Sejak kecil, siapa pun melakukan hal itu. Kadang dengan kata-kata, tetapi lebih dahulu lagi "dengan tindakan". Ibu dan bayi yang baru dilahirkannya berkomunikasi dengan peluk-ciumnya: tanpa kata. Seluruh tubuh kita merupakan sarana komunikasi: tergantung pada kehendak si pemberi komunikasi dan si penerima. Orang yang dikirimi sinyal komunikasi dengan sentuhan dapat menangkapnya dan mengartikannya secara positif serta menyambutnya, dapat juga memahaminya sebagai gangguan atau bahkan pelecehan.
Manusia memang amat peka dalam hal "berkomunikasi": peka positif atau peka negatif. Oleh karena itu, komunikasi yang dimaksudkan sebagai sarana pemersatu kadang juga menjadi sarana konflik atau permusuhan. Begitu pula pelbagai alat komunikasi—dari tangan, peluk, telepon, hingga bunga—mudah menandai persaudaraan, tetapi juga gampang merangsang pertentangan.
Perbedaan makna pengiriman dan penerimaan sinyal komunikasi dapat terjadi karena masalah biologis (sehat atau terganggu cacat badan), keadaan kejiwaan (sedang rindu atau sedih atau marah), kondisi ekonomis (kaya atau kehabisan dana), posisi politis (ingin berkuasa atau baru dipecat), sikap spiritual (sektarian atau terbuka pada orang beragama lain) atau campuran semuanya.
Komplikasi komunikasi dapat juga terjadi karena "faktor obyektif", seperti cuaca, posisi lalu lintas, dan bahasa.
Orang akan tersenyum geli, apabila sedang memasak nasi dan mencicipi, lalu seorang Jawa dari Bantul berkata atos(dalam bahasa Jawa artinya masih/"keras", jadi "belum matang"), tetapi oleh juru masak dari Garut diterima sebagai atos, dalam pengertian Sunda (atos berarti "sudah"/cukup masak). Orang dapat penuh simpati melawat orang meninggal memakai baju putih, karena menurut kulturnya itulah tanda dukacita, tetapi tindakan itu dapat saja dianggap tak sopan oleh budaya lain yang memandang warna putih sebagai sukacita.
Oleh karena itu, saling mengenal dan menghargai perbedaan lambang-lambang kultural menjadi sangat penting dalam pergaulan normal zaman sekarang: suatu masa, yang di negara atau kota mana pun dipenuhi orang dari aneka budaya. Minimal sesama akan menganggap seseorang "kurang kenal kebudayaan majemuk" atau bahkan memandang sebagai "orang yang tak berbudaya", apabila meminta semua orang memakai kata dan tindakan serta lambang pergaulan yang dipeluknya sendiri.
Negara sekecil San Marino atau Makau sudah sarat dengan orang dari pelbagai budaya, yang sangat menuntut saling mengenal dan menghargai kultur satu sama lain. Satu saja yang biasanya diharuskan dipatuhi semua orang dari segala budaya: peraturan lalu lintas.
Komunikasi indah
Salah satu lambang budaya yang amat menarik untuk dikenali dan saling dihargai adalah yang berkaitan dengan kenegaraan, keyakinan, dan agama. Tidak satu pun negara akan mengirimi duta besar negara lain dengan telur busuk karena hal itu merupakan lambang penghinaan negara.
Hal serupa terjadi dengan pengibaran bendera: jangan sampai terlipat atau salah pasang. Bahkan Polandia dan Indonesia harus amat berhati-hati dalam mengibarkan bendera (karena warna merah-putihnya berbalikan). Dianggap penistaan berat apabila seseorang atau suatu kelompok merobek atau mencoret-coret bendera kebangsaan suatu negara: hubungan diplomatik dapat putus karenanya atau si pelaku dapat diusir dari negara yang bersangkutan.
Dipandang sebagai penodaan berat apabila orang mengirim bunga terbalik kepada seseorang pembesar publik, apalagi sambil menghancurkannya. Tidak seorang pun yang akan menunjukkan kemarahan terberat sekalipun, dengan secara sengaja melecehkan hal suci pemeluk religiositas lain: sebab tindakan itu biasanya dianggap sebagai justru merendahkan dirinya sendiri.
Diperlukan hanya sedikit saja usaha untuk rela mempelajari lambang dan bentuk komunikasi yang umum dalam pergaulan lintas budaya, supaya kita dapat mengambil tempat terhormat dalam permusyawaratan.
Mempelajari cara bergaul dan lambang komunikasi yang menghormati sesama, bukanlah tindakan "rendah diri" melainkan "sikap rendah hati", yang pada gilirannya menciptakan komunitas indah. Sebabnya sederhana: semua simbol itu merupakan "sarana komunikasi", yakni mau "mempersatukan" dan bukanlah "memisahkan". Itulah sebabnya, di seluruh dunia, tempat para permaisuri dan putri kerajaan senantiasa mengandung taman dan kolam yang indah: penuh dengan lambang dan sarana berkembang untuk komunikasi paling mesra, yakni cinta kasih mulia para tokoh kerajaan.
Pada banyak tempat ibadat dari banyak agama dipakailah hiasan sulur dan bunga-bunga untuk mengangkat hati kepada Yang Mahatinggi. Menghancurkan keindahan hiasan serta lukisan berlambang cinta itu tidak akan dilakukan siapa pun, yang menghargai sesama dan lambang saling menghormati. Itulah sebabnya, banyak sekali candi dan tempat suci sedapat mungkin tidak dirusak dalam perang yang paling ganas sekalipun.
Semua orang dan semua generasi tak mau kehilangan komunikasi dengan teman sezaman maupun orang dari zaman lain. Kita semua manusia yang saling mencintai.
Persatuan dalam komunitas majemuk dapat dibentuk dengan rapat dan sidang, tetapi sangat terasa berarti apabila diwujudkan dengan saling berbagi lambang-lambang penghargaan. Komunikasi dengan lambang cinta atau penghargaan sering kali lebih berbicara daripada kalimat dan kata yang paling indah sekalipun. Begitulah keabadian cinta suami-istri dilukiskan juga dengan lambang berupa cincin yang tidak dapat ditemukan awal dan akhirnya. Membinasakan atau menghancurkan lambang itu serupa dengan meniadakan kemanusiaan.
BS MARDIATMADJA, ROHANIWAN
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 Mei 2017, di halaman 7 dengan judul "Komunikasi".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar