Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 10 Mei 2017

Potensi Kebuddhaan untuk ”Kita”  (PANDITA IWAN SETIAWAN)

Waisak adalah hari raya umat Buddha, memperingati tiga peristiwa suci dalam kehidupan Buddha Sakyamuni. Ketiga peristiwa tersebut adalah kelahiran, pencapaian kesadaran Buddha, dan meninggal atau pari-nibbana. Ketiga peristiwa itu terjadi pada saat bulan purnama yang indah, terang, bulat sempurna.

Tahun ini Hari Raya Trisuci Waisak diperingati di tengah kondisi dunia yang saratberbagai pergolakan konflik antarnegara yang sangat memanas. Hal ini terjadi hampir di berbagai belahan dunia, baik di Asia, Eropa, Afrika, Australia, maupun Amerika.

Tidak tanggung-tanggung, perang antarnegara atau perang saudara dalam satu negara telah melibatkan gas beracun, nuklir, hingga berbagai persenjataan modern yang jelas digunakan untuk mematikan satu sama lain. Berbagai aksi kekerasan yang mengatasnamakan politik, ekonomi, maupunnarkotika dan obat terlarang lainnya juga terjadi. Bagai tak ada arti, nyawa manusia begitu saja dihilangkan. Itu semua demi perebutan kekuasaan, harta, hingga kenikmatan sesaat yang didapat dari berbagai hal duniawi lainnya.

Di dalam negeri, walau tidak sekeras yang terjadi di luar sana, bibit kekerasan tersemai, tumbuh di berbagai pelosok, hingga ke setiap rumah. Aksi perampokan, kekerasan akibat dendam antarpribadi hingga berbagai alasan apa pun itu, menjadi dasar untuk aksi kekerasan antarsesama manusia.

Apa makna penting perayaan Trisuci Waisak di tengah dunia yang penuh amarah ini?

Perayaan Trisuci Waisak tahun ini mengambil tema "Tingkatkan Kesadaran Menjadi Kebijaksanaan, Kembangkan Hati Buddha dan Potensi Kebuddhaan".Secara sederhana, melalui tema ini umat Buddha diajak mengasah potensi kebuddhaan yang ada dalam diri untuk memunculkan kebijaksanaan dalam menyikapi berbagai persoalan di dunia ini. Sebagai umat manusia, diri kita telanjur diselimuti keburukan yang memengaruhi cara pandang dan hati kita. Walau setiap manusia dibekali potensi Buddha, belum tentu mampu mengubahkesadaran sebagai manusia menjadi kesadaran Buddha yang sempurna.

Apa itu kesadaran Buddha? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu mengulas sekilas kehidupan Siddharta Gautama yang kelak menjadi Buddha Sakyamuni.

Buddha Sakyamuni terlahir sebagai Pangeran Siddharta Gautama yang merupakan putra mahkota dari Kerajaan Kapilavasthu. Namun, pengalamannya bertemu dengan kelahiran, orang tua, orang sakit, dan orang meninggal telah menggugah dirinya untuk keluar dari istana. Bahasa anak sekarang: galau! Beliau tidak bisa memahami mengapa manusia sejak lahir sudah menderita dan terus menderita karena menjadi tua, mengalami sakit hingga meninggal. Apa tujuan kehadiran manusia di dunia jika hanya merasa derita? Apa kunci kebahagiaan sejati?

Berbekal rasa ingin tahu dan semangat membahagiakan umat manusia, ia berkelana mencari jawab. Untuk itu beliau belajar banyak ajaran, bertapa, hingga menahan lapar dan haus.

Di bawah pohon Bodhi, beliau mencapai kesadaran. Salah satu kesadaran yang kemudian ia babarkan adalah sikap hidup sebagai Bodhisatva untuk menikmati kebahagiaan yang sesungguhnya. Adapun jalan itu adalahmaitri karuna atau memikirkan dan membantu manusia lain mewujudkan kebahagiaannya.

Dengan demikian, kita akan merasakan kebahagiaan bukan karena tumpukan harta, luasnya kekuasaan, atau kecantikan maupun ketampanan paras diri. Kebahagiaan dirasakan justru kita ikut secara aktif mewujudkan kebahagiaan manusia lain.

Dari titik ini, melalui perayaan Trisuci Waisak, kita diajak memberi warna lain dalam dunia yang penuh dengan amarah, perburuan harta dan penaklukan sesama demi kekuasaan. Kita wajib memberi warna yang sejuk, saling kerja sama dan berbagi kepedulian demi terbentuk kehidupan yang lebih baik.

Kita tidak perlu mengutuk kegelapan atau memaki kesesatan. Namun, justru bagaimana kita menggali, mengasah, dan mengembangkan potensi Buddha dalam diri kita masing-masing hingga mampu menjadi cahaya yang menerangi, mampu menjadi bintang yang memandu.

Dengan demikian, dunia kini yang penuh amarah, kekerasan, dan mabuk harta serta kekuasaan, perlahan dan pasti akan mendapat "perlawanan" dari satu per satu orang yang "sadar", lalu mengasah potensi kebuddhaan dalam diri untuk lingkungan yang lebih baik.

Politik bisa jadi gulita karena dipenuhi politisi yang koruptif. Namun, jika kita terus percaya, dengan melaksanakan ajaran Buddha, akan terlihat setitik demi setitik cahaya yang memperlihatkan betapa menjadi politisi adalah bagaimana mengerahkan kemampuan, pengetahuan, menerbitkan dan melaksanakan aturan yang membahagiakan orang lain.

Kekerasan bisa jadi masih ada. Namun, jika kita menerapkan cinta, saling mengerti dan bekerja sama, pasti akan muncul budaya baru yang penuh kesejukan dan kehangatan.

Semua pasti bisa diubah. Semua bisa menjadi lebih baik. Sebab, ada potensi Buddha dalam diri kita. Mari mengasah potensi kebuddhaan dan mengembangkannya untuk lingkungan bersama yang lebih baik.

Selamat Hari Waisak!

PANDITA IWAN SETIAWAN, MAJELIS BUDDHA DHARMA NICHIREN SHOSHU INDONESIA; TULISAN INI TIDAK MEWAKILI ORGANISASI

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 Mei 2017, di halaman 6 dengan judul "Potensi Kebuddhaan untuk "Kita" ".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger