Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 21 Juni 2017

TAJUK RENCANA: Dari Permen ke Perpres (Kompas)

Kontroversi kebijakan publik muncul dari dalam tubuh pemerintahan Presiden Joko Widodo. Aturan yang diterbitkan kemudian dikoreksi.

Kasus terakhir adalah Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah. Peraturan menteri (permen) itu dimaksudkan untuk penguatan karakter anak didik. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kemudian mengintroduksi sekolah lima hari dengan rincian setiap hari sekolah delapan jam. Sebagian media menyebut aturan itu sebagai full day school yang sebenarnya tidak ada dalam peraturan menteri tersebut.

Hari Selasa terdengar kabar bahwa penerapan kebijakan sekolah lima hari masih menunggu peraturan presiden (perpres). Pengumuman soal itu disampaikan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia KH Ma'ruf Amin yang didampingi Mendikbud Muhadjir Effendy di Istana. Seperti dikutip Kompas, 20 Juni, KH Ma'ruf mengatakan, "Kami membahas Permen No 23/2017 tentang Hari Sekolah terkait sekolah lima hari yang mendapat reaksi luas masyarakat dan organisasi kemasyarakatan. Presiden merespons aspirasi yang berkembang di masyarakat dan memahami yang menjadi keinginan ormas dan masyarakat Islam."

Peraturan menteri akan ditingkatkan menjadi peraturan presiden yang penyusunannya melibatkan menteri-menteri terkait dan organisasi kemasyarakatan. Belum diketahui kapan perpres akan diterbitkan. Pimpinan Pusat Muhammadiyah mendukung kebijakan Mendikbud yang melaksanakan kebijakan presiden.

Di media, berita tampil beragam. Ada yang menulis Permendikbud dibatalkan. Ada yang menulis ditunda. Muhadjir membantah ada "penundaan", yang benar payung hukumnya ditingkatkan dari peraturan menteri menjadi peraturan presiden. Secara hukum, status sebuah aturan akan ditentukan oleh aturan yang baru. Jika peraturan menteri itu dibatalkan, ya, harus diterbitkan peraturan menteri yang baru.

Kontroversi dalam pembuatan kebijakan publik inilah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan pemerintahan Presiden Jokowi. Presiden seharusnya mendengarkan semua pihak yang bakal terkena kebijakan tersebut sebelum kebijakan itu diterbitkan. Sekretariat Negara juga harus bisa memastikan payung hukum yang tepat, apakah peraturan menteri atau peraturan presiden. Tampaknya, Sekretariat Negara membutuhkan sosok yang sangat memahami ilmu perundang-undangan.

Beragamnya tafsir soal Permendikbud No 23/2017 apakah dibatalkan, ditunda, atau ditingkatkan status hukumnya dari permen ke perpres merupakan kelemahan komunikasi Istana kepada masyarakat. Presiden Jokowi meyakini demokrasi adalah mendengarkan kehendak rakyat, tetapi seharusnya mendengarkan suara rakyat dilakukan sebelum aturan itu diterbitkan. Kalau sebaliknya, hal itu akan memengaruhi persepsi publik kepada pemerintah.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 Juni 2017, di halaman 6 dengan judul "Dari Permen ke Perpres".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger