Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 29 Mei 2017

Gerakan Elite (RADHAR PANCA DAHANA)

Perkenankan, sekali lagi, saya mempertanyakan, juga akan menjawab sendiri, persoalan yang selama ini kita seolah meyakini (secara ilusif) dengan pasti keberlakuan positifnya: apakah Pancasila benar-benar (sudah) menjadi ideologi negara kita, sudah menjadi dasar atau acuan tidak hanya dalam cara kita hidup, tetapi juga cara kita bernegara?
HANDINING

Lewat ketetapan (yang kita yakini merupakan konsensus), propaganda, hingga ancaman hukuman yang keras (akan "digebuk"), Pancasila sebagai "harga mati", boleh jadi mayoritas besar dari kita akan mengafirmasi atau menjawab secara positif pertanyaan di atas. Saya justru menyatakan sebaliknya: tidak! Argumen dari pernyataan subyektif ini sesungguhnya tergelar dalam data dan fakta sejarah yang kita miliki dan mafhumi selama ini.

Pertama, kondisi mutakhir memperlihatkan bagaimana perilaku kita sebagai bangsa juga warga sebuah negara tidak berhasil memberi bukti yang kuat (di luar kasus-kasus) akan implementasi atau praksis dari dasar negara itu. Kita menyaksikan sendiri bagaimana perilaku elite memenuhi halaman utama semua media massa yang memberi contoh nyata bagaimana Pancasila bukan saja tidak dilaksanakan, bahkan dinafikan hingga dihina. Kuasa politik dan ekonomi tidak lagi jadi sarana bagi tujuan luhur keberadaannya, tapi seperti trofi kehidupan yang dikompetisikan, dikejar, dan direbut oleh semua elemen sosial (tak hanya praktisi politik dan ekonomi), dengan cara apa pun, hingga yang haram dan kriminal.

Kondisi itu merembes, sebagaimana realitas kita yang-konon-paternalistik atau patron-klien, pada kalangan menengah hingga rakyat jelata. Termasuk pengusaha-pengusaha UKM yang licik-licikan, yang numpang korupsi pada pengusaha besar, hingga pembantaian usaha tradisional oleh bentuk modernnya. Puluhan mungkin ratusan ribu pelanggaran lalu lintas terjadi dan terbiarkan tiap hari di seluruh Indonesia, hingga teriakan, ancaman juga kekerasan fisik penuh dendam, kalimat kasar dan dusta, fatalisme juga fanatisme ratusan hingga jutaan rakyat jelata kita.

Kedua, secara sistemik pun kita memiliki data bagaimana bahkan sejak awal republik dipenuhi oleh gejolak politik, hukum, ekonomi, agama, dan sebagainya, yang antara lain disebabkan oleh syahwat dan libido kelompok atau intervensi asing, baik dengan senjata informasi, teknologi, dana, senjata, maupun diplomasi. Sampai hari ini, kita masih tenggelam dalam pelbagai sistem kenegaraan dan pemerintahan yang ternyata belum mampu mengakomodasi dengan baik potensi-potensi terbaik bangsa ini.

Ketiga, hingga hari ini belum pernah ada satu otoritas pun yang dapat mengelaborasi bagaimana sesungguhnya praksis dari Pancasila itu, bahkan hanya sekadar makna signifikatif-abstraknya. Jadi, tiada pihak di dalam bangsa ini yang memiliki acuan atau referensi untuk mengukur dan menilai kadar kepancasilaannya dan mengakibatkan tiap kelompok (bahkan pribadi) merasa absah dengan tafsir dan ukuran kepancasilaan subyektifnya. Ini kekosongan yang terjadi sejak Pancasila, dalam nama dan sila-sila, dikonsensuskan, sejak para pendiri bangsa melahirkannya. Ketika kekosongan itu berusaha di-"isi" oleh Presiden Soeharto lewat BP7 dan program P4-nya, kita yang merasa idealis, lebih pintar dan memahami sejarah, "lebih Pancasilais", menolak juga membunuh usaha tersebut.

Diri tidak ideologis

Akhirnya, hal keempat, adalah pertanyaan retoris pada diri kita sendiri: "apakah Pancasila sudah menjadi tuntutan hidup kita sehari-hari, selama ini?". Ketakjujuran, kepengecutan dan rasa malu mayoritas kita mungkin akan menjawabnya dengan anggukan karena jawaban verbal "Ya" terasa menyakitkan di relung terdalam nurani kita. Kondisi menyakitkan secara mental, intelektual, hingga spiritual itu membuat luruh seluruh bukti positif yang ingin kita sodorkan, anggukan pun menjadi semu.

Mengapa? Sebab, tentu saja, hidup kita sehari-hari pun sesungguhnya tidak lagi didasarkan pada hikmah (makna) dari sila-sila "ideologi" kita itu. Kita hidup dengan ukuran kita sendiri, yang pragmatis bahkan oportunis. Bilapun acuan kita miliki ia lebih berasal dari cara berpikir skolastik yang kita dapat pendidikan ala kontinental atau standar (lebih tepat gaya) hidup modern yang dipenetrasi oleh apa yang kita sebut dengan budaya global. Tanpa dua hal itu, seolah kita tidak berhak mendapat tiket atau KTP sebagai warga (pos-modern) dunia. Kita merasa malu.

Dan, lagi, apabila Anda masih ngototmenjawab "Ya", didasarkan apa afirmasi itu, apabila realitasnya terjadi sesuai dengan poin dua dan tiga di atas. Lewat preseden apa? Pertanyaan akhir ini bisa berkait langsung dengan hal-hal fundamental lainnya, seperti: "lewat preseden apa ideologi itu pernah hidup dalam sanubari diri dan bangsa kita?"

Saya harus menyatakan semua hal di atas tidak dengan pesimisme, apalagi mental pecundang dalam menghadapi zaman yang menantang. Tidak! Saya hanya mengatakan kalau (bangsa) kita saat ini sedang menghadapi sebuah momen yang konstitutif, momen yang menentukan apakah kita (tetap) sebuah negara, sebuah bangsa, sebagaimana menjadi "imagined" (menurut seorang Indonesianis) dalam benak para pendiri bangsa. Momen ini dibangun dari satu proses yang mematangkan involusi rakyat negeri modern ini karena keingkaran, fitnah, hingga penghinaan dasar-dasar bernegaranya sendiri.

Apa yang kita dengar, saksikan, rasakan, hingga sanubarikan belakangan ini adalah kematangan pembusukan "negara". Bukan hanya oleh beberapa kelompok, tetapi juga oleh diri kita sendiri (yang melanggar bus way, buang sampah sembarangan, mengotori danau dan kali, korupsi waktu dan fasilitas kantor, meliciki rekan bisnis, hingga membiarkan "bangsa dan negara" hancur di jiwa anak kita dengan membiarkannya tenggelam ke dasar gawai dan dunia virtual). Termasuk membiarkan (kejernihan akal-jiwa) kita terhasut dan terhanyut oleh pikiran palsu, berita bohong, atau paham keliru.

Absennya jembatan mental

Seluruh fenomena di atas terjadi akibat tiada atau rendahnya tingkat komprehensi kita pada kenyataan yang terjadi di seputar dunia mutakhir ini. Sebuah kenyataan yang beberapa waktu lalu mungkin masih "sederhana", tetapi kemudian jadi begitu rumit, kompleks, dan hablur terutama akibat kerja teknologi mutakhir di bidang informasi dan komunikasi. Bila sebelumnya otak kita cukup cerdas memamah informasi sekian ribu byte setiap hari, lewat koran, radio, televisi non-bayar, juga pergaulan, sekarang kita jadi pandir karena harus menerima jutaan bahkan miliaran bytedata hanya dalam satu satuan waktu. Perangkat lunak (dalam akal, mental, fisikal, hingga spiritual) yang disusun sejarah peradaban kita ternyata belum mampu menciptakan prosesor sehebat asupan data itu, apalagi ditambah BigData plus malware-nya.

Hal itu diperlihatkan antara lain oleh kecongkakan dan kekerdilan sebagian dari kita, yang konon berilmu, karena menanggap dengan disiplin ilmunya saja ia sudah mampu mengompres dan mengomprehensi semua persoalan di negeri. Dengar dan lihatlah komentar para "ahli" hukum, politik, ekonomi, bahkan agama sekalipun.

Sebuah realitas publik yang tidak visioner, dalam arti hampa dalam pandangan keduniaan atau kasunyatan yang diakibatkan, antara lain, ketidakmampuan atau masih absennya "jembatan mental" yang bisa mengoneksi kesadaran akal kita, yang diisi oleh logosentrisme Kontinental/Eropa-dengan perilaku praktis yang masih dikendalikan oleh semacam psikologisme primordial. Maka, boleh jadi Anda doktor atau profesor, tetapi tidak menjamin perilaku Anda sebangun atau jadi perwujudan dari kualitas intelektual itu. Ini fakta yang kita lihat, bukan hanya di media massa, tetapi juga di keseharian kita. Kita, sebagai manusia dan bangsa, adalah split personality. Bisa jadi kita terhormat dengan keilmuan canggihnya, ke tempat ibadah dengan khusyuknya, lalu pulang bakar kemenyan dan menggosok akik, plus bersiasat untuk nyolong duit rakyat atau mencari selingkuhan.

Gerakan elite

Latar belakang lain adalah kenyataan arogansi akademik/sektarian kita yang masih kuat dipraktikkan. Kedigdayaan kita secara sektoral atau spesialisasi keilmuan membuat kita enggan bahkan tak percaya diri jika harus menengok, apalagi menggunakan acuan dari sektor atau disiplin yang lain. Kita pun enggan memahami, apalagi mempelajari dunia "lain" itu. Yang sosiolog mencibir ahli atau praktisi politik, begitu sebaliknya, dan seterusnya. Saya pun harus menyatakan dengan kesungguhan hati dan pikiran, bidang atau "wilayah lain" yang paling sering atau emoh untuk ditengok, dipahami, dipelajari (bahkan dalam banyak kasus dikecil: dihina atau ditertawakan) adalah kebudayaan.

Arogansi dan absennya "jembatan mental" adalah tugas kebudayaan dan adab kita bersama, yang mungkin butuh tekad dan usaha beberapa generasi. Saat ini kita tidak bisa berutang waktu begitu lama. Momen konstitutif ini harus dijawab segera, atau akan hilang bersama angin zaman, hingga tugas adab itu pun tak tertunaikan.

Secara praktis, solusi bagi persoalan kompleks di atas adalah segera bersikap dan bertindak tanpa menunggu siapa atau apa pun. Pertama, kita sebaiknya menghentikan semacam propaganda atau program diseminasi frasa "empat pilar harga mati" karena ia cenderungan melakukan sakralisasi yang justru membunuh empat pilar itu. Boleh jadi ia "harga mati" dalam arti tak tertawar dalam eksistensi atau keberadaannya sebagai tiang negara. Namun, ia harus hidup sebagai makna dan dalam signifikansinya karena ia memang hidup dalam waktu yang terus bergulir.

Mungkin jadi paradoksal frasa "harga mati (yang) hidup" itu. Namun, itu bukan masalah karena hidup dan nasib pun dibangun, dinamika tercipta melalui paradoks, yang tidak harus selalu diposisikan secara binerik, apalagi oposisional.

Dalam pilar yang hidup inilah kita bersama-sama memaknai Pancasila secara luhur atau idealistis (bukan ideologis) untuk menuntun secara konsekuen hidup keseharian kita. Tidak apa berbeda, asal kita bersama yakin usaha itu luhur dan memuliakan diri (kemanusiaan) kita. Waktu biasanya akan mengagregasi semua itu menjadi semacam konsensus alamiah (bukan ilmiah) sehingga secara wajar dan nyata ia akan menjadi panduan kita.

Pancasila justru akan gagal jika ia ditempatkan melulu sebagai produk akal, baik itu secara filosofis apalagi ideologis. Pancasila adalah sebuah praksis, tumbuh dan berkembang dalam praktik, sehingga membuatnya seperti pohon yang hidup. Dalam perlambang pohon inilah, elite selayaknya menjadi preseden atau contoh dari praksis ideal negara dan bangsa itu. Elite harus memaksa diri memunculkan contoh-contoh dari kalangannya yang melakoni hidup dalam acuan Pancasila, berdasar komprehensi makna yang dimilikinya, serendah apa pun. Elite harus menjadi inspirasi dantrigger bagi anggota kelompoknya sehingga ia jadi meluas, menjadi sebuah gerakan, yang pada akhirnya meluas di padang rumput.

Dari elite yang ada di pucuk pohon, yang menjadi daun-daun yang pertama menerima ultra-violet, akan tumbuh suburlah ranting, batang, buah, hingga akar yang kuat. Bila ada resistansi, tidak apa daun gugur satu-dua, ia akan segera diganti pucuk-pucuk muda. Namun, alangkah berbahaya jika elite tak bergerak, tetapi justru rumput yang bertindak.

Sebagai permadani bumi/tanah, rumput adalah tempat berpijak dan diinjak. Rumput tak mengeluh jika diludahi, dikencingi, bahkan dicemari kimia. Ia tetap tumbuh. Namun, apabila ia marah dan bertindak, dampak luar biasa akan terjadi: bukan hanya pada negara, tetapi juga bangsa dan negeri. Rumput yang bergerak akan mengangkat atau terangkat akarnya. Dan, pohon yang kehilangan akar akan kehilangan semua: buah, batang, apalagi daun yang akan gugur pertama. Lalu, apa elite mau menunggu lagi: dirimu bangkit atau akar yang terjungkit? Anak cucu kita mengawasi, menjadi saksi.

RADHAR PANCA DAHANA

BUDAYAWAN

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 Mei 2017, di halaman 6 dengan judul "Gerakan Elite".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger