Namun, memaknakan prinsip tersebut sementara ini dari kacamata AS sepertinya masih diwarnai proteksionisme ala Presiden AS Donald Trump dalam arti pengaturan perdagangan internasional yang terbuka, tetapi adil, dan akses untuk perusahaan-perusahaan AS.
Defisit perdagangan dan globalisasi yang tidak adil selama ini dianggap penyebab pengangguran untuk berbagai jenis pekerjaan dan sektor, pendapatan kelas menengah AS yang stagnan selama 20 tahun terakhir, dan semua ini merugikan AS. Maka pendekatan AS saat ini adalah bagaimana menurunkan defisit perdagangan barang yang besar dan tidak adil dan mencegah perusahaan-perusahaan AS untuk investasi pabrik-pabrik di luar negeri, yang memberikan pekerjaan kepada pekerja di negara lain (offshoring).
Neraca perdagangan jasa-jasa di mana AS mengalami surplus tidak banyak disinggung maupun kemampuan bersaing yang diperoleh dari perusahaan AS dengan melakukan offshoring tidak banyak disinggung.
Executive Order (EO) yang baru dikeluarkan akhir Maret akan melakukan investigasi terhadap 16 negara di mana AS mempunyai defisit perdagangan barang, termasuk Indonesia di peringkat ke-15 dan direncanakan akan menerapkan pembatasan impor untuk menghadapi perdagangan yang tidak adil. Saat ini pun beberapa produk Indonesia seperti kertas, udang, dan pelat besi baja sudah dikenakan bea masuk anti dumping dan countervailing duty, dan sedang ada petisi terhadap biodiesel Indonesia. Sementara Indonesia tidak ada kasus terhadap AS.
Fokus pendekatan fair trade AS sesungguhnya bertentangan dengan proses globalisasi yang berjalan maupunnew globalization yang akan lebih cepat lagi berada di tengah-tengah kita, di mana perdagangan jasa dan pergerakan pengetahuan (knowledge) jadi keniscayaan. Justru kebijakan fair tradeyang akan dijalankan tak akan menghasilkan solusi win-win, apalagi dalam konteks new globalization, dan bahkan akan merugikan AS.
Globalisasi, revolusi teknologi, dan "new globalization"
Sejak kata globalisasi mulai dipopulerkan awal 1980-an, diskusi mengenai proses global ini tak pernah berhenti. Tetapi, kelihatannya pemahaman mengenai globalisasi ini masih harus terus diperbarui. Terbukti kita masih terguncang ketika fenomena Brexit mengemuka dan Presiden Trump dengan retorika anti globalisasinya menjadi pilihan rakyat AS.
Dalam bukunya, The Great Convergence: Information Technology and the New Globalization, Richard Baldwin percaya bahwa untuk mengerti implikasi dari proses globalisasi yang terjadi saat ini, kita harus melihatnya sebagai bagian dari proses yang berlangsung sejak ribuan tahun lalu ketika manusia memulai aktivitas produksi dan perdagangan.
Baldwin-memberikan kuliah umum di Panglaykim Memorial Lecture di CSIS, Jakarta, 2 Mei 2017-membagi sejarah produksi ekonomi dan perdagangan hingga hari ini ke dalam tiga periode. Periode pertama adalah ketika produksi dan konsumsi harus berada pada suatu tempat, di mana perdagangan sangatlah terbatas disebabkan tingginya biaya transportasi. Periode kedua adalah globalisasi gelombang pertama yang ditandai meningkatnya perdagangan barang sejak abad ke-19 karena revolusi teknologi yang mampu menurunkan biaya produksi dan transportasi dengan temuan mesin uap.
Produksi, pengetahuan, dan inovasi tetap di negara-negara yang akhirnya jadi negara "maju" melalui industrialisasi dan peningkatan pesat dari pendapatan yang terjadi menyebabkan ketimpangan antara negara "maju" dan berkembang. Pihak lain yang terkalahkan adalah pekerja tidak terampil yang tidak bisa bersaing dengan produksi yang menggunakan tenaga mesin dan produksi secara massal. Tetapi, banyak pihak lain yang diuntungkan, yaitu tenaga terampil yang mulai muncul, dan terjadinya spesialisasi keterampilan, inovasi, dan produktivitas yang terus berkembang, dan konsumen yang dapat mengonsumsi produk yang tak diproduksi di negaranya.
Periode ketiga terjadi ketika perdagangan semakin didominasi arus pertukaran ide, pengetahuan dan jasa, yang merupakan bagian dari globalisasi gelombang kedua. Di sini perdagangan bukan lagi mengenai barang, melainkan lebih dalam bentuk pekerjaan dan bagian dari proses produksi yang dilakukan offshore atau dikerjakan di negara lain karena biaya tenaga kerja yang lebih rendah. Globalisasi kedua sejak tahun 1970-an dimungkinkan karena perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang mempermudah pertukaran pengetahuan dan informasi, dan koordinasi global value chain yang kompleks dan berlokasi di berbagai tempat.
Pada gelombang kedua globalisasi, pihak yang terkalahkan adalah para pekerja yang sebelumnya mendapat keuntungan, terutama yang berada di negara maju. Dengan kemajuan teknologi informasi, tidak hanya barang, tetapi juga pekerjaan dapat dikirimkan ke luar negeri, khususnya ke negara berkembang. Karena biaya mengirim orang yang punya pengetahuan masih relatif mahal, terjadi juga konsentrasi bagian-bagian global value chain di beberapa negara saja dan sebagian besar di Asia Timur.
Partisipasi Indonesia dalam GVC tidak tinggi seperti di China atau beberapa negara ASEAN lain, tetapi Indonesia tetap diuntungkan oleh permintaan komoditas yang terjadi karena pertumbuhan pesat di Asia Timur. Pekerja dan kelas menengah di negara-negara yang bisa tumbuh karena produksi offshore dan mengalami percepatan proses industrialisasi, mengalami pertumbuhan tinggi (sebesar sekitar 80 persen selama 20 tahun terakhir).
Bagaimana ceritanya di negara maju? Kelompok yang kehilangan pekerjaan karena offshoring dan kelompok kelas menengah dan bawah yang pendapatannya stagnan dalam 20 tahun terakhir inilah yang merasa dirugikan dengan globalisasi. Mereka adalah target yang ingin diberikan "keadilan" oleh pendekatan kebijakan Trump saat ini walaupun sesungguhnya penjelasan pengangguran di level tidak terampil dan padat karya 80 persen karena perubahan teknologi (seperti otomasi dan robotik) dan hanya 20 persen karena persaingan yang terjadi melalui perjanjian perdagangan.
Adapun sumber pengetahuan dan inovasi tetap di negara maju, dan pemiliknya mengalami peningkatan pendapatan yang besar atau sekitar 70 persen dalam 20 tahun terakhir ini. Maka terjadi ketimpangan pendapatan di AS. Dengan globalisasi gelombang kedua, juga terjadi "convergence" pendapatan antara negara maju dan sedang berkembang (walaupun tidak semua negara sedang berkembang).
Masa depan globalisasi
Globalisasi akan terus berlanjut, tetapi dengan wajah berbeda. Baldwin dan banyak pihak lain memprediksi dunia akan memasuki gelombang ketiga globalisasi dengan revolusi teknologi yang berikutnya. Digitalisasi dan teknologi akan mengubah cara produksi barang dan jasa-jasa (misalnya 3-Dprinting, robotik) dan cara kita memperdagangkan barang dan jasa-jasa (seperti e-commerce). Biaya "menghadirkan orang" menjadi lebih murah karena tak perlu terjadi pergerakan secara fisik. Seperti juga murahnya pengiriman barang dan pengetahuan telah mendorong globalisasi gelombang pertama dan kedua, maka globalisasi baru ini akan lebih cepat, lebih mendadak, dan lebih tidak pasti. Implikasinya terhadap kondisi ekonomi dunia juga akan sangat masif.
Saat ini kebanyakan kita masih memahami globalisasi seperti pada gelombang pertama di abad ke-20. Berbagai kebijakan sosial ekonomi juga masih didasarkan pemahaman lama ini. Akibatnya kita semua kaget ketika implikasinya jauh dari yang diharapkan, dan berbagai kebijakan yang dibuat untuk mengurangi dampak negatifnya tak efektif. Padahal, ada paradigma baru proses globalisasi yang berarti pengambilan kebijakan sosial dan ekonomi harus juga berubah.
Dengan gelombang globalisasi persaingan terjadi antarpekerja, terutama yang biaya lebih rendah ditemukan di negara sedang berkembang. Tetapi, pengetahuan dan inovasi, pekerjaan yang terampil dan intensif ilmu pengetahuan, tetap berada di negara maju dan perusahaan atau pemilik ilmu pengetahuan tetap dapat manfaat dengan memproduksi produk yang bersaing dengan biaya lebih rendah karena kemungkinan offshore dan impor kembali ke AS-untuk menjadi produk final dengan bagian high-end (high value) seperti penelitian, pengembangan dan inovasi, dan HAKI maupun brand-tetap di AS.
Dengan memahami globalisasi yang sudah dan akan terus terjadi, justru jika impor dibatasi dengan pendekatan Trump saat ini, yang akan dirugikan adalah ekspor karena impor jadi lebih mahal-daya saing ekspor AS terpengaruh. Selain itu, biaya produk terkait akan lebih mahal untuk konsumen. Dan, jika bagian produksi yang bisa dilakukan offshorediminta kembali atau dicegah untuk keluar, yang terjadi bukan penciptaan lapangan kerja karena pekerjaan yang direlokasi yang padat karya dan rutin. Kemungkinan besar yang akan terjadi, penggunaan mesin atau robot untuk menggantikan offshoring.
Maka justru menyalahkan negara asing yang tak adil dan menolak perjanjian- perjanjian perdagangan yang ada untuk menolak new globalization yang tak adil akan merugikan AS dan tak menciptakan lapangan pekerjaan yang diharapkan.
Solusi win-win adalah globalisasi dan arus perdagangan, investasi, modal, pengetahuan dan orang yang terjadi akan ada yang rugi dan untung, dan yang penting adalah mendesain program-program yang mengatasi yang mengalami kerugian-bukan menolak new globalization. Program seperti melakukan pelatihan ulang, memberi keterampilan yang lebih sesuai dengan new globalization, diberi dukungan untuk jadi wirausaha dan dukungan lain yang langsung membantu individu yang terpengaruh akan lebih tepat. Bukan perlindungan terhadap sektor atau jenis pekerjaan tertentu.
Memang kenyataan politik dan keterbatasan anggaran sering kali menghasilkan yang berbeda, dan instrumen dari old globalization seperti bea masuk dan hambatan dianggap paling mudah dilaksanakan. Padahal, hasilnya merugikan dan tidak mengembalikan pekerjaan. Ini solusilose-lose yang harus dihindari. Semoga AS dan Trump menyadari hal ini, dan kita di Indonesia juga menyimak dan mengantisipasi dinamika new globalization.
MARI PANGESTU
Profesor Ekonomi Internasional Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar