Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 17 Juni 2017

Menyemai Benih Pemimpin (SUWIDI TONO)

Di tengah krisis kenegarawanan, kepemimpinan, dan lunturnya nilai-nilai kebangsaan, amanat reformasi 1998 perlahan memudar.

Agenda utama pemberantasan korupsi, penegakan hukum, keadilan sosial-ekonomi, demokratisasi, otonomi berkualitas dan bertanggung jawab dihadang kleptokrasi dan mobokrasi. Desain besar korupsi terstruktur luput dari skema pencegahan dan pemberantasan. Ketimpangan sosial-ekonomi mencolok terlepas dari peta jalan pemerataan. Demokratisasi menjadi sekadar ajang pertarungan antarkandidat dan kepentingan. Otonomi tetap menyisakan problem klasik: ketergantungan dan oligarki politik.

Menyemai pemimpin

Inisiasi gencar pembangunan infrastruktur dan deregulasi ekonomi untuk menggulirkan  pertumbuhan belum dirancang saksama agar kompatibel dengan upaya mengurangi ketimpangan dan kemiskinan. Beberapa korporasi menguasai ratusan ribu hingga jutaan hektar lahan, sementara pemilikan lahan petani terus menurun, menunjukkan tidak ada koreksi mendasar dan persinggungan antara pertumbuhan dan pemerataan. Liberalisasi tanpa panduan dan redistribusi peran kelak bakal menuai derajat kesenjangan yang sukar diatasi dan stagnasi indeks pembangunan manusia.

Ego sektoral kian berkecambah dengan hadirnya banyak undang-undang (UU) yang meneguhkan kapling-kapling otoritas baru dengan efektivitas rendah. UU Pokok Agraria (UU No 5/1960) yang semestinya menjadi rujukan semua produk UU sektoral ditinggalkan, menimbulkan komplikasi dan tumpang tindih pengaturan ruang dan wewenang. Koherensi dan harmonisasi peraturan kian terbengkalai. Ide-ide krusial yang bergulir di publik untuk menata kembali arah republik bermuara pada tiga isu utama: kembali pada UUD 1945, memperkuat kontrol negara seperti berlangsung di Amerika Latin (Brasil, Venezuela, Bolivia), dan menyederhanakan infrastruktur politik. Ketiga arus pikiran perubahan itu mengandaikan berada dalam ruang vakum yang steril dari realitas, dihela hasrat jalan pintas, dan membutuhkan kekuatan besar untuk mewujudkannya.

Mosaik persoalan bangsa itu mengantarkan kita pada pentingnya tanggung jawab kolektif yang mengejawantah dalam setiap jenjang kepemimpinan. Otoritas dan manajemen kepemimpinan pusat jelas tidak memadai mengatasi ragam persoalan bersegi banyak dan multidimensi dengan skala prioritas berbeda di setiap wilayah.

Parpol mengidap banyak masalah internal, langka melahirkan kader berkualitas dan berintegritas. Pragmatisme meraih kekuasaan menghadirkan anomali postur politik berupa wabah koalisi asimetris di hampir semua wilayah, mengeliminasi peran parpol sebagai alat perjuangan untuk menyejahterakan rakyat. Disorientasi fungsi parpol ini, selain membuktikan krisis ideologi, juga menjadi petunjuk merebaknya power game berciri transaksional. Dalam situasi kekosongan kader pemimpin di tingkat lokal dan nasional yang disemai melalui perekrutan terukur dan akuntabel, partisipasi aktif civil society sangat dibutuhkan untuk menggelorakan spirit demokrasi. Pilkada dan pilpres terlalu berisiko jika hanya jadi ajang kontestasi kandidat parpol dengan mencermati sistem penjaringan calon pemimpin yang tertutup dan berada dalam kendali elite partai.  

Gagasan konvensi untuk memilih calon pemimpin lokal dan nasional dapat dirancang masyarakat madani yang melek politik, sadar hak dan kewajiban. Kebutuhan dan kesempatan tersebut terbuka lebar sejalan dengan masifnya penggunaan aplikasi teknologi informasi yang menjangkau mayoritas rakyat. Melalui para relawan berjejaring, mediasi politik publik-republik dapat dibangun dan kelak sangat menentukan lanskap demokrasi Indonesia. Revolusi digital membuka peluang terbentuknya resonansi serentak artikulasi politik konstituen. Dalam model meritokrasi sistematis, aspirasi publik dilibatkan dan dijaring untuk memunculkan tokoh-tokoh otentik yang memiliki potensi dan syarat kecukupan tinggi guna mengemban amanat kepemimpinan.

Kesabaran strategis

Rekognisi komunitas merupakan basis sahih eksistensi pemimpin otentik. Pada lapangan  informal, ketokohan seseorang merepresentasikan penerimaan dan kepercayaan rakyat atas sepak terjang, kiprah, dan kepeloporan figur yang bersangkutan. Pada jalur profesional, ketokohan identik dengan keterlibatan penuh dan kesetiaan menjaga nilai-nilai profetik yang menjadi panduan bersama.

Sumber ketokohan informal dan profesional tersedia dan mudah dilacak dalam satuan komunitas dan wilayah. Pegiat sosial, kemanusiaan, lingkungan, organisasi, ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan kader fungsional lainnya merupakan salah satu reservoir bahan baku pemimpin otentik yang dapat dijaring dan dimunculkan. 

Melalui simulasi teoretik dan praktik, model penjaringan pemimpin otentik dapat dirumuskan dengan menetapkan kriteria baku bakal calon: mengakar, teruji, independen, dan pembelajar. Mengakar: memiliki ikatan kuat dengan basis sosial-kultural, lingkungan pengabdiannya. Teruji: kaya pengalaman, prestasi, dan jadi teladan. Independen: teguh prinsip dan tidak berafiliasi pada kelompok atau golongan tertentu. Pembelajar: mempunyai kapasitas untuk terus bertumbuh dan berkemampuan mengelola perubahan.

Menyemai figur-figur otentik yang memenuhi karakteristik: pribadi "merdeka", rekam jejak teruji dan terpuji, mumpuni, merupakan tantangan sekaligus harapan besar pola perekrutan kepemimpinan yang dibutuhkan rakyat di tingkat lokal ataupun nasional. Relawan pegiat medsos ditantang mewujudkan misi besar dan mulia ini, bersinergi dengan kecakapan para statistikawan, programer, analis, periset, dan pemburu bibit unggul dalam suatu proyek kolaborasi jangka panjang untuk melahirkan pemimpin-pemimpin sejati: dari, oleh, dan untuk rakyat.

Menyongsong pilkada serentak 2021-2023, proyek menjaring pemimpin otentik ini dapat digarap sedari sekarang. Untuk keperluan mencari role model, eksperimen dapat diformulasikan dengan merujuk pada indikator paling sulit: kompleksitas tantangan, keanekaragaman komunitas, dan potensi besar menjemput perubahan. Jika 10 daerah uji coba berhasil menelurkan pemimpin mumpuni, eskalasi proyek ini merupakan keniscayaan sekaligus meletakkan kontestasi dan demokrasi dalam maknanya yang hakiki.

Gagasan awal proyek ini adalah menyediakan stok pemimpin dan menempatkan fungsi pemimpin dalam kesatuan organik dengan konstituennya. Rakyat sebagai "masyarakat politik" didorong sadar hak dan kewajiban untuk turut serta mencetak dan melahirkan pemimpin melalui uji kelayakan dan kepatutan berbasis kebutuhan lokal. Semua ini dapat "dibumikan" para relawan yang peduli dengan masa depan demokrasi dan bangsa.

Dengan demikian, pemilu legislatif, pilkada, dan pilpres merupakan proses panjang demokrasi yang terukur dengan partisipasi aktif rakyat. Bukan momen lima tahunan tanpa rancang bangun dan semata-mata menjadi hajat parpol. Eksperimen ini juga menjadi pembelajaran bagi semua, termasuk parpol, mencegah jebakan transaksi, ongkos besar, dan munculnya pemimpin-pemimpin medioker,   

Dengan konstelasi politik, situasi negara, dan tantangan global, kita butuh banyak pemimpin cakap untuk memandu jalannya sejarah menuju bangsa besar. Kesabaran strategis diperlukan untuk menemukan dan membesarkan calon pemimpin di seluruh penjuru negeri. Ini perlu jejaring luas, partisipasi dari banyak "orang pintar dan baik", dan metodologi andal. Para pemimpin baru itu dapat didorong dan diyakinkan untuk fokus pada tiga pembenahan mendasar: pendidikan (kecerdasan literasi dan vokasi), kesehatan (terutama perbaikan asupan gizi), dan merangsang bangkitnya inovasi dan kreativitas lokal. Tiga sumbu perubahan utama yang kelak dapat mengubah secara signifikan kualitas manusia dan bangsa.

SUWIDI TONOKOORDINATOR FORUM MENJADI INDONESIA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 17 Juni 2017, di halaman 6 dengan judul "Menyemai Benih Pemimpin".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger