Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 17 Mei 2017

ASN, KASN, dan Otonomi (IRFAN RIDWAN MAKSUM )

Roda pengelolaan otonomi bak jarum jam: terus berputar. Sejumlah isu seputar otonomi daerah di Indonesia seakan menghadang, tetapi pemerintah dan parlemen tampak lebih memilih isu aparatur sipil negara yang diangkat terkait perbaikan manajemen negara-bangsa.
TOTO S

Tulisan ini perlu disampaikan mengingat banyaknya pakem aparatur sipil negara (ASN) dalam bingkai otonomi daerah yang harus dicermati karena cukup kompleks dalam rangka perbaikan tata kelola negara-bangsa.

Tiga model

Pengelolaan ASN di seluruh negara yang menganut desentralisasi dihadapkan tidak saja persoalan ASN pusat, tetapi ASN daerah. Singapura dan Timor-Leste yang tidak menganut desentralisasi beruntung hanya mengelola ASN pusat. Itu saja tidak mudah terkait kemajuan negara-bangsanya sehingga harus tetap terukur dan terkontrol dengan kode etik yang jelas dan kuat. Kode etik ASN Indonesia ada dalam UU ASN, yang belum lama ini menghadapi uji materi dan revisi UU.

Terkait adanya pemerintahan daerah, di dunia ini terdapat tiga sistem pengelolaan ASN (PBB, 1966): pertama,separate personnel system for each local authority; kedua, unified local government personnel system; dan ketiga, integrated national and local personnel system.

Pada sistem yang pertama, setiap pegawai pemerintah daerah tidak dapat berpindah-pindah ke unit pemerintah daerah lainnya, bahkan ke dalam unit pemerintah pusat. Sistem tersebut menganut bahwa kewenangan mengangkat dan memberhentikan pegawai sepenuhnya di tangan daerah-otonom. Pemerintah pusat hanya membuat kode etik dan pengawasan dari jalannya kode etik tersebut. Sistem pertama ini dapat disimpulkan amat terdesentralisasi dalam urusan ASN-daerah. Pemerintah pusat tidak ikut andil banyak mengurusi segala hal ASN daerah.

Jadi, lembaga pengelola ASN di pusat mengurusi hanya ASN pusat semata. Katakanlah jika Indonesia menganut model ini maka Badan Kepegawaian Negara (BKN) hanya mengurusi ASN pusat. Pemerintah pusat menyusun pedoman umum saja di tingkat nasional agar diacu pemerintah daerah. Oleh karena terkait pemerintah daerah, Kemendagri-lah yang mengatur soal ini. Model pertama ini pada umumnya dianut di negara-negara yang sudah makmur dan merata.

Dalam sistem kedua, setiap pegawai pemerintah daerah dapat pindah menjadi pegawai unit yang ada dalam pemerintah daerah lainnya, tetapi tak diperkenankan pindah menjadi pegawai pemerintah pusat. Daerah otonom mengusulkan ke sebuah badan otoritatif di tingkat nasional yang relatif independen yang dibentuk atas prakarsa daerah-daerah untuk mengelola kepentingan manajemen ASN-nya.

Pada sistem kedua ini, urusan ASN pusat dipegang badan tersendiri, tidak digabung dengan ASN daerah. Negara-negara yang menganutnya, dalam catatan PBB, terdapat baik negara berkembang ataupun negara maju.

Misalkan menganut model ini, lembaga semacam BKN tidak akan campur aduk mengurusi ASN pusat dan ASN daerah sekaligus. Dalam sistem kedua ini, ASN daerah 100 persen dikelola oleh badan tersendiri yang dibentuk atas inisiatif daerah dan difasilitasi pemerintah pusat, dalam hal ini Kemendagri.

Pemerintah pusat tak mengatur detail formasi jabatan dan lain-lain ASN daerah. Pemerintah pusat membentuk kode etik yang dijadikan acuan oleh lembaga nasional independen pengelola ASN daerah tadi dan lembaga pengelola ASN pusat. Di sini, peran lembaga Kementerian PAN dan RB sangat besar.

Yang terakhir, sistem ketiga, terdapat kemungkinan perpindahan pegawai daerah tertentu menjadi pegawai pemerintah daerah lainnya dan bahkan menjadi pegawai pemerintah pusat. Urusan ASN pusat dan daerah diurus, dikelola, dan diatur oleh lembaga pemerintah pusat. Pengelolaan ASN daerah diintegrasikan dengan ASN pusat, di mana dalam model ini wewenang daerah sangat kecil meskipun hanya dalam perekrutan ASN.

Dari ketiga model, Komisi ASN (KASN) dapat dibentuk atau tidak, bergantung pada berbagai faktor. Namun, negara-negara penganut model kedua umumnya terdapat KASN, sedangkan model pertama dan ketiga jarang terdapat KASN.

Pada model pertama, jika dibentuk KASN atau lembaga yang menyusun pengaturan ASN hanya mengurusi ASN pusat sebab ASN daerah adalah domain otonomi daerah yang terpisah dari ASN pusat. Oleh karena itu, amat jarang model pertama ini ada KASN, baik yang mengurusi ASN pusat maupun daerah.

Dalam Model ini tidak ada badan nasional pengelola ASN daerah. Daerah otonom masing-masing memiliki wewenang yang besar. DPRD di negara penganut model pertama ini berperan besar memantau perekrutan ASN oleh eksekutif daerah. Secara nasional, Kemendagri-lah yang memfasilitasi, memonitor, mengevaluasi dan mengarahkan jalannya kode etik ASN daerah.

Pada model kedua, KASN dapat dibentuk untuk mengontrol baik ASN pusat ataupun daerah. Berbeda pada sistem yang pertama yang hanya untuk ASN pusat. Lembaga nasional independen pengelola ASN daerah dan lembaga pengelola ASN pusat perlu diawasi dan difasilitasi dalam menjalankan kode etik ASN yang—kalau di Indonesia—didesain oleh Kementerian PAN dan RB.

Keberadaan KASN ini juga penting karena adanya independensi yang kuat dari dua pengelola ASN pusat dan daerah yang masing-masing berdiri sendiri. Negara dengan sistem subsidiary (tugas pembantuan) yang kuat seperti Jerman terdapat KASN yang efektif dalam manajemen ASN di negaranya.

Sementara pada model ketiga, pengisian jabatan tinggi ASN pusat dan daerah diatur dalam kode etik yang jelas dan dikelola, diurus, difasilitasi oleh lembaga pemerintah pusat yang ditunjuk oleh peraturan perundangan. Oleh karena itu, jika KASN dibentuk, hal itu dapat menambah biaya dan menjadikan tugas-tugas terkait ASN menjadi tumpang tindih dan bertentangan antar-berbagai lembaga terkait.

Ketegasan

Kalau ditelisik, arah UU No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara tampak ingin membentuk model ketiga dengan penambahan adanya KASN. Pasal 1 Ayat 1 dinyatakan bahwa aparatur sipil negara yang selanjutnya disingkat ASN adalah profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah. Ayat 15 menyatakan bahwa instansi pemerintah yang dimaksud adalah instansi pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Dengan demikian, dalam hal ini UU ASN menganut integrated system (model ketiga). Ayat 19-nya menyatakan bahwa Komisi ASN yang selanjutnya disingkat KASN adalah lembaga non-struktural yang mandiri dan bebas dari intervensi politik.

Lembaga ini adalah hal baru dalam sistem pengelolaan ASN di Indonesia. Adanya struktur baru sudah tergambarkan harus dilakukan penyesuaian peran-peran lembaga lama, terutama dalam hal ini BKN dan Kementerian PAN dan RB, serta Kemendagri. Juga peran Kementerian Keuangan tak kalah penting karena menyangkut pendanaan.

Posisi dalam UU cukup jelas, komisi ini lebih memainkan peran tahap awal dalam perekrutan ASN, terutama ASN tingkat tinggi, baik ASN pusat maupun ASN daerah. Tujuannya, ingin mendobrak pola perekrutan patron-klien ASN, terutama ASN tingkat tinggi dari unsur politik. Namun, KASN sebetulnya tidak lazim di negara penganut model ketiga ini.

Dalam UU ASN, wewenang daerah otonom tergolong kecil, terutama pada pengisian jabatan tinggi oleh pejabat yang berwenang diatur dalam Pasal 114 dan Pasal 115. Untuk meminimalkan patron-klien dan politik uang, prosedur yang ada dalam UU ASN sudah mengarah ke sistem merit.

Persoalan peran KASN dapat kembali dilakukan lembaga lama, tetapi dengan tambahan catatan perlunya sistem pengawasan yang jelas. Dengan demikian, revisi UU ini pun, kalau dilakukan, jangan sekadar menghilangkan KASN, tetapi perlu dipikirkan pengawasan prosedur merit yang dikembangkan. Terlebih untuk ASN daerah, yang dapat melibatkan Kemendagri, perlu dikaji sistem pengawasan proses merit yang dikelola Kemendagri itu.

Jika pilihan integrated, terintegrasi, (model ketiga) yang diambil, sebaiknya pemerintah daerah tidak mengurusi apa pun pengelolaan ASN. Semua hal diurus sepenuhnya oleh badan pemerintah pusat. Dalam hal ini BKN, Kementerian PAN dan RB, dan Kemendagri untuk ASN daerah adalah lembaga yang bertanggung jawab untuk mengembangkan kode etiknya.

Dalam desain model ketiga ini, harus ada instansi vertikal BKN yang menjangkau seluruh daerah di Indonesia. Dana yang digunakan adalah dana APBN yang mengucur kepada instansi vertikalnya, bukan dana dekonsentrasi untuk pemerintah daerah seperti selama ini dilakukan.

Dalam hal-hal teknis pemerintah daerah harus menyiapkan administrasi ASN, itu dapat dilakukan tugas pembantuan dari BKN ke semua pemerintah daerah di Indonesia. Jangan lupa: mental pegawai pengelola ASN ini harus ditingkatkan sehingga perilaku korup terhindarkan.

IRFAN RIDWAN MAKSUM, GURU BESAR TETAP FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI UNIVERSITAS INDONESIA DAN BOARD PUSAT STUDI DAN PENGEMBANGAN OTONOMI DAERAH

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 17 Mei 2017, di halaman 6 dengan judul "ASN, KASN, dan Otonomi".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger