Reaksi berbeda justru ditunjukkan politisi di DPR. Sebagian mereka membela pelaku dan penerima suap dari kalangan DPR. Bahkan, mereka menyerang balik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui pernyataan publik serta sosialisasi revisi UU KPK.
Di balik kehebohan kasus ini, ada fenomena menarik lain yang luput dari perhatian publik. Fenomena itu adalah, korupsi pengadaan KTP elektronik merupakan pengulangan modus korupsi yang pernah diusut KPK atau penegak hukum sebelumnya. Penggelembungan anggaran dan rekayasa pengadaan disertai suap pengusaha kepada pimpinan DPR, fraksi, anggota DPR, panitia lelang, dan pejabat tinggi adalah modus yang jamak terjadi dalam korupsi pengadaan.
Jadi, korupsi KTP elektronik tak begitu berbeda dibandingkan kasus korupsi pengadaan lainnya kecuali kasus ini melibatkan banyak petinggi DPR, kementerian, dan pengusaha kaya dengan nilai suap yang sangat fantastis. Karena melibatkan nilai suap sangat tinggi pada pejabat tinggi negara dan kementerian, maka proses persidangan ini memicu reaksi sangat keras dari publik.
Dari pemantauan ICW atas kasus korupsi yang diusut penegak hukum dalam periode 2010-2015, ditemukan 952 kasus atau 31,3 persen dari total 2.086 kasus yang ditangani penegak hukum (KPK, kepolisian, dan kejaksaan) merupakan kasus korupsi pengadaan barang dan jasa dan sebagian besar praktik jual-beli anggaran DPR/DPRD.
Masalahnya, mengapa kita terus terjebak pada kasus korupsi (dengan modus) yang sama berulang kali, yang memicu kegaduhan politik berkali-kali? Apakah kita tak mampu menarik pembelajaran atas kriminalisasi pimpinan dan staf KPK serta upaya pelemahan lembaga ini ketika lembaga ini menangani kasus korupsi yang melibatkan banyak petinggi pemerintahan politik dan hukum di negeri ini?
Politisi anti-korupsi
Beberapa politisi memberikan pernyataan publik mendukung KPK mengusut kasus korupsi. Namun, pernyataan itu tidak disertai aksi konkret berupa perlawanan politik atas sosialisasi revisi UU KPK di kampus-kampus serta melawan serangan balik lainnya. Ini membuktikan gerakan anti-korupsi belum sepenuhnya dapat dukungan politik kuat dan solid di parlemen. Sebaliknya, kekuatan yang anti pemberantasan korupsi justru makin dominan menguasai DPR.
Ada dua alasan mengapa gerakan anti-korupsi butuh kelompok politik pendukung di DPR. Pertama, akar korupsi ada di politik, terutama di politisi yang jadi anggota DPR. Hal ini terjadi karena berbagai kewenangan DPR-legislasi, penganggaran, pengawasan, penunjukan pejabat publik-memiliki pengaruh terhadap korupsi di pemerintahan.
Kasus korupsi pengadaan, misalnya, terjadi tak hanya saat pengadaan, tapi dipicu sejak pembahasan alokasi dana proyek di DPR. Praktik jual-beli proyek dalam pembahasan anggaran telah menyandera proses lelang di pemerintahan. Proses lelang akhirnya cuma formalitas belaka. Begitu juga penyalahgunaan kewenangan legislasi dan pengawasan yang juga memicu korupsi lainnya di pemerintahan.
Kedua, kelompok politisi anti-korupsi merupakan kelompok yang diharapkan dapat mendukung upaya mencegah korupsi oleh politisi DPR atau pemerintahan. Tanpa ada kekuatan kelompok politik, maka kelompok politik lain akan leluasa melakukan korupsi dan melawan pihak-pihak yang berseberangan dengannya. Mereka akan terus merongrong KPK dan agenda pemberantasan korupsi karena dinilai mengganggu agenda dan kepentingan mereka.
Harus diakui, upaya membangun kelompok politik yang pro pemberantasan korupsi sangat sulit. Namun, berkaca pada keberhasilan ICAC Hongkong memberantas korupsi, terutama di kepolisian, juga tak lepas dari dukungan politik pemimpinnya.
Pemimpin politik Hongkong mengalokasikan dana besar untuk pengusutan korupsi, tidak mengintervensi kewenangan ICAC Hongkong, dan mempertahankan independensi lembaga tersebut. Para pemimpin politik memberi kebebasan ICAC membersihkan kepolisian dan lembaga lainnya dari korupsi.
Upaya membangun kelompok politik yang mendukung pemberantasan korupsi telah dilakukan sejak awal reformasi. Kesadaran untuk membersihkan dunia politik, terutama DPR, dari korupsi, kolusi dan nepotisme beranjak dari fakta bahwa akar dan hulu korupsi ada di DPR.
Upaya diawali dengan menghambat terpilihnya caleg bermasalah dan dukungan kepada caleg bersih dalam pemilu. Kelompok ini juga membentuk kaukus parlemen beranggota politisi muda di DPR. Beberapa produknya adalah UU tentang penegakan hukum atas korupsi oleh KPK.
Namun, kelompok ini memudar dan melemah seiring banyaknya pimpinan dan anggota DPR yang dijerat KPK dalam berbagai kasus korupsi. Mereka hilang karena tidak terpilih kembali dalam pemilu berikutnya atau tunduk dan bergabung dalam kelompok yang anti terhadap gerakan anti-korupsi karena pertimbangan politik pragmatis.
Salah satu penyebab utama hilangnya politisi pendukung KPK dan gerakan anti korupsi karena gerakan ini gagal meyakinkan bahwa pemberantasan korupsi adalah isu penting bagi rakyat dan strategis bagi kepentingan politik di DPR. Gerakan ini tak mampu meyakinkan bahwa bergabung dan mendukung agenda pemberantasan korupsi sejalan dengan kepentingan politik, terutama mobilisasi suara pemilu.
Para politisi tersebut gagal meraup suara dalam pemilu berikutnya karena gerakan di DPR tidak sampai pada pemilih. Tidak hanya itu, politisi yang terpilih justru semakin terkucilkan dari elite karena dianggap batu sandungan bagi politisi dan parpol umtuk meraup uang negara.
Penutup
Membangun kekuatan politik anti-korupsi merupakan keniscayaan jika gerakan anti-korupsi tak berkutat pada kasus korupsi yang sama. Tidak hanya itu, kekuatan politik juga membantu KPK dan gerakan anti-korupsi dari upaya serangan balik yang berulang kali muncul ketika KPK mengusut kasus korupsi di DPR, penegak hukum, pejabat pemerintah, dan elite pengusaha.
Karena itu, gerakan anti- korupsi harus berkembang dan meluas sampai dan masuk pada pertarungan politik parlemen. Kekuatan politik yang pro terhadap pemberantasan korupsi ini diharapkan mampu menjadi antitesis politik lain yang tak sejalan dengan pemberantasan korupsi.
Hal ini semakin mendapatkan tempat karena korupsi merupakan isu sangat berpengaruh dalam pemilu dan elektoral lainnya. Parpol dan politisi yang tersangkut kasus korupsi berisiko kehilangan dukungan dari pemilih.
Kondisi ini celah yang dapat digunakan pegiat anti-korupsi dan KPK untuk membangun gerakan anti-korupsi di luar parlemen, terutama memberi edukasi bagi pemilih. Gerakan anti-korupsi harus memiliki insentif politik bagi politisi yang mendukungnya, terutama insentif suara dalam elektoral sehingga mampu memunculkan kelompok politik tandingan di DPR.
FEBRI HENDRI AA KOORDINATOR DIVISI INVESTIGASI ICW
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 Mei 2017, di halaman 7 dengan judul "KTP-el dan Korupsi Berulang".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar