Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 20 Juli 2017

Kembali ke Pancasila (FATHORRAHMAN GHUFRON)

Semboyan hubbul wathan minal iman (mencintai Tanah Air bagian dari iman) yang disampaikan KH Hasyim Asyari pada era kemerdekaan bukan sekadar pembelaan diri bangsa untuk melawan penjajah. Menurut filsuf Driyarkara dalam buku Kumpulan Karya Driyarkara, semboyan itu adalah embrio pembentukan epistemologi keindonesiaan.

"Mencintai Tanah Air bagian dari iman" menjadi pemersatu bagi semua elemen bangsa dengan semangat cinta negeri. Karena itu, ketika sekelompok aktivis kemerdekaan dan beberapa tokoh berkumpul dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) untuk mendiskusikan rumusan dasar negara, sesungguhnya laku ini menindaklanjuti keinginan leluhur dan pejuang agar negara Indonesia bisa berdiri dari dan untuk semua golongan.

Ketika Pancasila ditetapkan sebagai dasar negara dan setelah melewati proses alot untuk menentukan beberapa sila yang cocok bagi realitas kebangsaan di republik ini, hal ini juga menjadi titik balik kesadaran kita semua bahwa dalam mengelola kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan beragama, harus berlandaskan ruh dan semangat Pancasila.

Ini artinya, sebagai nilai besar (grand norm) yang sudah disepakati para pendahulu kita, Pancasila perlu dilestarikan dengan baik (al muhafadzah 'ala qadimis shalih) sekaligus tidak menutup kemungkinan kita merejuvenasi pemahaman, wawasan, dan perspektif kepancasilaan untuk merespons perkembangan zaman (wal akhdzu bil jadid al ashlah). Maka, tugas kita saat ini dan ke depan adalah bagaimana memperlakukan Pancasila sebagai jalan hidup kita (way of life) dalam berbangsa dan bernegara dengan perasaan cinta.

Dengan kata lain, mengikuti cara berpikir Benedict Anderson, bagaimana Pancasila perlu dijadikan imagined consciousnessyang menyambungkan akal sehat antarmanusia sehingga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Pancasila berposisi sebagai sangkan paraning dumadi. Artinya, merujuk pandangan Notonegoro, sesungguhnya manusia Indonesia berasal dari bumi pertiwi yang dibesarkan oleh ruh Pancasila dan tujuannya adalah menumbuhkan rasa cinta kepada negara agar negara ini tumbuh sebagai ruang bergumul yang aman, damai, makmur, sentosa.

Dengan demikian, ketika kita bisa menumbuhkan kesadaran kolektif dan melakoni hubbul wathan minal imanberdasarkan ruh kepancasilaan, kita akan loyal penuh dedikasi untuk menjaga negara Indonesia dari segala macam tantangan dan ancaman dari berbagai penjuru.

Peran pemerintah

Menjamurnya beragam kelompok yang memosisikan diri sebagai barisan anti-Pancasila dan merongrong Pancasila sesungguhnya menjadi parasit kebangsaan. Jika gerakan ini dibiarkan, akan menjadi "bom waktu" yang bisa memorakporandakan sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Mengacu pengalaman banyak negara, seperti di Timur Tengah, yang hingga kini masih dilanda konflik sosial—salah satunya dipicu oleh paham keagamaan radikal-ekstrem—tidak menutup kemungkinan sebuah negara yang tidak diperkuat oleh landasan pemersatu yang bisa dianut bersama, maka masing-masing bersaling sengketa pemikiran, pandangan, ideologi yang bersumber dari ajarannya sendiri.

Maka, ketika pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan, sesungguhnya dapat disikapi positif bahwa langkah tersebut mencerminkan peran pemerintah dalam upaya preventif sedini mungkin agar negara ini selalu terjaga dari sekelompok orang yang berusaha makar terhadap konstitusi. Sebagaimana dikatakan Buya Syafii Maarif, sesungguhnya perppu juga menjadi sarana untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa (Kompas.com 12/7/2017).

Tanpa peran pemerintah, upaya menjaga "marwah Pancasila" di tengah iklim kehidupan berbangsa yang demokratis, di mana setiap orang mempunyai kebebasan beraspirasi dan berserikat, terasa sulit memberdayakan Pancasila sebagai ruh ideologis dalam mencintai Tanah Air.

Apalagi, hanya mengandalkan sekelompok warga yang selama ini sudah berkomitmen untuk menanamkan dan melakoni Pancasila dalam laku kesehariannya, tetapi mempunyai keterbatasan daya gerak dan daya jangkau meresonansikan Pancasila secara luas di tengah kehidupan.

Di tengah simpang siur cara berpikir orang dalam memperlakukan demokrasi, di mana gejala sosial yang hadir adalah adanya sekelompok orang menuntut adanya pembatasan perserikatan warga yang dianggap bertentangan dengan norma agama, tetapi di sisi lain ketika ada sekumpulan warga yang merongrong Pancasila cenderung dibiarkan atas nama kebebasan beraspirasi. Bahkan, kelompok tertentu yang berhaluan keras memanfaatkan kebebasan untuk mengintimidasi kelompok yang berseberangan (Sidney Jones, dkk "Sisi Gelap Demokrasi: Kekerasan Masyarakat Madani di Indonesia"), maka pemerintah perlu mengambil langkah tegas yang mengacu pada penguatan pancasila.

Dengan adanya peran pemerintah, sebagaimana peran para pendahulu dalam merumuskan dan menetapkan Pancasila sebagai dasar negara, sekumpulan warga—seperti NU, Muhammadiyah, dan beberapa komunitas atau ormas lain—yang sudahat home dengan Pancasila akan bisa menjadikan Pancasila sebagai titik kembali (point back) yang lebih maksimal dalam melakukan apa pun yang terkait dengan kehidupan berbangsa, bernegara, bermasyarakat, dan bahkan beragama.

Dalam kaitan ini, komitmen mereka dalam mengekspresikan dan melakoni gerakan kembali kepada Pancasila menjadi antitesis atau wacana tanding (counter discourse) terhadap sekelompok orang yang selama ini kerap membangkang terhadap Pancasila dengan alasan spirit purifikasi agama. Misal, sekelompok umat beragama tertentu meresonansikan gerakan kembali kepada kitab suci dan ajaran keagamaannya sembari mengecam nilai-nilai kearifan dan spirit lokalitas keindonesiaan.

Membumikan Pancasila

Ketika pemerintah membentuk Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) yang bertugas merumuskan arah kebijakan umum pembinaan ideologi Pancasila secara berkelanjutan, sesungguhnya menjadi bagian penting dari maksimalisasi penguatan cinta Tanah Air melalui pembumian Pancasila secara komprehensif.

Dengan harapan, kehadiran UKP-PIP bisa membangkitkan rasa cinta kepada Tanah Air sekaligus mengukuhkan keyakinan bahwa Pancasila sebagai dasar negara bisa memayungi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Selain itu, UKP-KIP dapat menjadi momentum yang sangat baik apabila dalam proses perumusan kebijakan dan program juga dilandasi oleh semangat revivalisasi berkelanjutan. Dengan demikian, akan lahir kepedulian bersama rakyat Indonesia untuk menumbuhkan gerakan kembali kepada Pancasila secara intensif, masif, dan sistematis, disertai cara berpikir yang sehat.

Pancasila akan menjadi satu-satunya rujukan untuk digali dan ditelaah kembali, baik saat rakyat Indonesia mengalami kegersangan batin maupun lahir, merindukan ketenangan jiwa yang patriotik untuk memajukan negara ini, maupun merindukan sikap kearifan yang mengedepankan semangat kemaslahatan dalam membangun biduk kehidupan berkelompok, dan memanifestasikan aneka rasa dan karya yang rujukan kristalisasinya bermuara pada Pancasila.

Bahkan, sebagai momentum penguatan karakter kebangsaan, semestinya Pancasila menjadi sumber gerakan agar di antara kita selalu ada titik temu, titik sepakat, dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara tanpa menyoal latar belakang suku, ras, dan agama.

FATHORRAHMAN GHUFRON,

WAKIL KATIB SYURIAH PWNU DAN PENGURUS LPPM UNIVERSITAS NU (UNU) YOGYAKARTA; DOSEN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SUNAN KALIJAGA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 Juli 2017, di halaman 6 dengan judul "Kembali ke Pancasila"

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger