Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 12 Juli 2017

ARTIKEL OPINI: Pesta Para Koruptor (JAKOB SUMARDJO)

Kaum koruptor tak pernah puas berpesta pora mengeruk uang rakyat. Mereka tak rela pesta korupsi itu berakhir.

Adanya lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan bahwa tak ada pesta tanpa akhir. Boleh jadi, itulah sebabnya lembaga KPK—terutama sejak lembaga ini dipimpin Antasari Azhar—tak pernah sepi dari hujatan para pejabat negara yang bertanggung jawab atas pengelolaan belanja negara demi menyejahterakan rakyat.

Belanja negara yang sudah diperhitungkan matang-matang tak pernah mencapai tujuannya. Sebagian besar rakyat tetap miskin dan menderita akibat korupsi para pejabatnya, baik di tingkat atas, menengah, maupun bawah: di semua sektor kekuasaan negara.

Apakah mereka tak menyadari bahwa perbuatan korup mereka mengakibatkan matinya pengendara motor di jalan yang penuh lubang? Mengakibatkan jutaan anak-anak tak dapat melanjutkan sekolah? Mengakibatkan robohnya bangunan-bangunan sekolah dasar? Mengakibatkan banjir karena gorong-gorong mampat? Mengakibatkan rakyat membangun rumah di bantaran sungai karena anggaran perumahan rakyat ditilap kaum koruptor?

Kebenaran yang dibalikkan

Korupsi itu kejahatan berat lantaran mengakibatkan penderitaan rakyat yang massal, yang tak disadari sebab-akibatnya oleh para pelakunya. Uang negara untuk hajat orang banyak disunat di sana-sini. Dampak pengurangannya yang signifikan akan menimpa nasib banyak orang juga. Bagaimana, misalnya, bagi-bagi uang untuk pengadaan alat kesehatan bagi banyak orang akan berakibat kematian atau cacat permanen menimpa mereka yang seharusnya dijamin oleh anggaran tersebut.

Para koruptor berhati batu, tidak peduli nasib rakyat yang dipimpinnya. Pesta korupsi bukan hanya terjadi di lingkungan eksekutif, tetapi juga legislatif, yudikatif, dan lembaga negara yang lain. Belanja negara yang ada makin banyak digerogoti perencana anggaran, pengizin penggunaan anggaran, pengawas anggaran, dan lain-lain, di samping pelaksana anggaran itu sendiri.

Gurita korupsi semacam ini menyebabkan nilai anggaran dapat merosot menjadi setengahnya, seperempatnya, atau bahkan lenyap sama sekali. Bagaimana negara dapat hidup sejahtera dengan pesta pora kaum koruptor semacam itu? Ketika akhir-akhir ini muncul segelintir pejabat-pejabat yang tulus dan jujur dalam menggunakan anggaran pembangunan negara, terbukti penggunaan anggaran yang utuh dapat membuahkan hasil yang menyejahterakan rakyat.

Perkembangan pembangunan negara itu tidak pernah bergerak, kalah dengan negara-negara tetangga kita yang baru puluhan tahun kemudian merdeka dari kita, lantaran "budaya korup" para penyelenggara negara. Prinsip kenikmatan kekuasaan semacam inilah yang menyebabkan pesta koruptor ini tiada pernah berakhir. Ketika muncul pejabat-pejabat jujur yang mengabdi untuk kesejahteraan rakyat dan dibentuknya lembaga pemberantasan korupsi, para pejabat (dan politisi) berbudaya korup ini melawannya dengan keras.

Bahwa mereka ini menunjukkan kemenangan, hanya membuktikan kekuatan mereka telah begitu besar dan merata secara vertikal ataupun horizontal. Benarkah kekuatan jahat semacam itu akan terus menguasai negeri ini? Pembela koruptor bukan lagi sembunyi-sembunyi, melainkan telah berani secara terang-terangan di muka rakyat. Mereka terang-terangan menunjukkan kekuatannya dengan berbagai cara, dengan prinsip dasar "tujuan menghalalkan semua cara".

Pembalikan kebenaran mereka pakai. Yang benar mereka salahkan, yang salah mereka benarkan karena mereka sadar ada di pihak yang mana. Akan tetapi, rakyat tak pernah tidur. Mereka mayoritas yang diam. Mereka tidak protes, tetapi (percayalah!) mereka melihat mana yang benar dan mana yang salah. Hanya kesabaran saja yang harus mereka tanggung.

Sejarah sosial kita berkali-kali menunjukkan hal itu. Penderitaan masa penjajahan menunjukkan tanda-tanda terakhir dengan munculnya proklamasi dan perang kemerdekaan. Pada awal-awal revolusi, terjadilah pergolakan rakyat yang membabi buta dengan membalas dendam terhadap mereka yang dicurigai berpihak kepada pemerintahan kolonial.

Pada peristiwa Gerakan 30 September 1965, kegeraman rakyat untuk membalas dendam terhadap mereka yang dicurigai, sekecil apa pun, juga dilakukan membabi buta. Mayoritas diam tiba-tiba bangkit pada saatnya dengan kedahsyatan yang mengerikan. Kita semua tidak menghendaki yang demikian itu akan berulang. Mentalitas bangsa kita ini adalah moderat dengan pemikiran lunak.

Kebenaran plural

Bangsa yang begini besar dengan mudah dapat ditaklukkan dan dikuasai oleh segerombolan kecil bangsa-bangsa sejak abad ke-16. Gerombolan kecil ini berasal dari bangsa-bangsa yang berpikiran ekstrem. Mereka hanya mengenal kontradiksi benar dan salah. Yang benar adalah yang kuat karena kebenaran hanya ada di pihak yang kuat dan menang. Bangsa ini sejak dulu kala mengenal kebenaran plural. Bagi satu suku bangsa, suatu perbuatan mungkin dinilai baik, tetapi di suku lain justru bisa dinilai salah.

Namun, mereka saling memahami kebenaran-kebenaran sosial yang saling berbeda dengan sikap toleransi yang tinggi. Kebenaran plural ini bukan dilihat dari potensi konfliknya, melainkan justru dilihat dari potensi saling melengkapinya. Prinsip hidup bersama mereka adalah harmoni saling melengkapi, saling menyempurnakan, saling mengenal identitas diri, bukan bersikukuh memenangi kebenaran sendiri secara ekstrem dengan kekuatan.

Mayoritas diam ini peka menyaksikan berkembangnya pemikiran ekstrem yang ingin membalikkan kebenaran korupsi. Kegilaan semacam ini tinggal menunggu munculnya casus belli yang tiba-tiba mengubah keadaan. Hindarkanlah kami dari kejadian ini.

JAKOB SUMARDJO, BUDAYAWAN

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 Juli 2017, di halaman 7 dengan judul "Pesta Para Koruptor".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger