinya.
HANDINING

British Exit (Brexit)—keluarnya Inggris dari keanggotaan di Uni Eropa (UE)—memaksa UE memikirkan serta memilih arah dan strategi baru dalam menghadapi gejolak yang disebabkan keinginan sejumlah negara lain untuk mengikuti jejak Britania Raya. Kekuatan UE terpangkas.

Perayaan Hari Persatuan Eropa yang dihadiri pemimpin negara anggota UE di Roma, 25 Maret lalu, diliputi pesimisme. Pemimpin negara Eropa seharusnya bergembira merayakan hari ulang tahun ke-60 ditandatanganinya Kesepakatan Roma. Pada 25 Maret 1957, Belanda, Belgia, Luksemburg, Perancis, Jerman, dan Italia sepakat mendirikan Masyarakat Ekonomi Eropa (European Economic Community).

Kegembiraan sepertinya tak pada tempatnya karena Eropa sedang menghadapi krisis.

Di belakang layar terjadi perdebatan sengit mengenai skenario masa depan seperti yang diusulkan Ketua UE Jean-Claude Juncker. Minggu sebelumnya, beberapa mantan pemimpin menyampaikan pendapatnya di Roma mengenai masa depan dan cara "mengemudikan persatuan UE". Semua bernada pesimistis.

Masa depan UE

Buruk!Persatuan UE tampaknya lemah menghadapi beraneka tantangan. Dalam jajak pendapat baru-baru ini, masyarakat masih berdiri di belakang UE, tetapi "hati" mereka sudah tidak banyak memberi harapan.Apabila situasi ini tetap berlangsung, niscaya UE akan lumpuh. Kesepakatan mengenai pengaturan anggaran, misalnya, sudah dianggap sebagai lelucon. Komisi Eropa terus-menerus memberikan anggotanya pengunduran waktu untuk menyampaikan rencana anggaran, diiringi pemberian usulan baru berisi sejumlah perhitungan yang sangat sulit dimengerti.

Kekuatan UE bernegosiasi dalamperundingan dagang internasional melemah. Sekarang masing-masing negara anggota harus menyetujui semua kesepakatan yang ingin ditandatangani UE dengan negara ketiga. Artinya, negara ketiga punya alasan untuk tidak menandatangani kesepakatan karena UE pasti tidak dapat memenuhi komitmen-komitmennya. Bahkan, dengan negara seperti Kanada yang begitu besar dukungnya terhadap UE tak tercapai kesepakatan. Hal lain diperlihatkan Hongaria dan Polandia yang menganggap sepi peraturan UE. Sungguh UE telah kehilangan pamor dan wibawa.

Brexit dan terpilihnya Presiden Amerika Serikat Donald Trump, yang sangat anti kesepakatan Trans Atlantik, adalah peringatan bagi UE.Meski kelihatannya tak banyak negara UE yang akan mengikuti jejak Brexit, kejadian yang sangat penting saat Perdana Menteri Theresa May yang terpaksa memegang erat tangan Presiden Trump untuk mendukung Britania Raya keluar dari UE, menurut masyarakat Eropa, memalukan.

Kejadian Yunani juga merongrong. Seharusnya Yunani dipersilakan meninggalkan UE. Tak perlu diberi bantuan ekonomi, tetapi diberikan pengampunan atas utang-utangnya. Hal tersebut lebih baik untuk UE.

Faktor Perancis

Apabila pemilu di Perancis dimenangi Marine Le Pen dari garis keras kanan yang mengusulkan dibatalkannya embargo UE terhadap Rusia, kekhawatiran pecahnya UE semakin menjadi. Kemenangan Le Pen pasti akan melumpuhkan UE dan akan menjadi problem jangka panjang yang sulit diatasi.

Apabila Le Pen menang, semua anggota UE harus segera bersiap menghadapi Eropa yang berbeda. Namun, jika Emmanuel Macron menang, ekonomi Perancis akan direformasi dan pesimisme orang Perancis dapat diatasi dan menjadi mitra serius UE. Pada saat ini kebijakan ekonomi Perancis bertolak belakang dengan yang diharapkan UE.

Mengapa harus berharap Perancis mereformasi ekonominya? Sejak Presiden Nicolas Sarkozy, ekonomi Perancis terasa lumpuh. Secara pribadi saya tak dapat membayangkan seorang presiden yang muda seperti Macron hanya menjanjikan hal yang muluk-muluk kepada UE. Dia pasti akan menunjukkan keberanian melakukan lompatan ke depan. Itu memang dikatakannya dalam pidato kampanye, beberapa waktu lalu. Jika itu terjadi, Perancis bersama Jerman pasti akan mengambil inisiatif baru.

Belanda terlalu kecil untuk dipertimbangkan menjadi inisiator terdepan perubahan UE. Perancis dan Jerman diharapkan mengambil inisiatif kepemimpinannya dalam bidang perdagangan internasional. Jika itu terjadi, pemerataan pendapatan hasil perdagangan internasional akan terbagi lebih adilbagi anggota UE.Diharapkan juga akan ada inisiatif baru untuk masalah pengungsi Timur Tengah, dengan menutup perbatasan dan memperbaiki pemeriksaan di perbatasan terkait pertahanan keamanan Eropa.

Perancis dan Italia sering tidak dapat menyelesaikan permasalahannya sendiri, bahkan sering meminta Brussel untuk menyelesaikannya. Itulah sebabnya mereka selalu mengusulkan birokrat Perancis atau Italia menjadi menteri keuangan UE atau kedudukan lain yang menangani anggaran UE.

Sebagai catatan, jika suku bunga di Italia kembali naik, utang negara melonjak 130 persen lebih besar daripada produk domestik bruto (PDB). Keadaan perbankan Italia karut-marut, ditambahproblem lain yang tak kalah rumitnya. Apakah Italia akan menyetujui perubahan di UE, masih tanda tanya besar.

Juncker berencana mengundang negara anggota UE untuk menyampaikan keinginan masing-masing. Banyak negara melihat kesempatan ini sebagai permulaan baik. Kita berharap dapat melihat usulan-usulanperbaikan UE dalam pertahanan keamanan, politik luar negeri, imigrasi, dan ekonomi.

Dampak bagi Indonesia dan ASEAN

Baik UE maupun Eropa, secara keseluruhan menghadapi tantangan yang sangat besar. Persatuan Eropa berada di ambang kehancuran. Para pemimpinberargumentasi terus-menerus di Parlemen UE di Brussel. Tidak adanya kesepakatan dan revitalisasi yang berarti bagi semua anggota UE bukan saja melumpuhkan UE, melainkan juga akan menjadi petaka, baik bagi ekonomi Eropa maupun dunia.

Bagi Indonesia dan ASEAN, banyak dampaknya. Dan perkembangan di Eropa harus diikuti dengan cermat. Sebab, runtuhnya UE akan berdampak negatif terhadap perekonomian ASEAN dan Indonesia. Kita tunggu apa yang terjadi.

PETER GONTHA, DUTA BESAR DUTA BESAR LUAR BIASA DAN BERKUASA PENUH REPUBLIK INDONESIA DI POLANDIA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 1 April 2017, di halaman 7 dengan judul "Uni Eropa di Ujung Tanduk".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger