Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 04 Agustus 2017

ARTIKEL OPINI: Saatnya Redenominasi (PAUL SUTARYONO)

Pemerintah segera mengajukan Rancangan Undang-Undang Redenominasi Mata Uang kepada DPR. Hal itu sebagai landasan hukum dalam melakukan redenominasi ketika kondisi ekonomi dan politik stabil, pertumbuhan ekonomi tinggi, serta inflasi terkendali.

Apa saja manfaat redenominasi? Sesungguhnya, rencana redenominasi sudah terdengar tujuh tahun lalu. Pada 2010, Bank Indonesia sudah merencanakan lima tahapan pelaksanaan redenominasi rupiah. Pada tahap pertama (pada 2010), BI melakukan studi banding tentang redenominasi di beberapa negara. Tahap kedua (2011-2012) merupakan masa sosialisasi. Tahap ketiga (2013-2015) merupakan masa transisi ketika ada dua kuotasi penyebutan nominal uang.

Tahap keempat (2016-2018), BI akan memastikan uang lama yang belum dipotong jumlah nolnya akan benar-benar habis dengan batas penarikan pada 2018. Tahap kelima sebagai tahap terakhir (2019-2020), keterangan "baru" dalam uang cetakan baru akan dihilangkan. Masyarakat siap melakukan pembayaran dengan uang yang telah diredenominasi. Tentu saja penahapan itu perlu segera disegarkan kembali.

Redenominasi merupakan pemotongan nilai mata uang menjadi lebih kecil tanpa mengubah nilai tukarnya. Ambil contoh, uang pecahan (denominasi) Rp 1.000 dipotong menjadi Rp 1. Jika menggunakan uang lama sebelum redenominasi harga bawang merah Rp 30.000 per kilogram, jika menggunakan uang baru setelah redenominasi harga menjadi Rp 30.

Redenominasi sangat berbeda dari sanering yang berarti pemotongan nilai suatu mata uang menjadi lebih kecil dan tak ada jaminan nilai tukarnya akan berubah. Contoh, uang pecahan Rp 1.000 dipotong menjadi Rp 1. Tatkala harga bawang merah dengan uang lama harganya Rp 30.000 per kilogram, harganya tetap tak berubah menjadi Rp 30.000 dengan uang baru.

Ingat, Indonesia belum pernah melakukan redenominasi. Namun, Indonesia pernah melakukan sanering pada 1962 dan 1965 ketika inflasi terbang tinggi masing-masing mencapai 131 persen dan 650 persen. Bagaimana pengalaman negara lain? Negara lain pernah melakukan pemotongan dari satu hingga 12 nol. Wow!

Inilah deretan negara yang pernah melakukan. Albania pada 1965, Azerbaijan (1992), Bahrain (1965), Belarus (1992), Bulgaria (1962), Estonia (1992), Jerman (1948), Guinea (1971), Israel (1980), Korea Selatan (1962), Rusia (1947, 1961), Sudan (1992), dan Vietnam (1985) dengan memotong satu nol.

Tengok pula Afganistan (2002), Angola (1995), Argentina (1985, 2002), Brasil (1967, 1970, 1986, 1989, 1993), Bulgaria (1999), Cile (1960, 1975), Yunani (1954), Israel (1948, 1985), Meksiko (1993), dan Vietnam (1959) yang memotong tiga nol. Ada pula negara yang memotong enam nol, seperti Angola (1999), Bolivia (1987), Georgia (1995), Peru (1991), dan Turki (2005). Bahkan, Montenegro (1993) dan Jerman (1923) masing-masing memotong sembilan dan 12 nol pada mata uang mereka.

Manfaat redenominasi

Lagi-lagi, apa saja manfaat redenominasi? Pertama, redenominasi akan mendorong mata uang rupiah lebih efisien dengan memotong beberapa nol. Tegasnya, redenominasi akan menyederhanakan dan mempercepat penulisan angka pada society worldwide interchange financial telecommunication(SWIFT). Dalam industri perbankan internasional dikenal alat komunikasi SWIFT untuk keperluan finansial dan non finansial tercepat saat ini. Bank dan lembaga keuangan nonbank yang telah menjadi anggota akan melakukan transaksi finansial dan nonfinansial dengan sesama anggota melalui SWIFT.

Selama ini, SWIFT hanya menyediakan maksimal 14 digit (angka) dalam berita yang akan dikirim melalui SWIFT. Di sinilah satu negara yang memiliki pecahan uang dengan banyak nol akan mengalami kesulitan untuk menyebutkan angka di atas 99 triliun. Untuk itu, redenominasi akan memberikan manfaat besar bagi transaksi keuangan, baik melalui SWIFT maupun alat komunikasi konvensional lain, seperti teleks dan faksimile yang dilengkapi sandi tertentu sebagai pengaman. Maka, sektor jasa keuangan, baik bank maupun nonbank, pasti menyambut hangat redenominasi itu.

Kedua, redenominasi akan meningkatkan rasa percaya diri terhadap rupiah. Saat ini nilai tukar rupiah terhadap dollar AS mencapai Rp 13.300. Ketika Rp 1.000 dipotong menjadi Rp 1, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS hanya Rp 13,30. Dengan demikian, kelak kita akan merasa lebih bangga dengan mengantongi rupiah.

Dengan bahasa lebih bening, setelah redenominasi rupiah akan naik peringkat dalam nilai tukar terhadap dollar AS. Kenaikan tersebut akan mendorong orang Indonesia lebih suka memegang rupiah daripada mata uang asing, katakanlah dollar AS, di dalam negeri.

Kondisi tersebut juga akan mendorong kestabilan nilai tukar dollar AS lantaran tidak banyak lagi spekulan memborong dollar AS untuk keperluan spekulatif semata. Jangan lupa bahwa rupiah yang melemah terhadap dollar AS juga bisa disebabkan aksi-aksi spekulatif. Artinya, permintaan valuta asing (valas) dapat ditekan sedemikian rupa sekalipun bank sentral tidak intervensi pasar.

Ketiga, pemangkasan beberapa nol dalam mata uang rupiah itu akan mengerek kredibilitas rupiah di pasar keuangan nasional. Alhasil, pasar keuangan akan lebih terkendali. Ketika pasar modal lebih bergairah karena kestabilan nilai tukar rupiah, pasar modal akan lebih menjadi wadah bagi perusahaan besar (korporasi) untuk mencari dana dengan menerbitkan surat utang atau obligasi (bond). Selama ini, bank lebih sebagai opsi pertama daripada pasar modal bagi korporasi untuk menggali dana dalam mengembangkan bisnis.

Bank pun berduyun-duyun menggali dana di pasar modal. Aksi korporasi itu bertujuan untuk perluasan bisnis dan pembiayaan. Bagi pemain lama, penerbitan surat utang baru lebih banyak bertujuan melakukan penataan utang kembali (reprofiling). Sebab, kini bank mau tak mau wajib tiada henti menambah modal. Dalam industri perbankan, modal ekonomi merupakan bantal (cushion) untuk melindungi terhadap berbagai risiko yang melekat (inherent risks) dalam bisnisnya. Risiko yang akan memengaruhi keamanan dana yang didepositokan atau pinjaman yang diberikan lembaga tersebut. Modal ekonomi dirancang untuk menyerap kerugian yang tidak diharapkan (unexpected losses) sampai pada tingkat kepercayaan (level of confidence) tertentu (Michel Crouhy, Dan Galai, dan Robert Mark, 2000).

Terlebih ketika lembaga pemeringkat Standard and Poor's (S&P) menaikkan surat utang Indonesia jangka panjang menjadi layak investasi (investment grade) pada 19 Mei 2017. Konsekuensi logisnya, banyak korporasi dan perusahaan pembiayaan (multifinance) segera menerbitkan surat utang. Mengapa? Sebab, bunga kupon surat utang akan menipis sebagai berkah status layak investasi itu.

Bahkan, pemerintah pun segera menawarkan global bond dalam dollar AS dan euro. Surat utang atau obligasi yang terbit dengan tenor 10 tahun dan 30 tahun itu masing-masing ditawarkan dengan kupon 4,25 persen dan 5,125 persen. Kupon ini lebih rendah dibandingkan dengan penerbitan surat berharga sejenis pada Januari 2017 masing-masing 4,35 persen dan 5,25 persen (Harian Kontan, 12/7/2017).

Keempat, sejatinya, redenominasi juga merupakan sinyal bahwa roda ekonomi selama ini telah berjalan pada rel yang benar. Dengan bahasa lebih lugas, redenominasi dapat menjadi instrumen bagi pemerintah dalam mendorong tingkat kepercayaan, baik kepada masyarakatnya sendiri maupun kepada pasar regional, internasional, dan global.

Seperti halnya kondisi saat ini. Tengok saja, pertumbuhan ekonomi tinggi yang mencapai 5,01 persen kuartal I-2017. Coba bandingkan dengan pertumbuhan ekonomi negara ASEAN lain, seperti Singapura 2,70 persen, Thailand 3,30 persen, Malaysia 5,60 persen, Vietnam 6,17 persen, dan Filipina 6,40 persen. Bandingkan pula dengan negara yang tergabung dalam BRICS, yakni Brasil yang mengalami kontraksi atau minus 0,40 persen, Rusia 0,50 persen, India 6,10 persen, China 6,90 persen, dan Afrika Selatan 1 persen.

Pun inflasi tampak jinak 4,37 persen per akhir Juni 2017 sesuai dengan target inflasi 4 persen plus minus 1 persen. Plus cadangan devisa yang kini mencapai 123,09 miliar dollar AS per akhir Juni 2017. BI menegaskan posisi cadangan devisa itu masih kuat untuk membiayai 8,9 bulan impor atau 8,5 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah dan di atas standar kecukupan internasional sekitar tiga bulan impor.

Menurut Dana Moneter Internasional, cadangan devisa yang dianggap aman adalah ketika cadangan devisa mampu membiayai impor minimal tiga bulan. Pada prinsipnya, cadangan devisa juga merupakan alat ukur pertumbuhan ekonomi satu negara. Kian tinggi cadangan devisa, kian tinggi pula pertumbuhan ekonomi.

Pertimbangan lain

Lantas, kapan waktu yang tepat untuk melakukan redenominasi? Pengalaman negara lain menunjukkan keberhasilan redenominasi menuntut stabilitas makroekonomi, inflasi yang terkendali, nilai tukar mata uang, dan kondisi fiskal. Oleh karena itu, kini saatnya Indonesia melakukan redenominasi.

Namun, pemerintah dan BI perlu belajar dari kegagalan Argentina yang melakukan devaluasi dengan redenominasi pada 2002. Jangan sampai inflasi justru mendaki ketika pedagang berbuat nakal dengan membulatkan harga ke atas, misalnya harga beras dari Rp 7.800 (uang lama) menjadi Rp 8 (uang baru). Tampaknya sederhana dan sepele, tetapi bisa menjadi bola salju yang kian membesar ketika terus menggelinding kencang.

Selain itu, pemerintah dan BI juga wajib mencermati tahap kedua dan ketiga. Tahap kedua yang merupakan tahap sosialisasi dan tahap ketiga yang merupakan masa transisi dapat menjadi titik kritis. Mengapa? Sebab, Indonesia terdiri atas ribuan pulau seluas daratan Eropa. Sebab itu, kedua tahap itu patut dipertimbangkan dilakukan lebih lama untuk menjamin redenominasi berjalan mulus.

PAUL SUTARYONO, PENGAMAT PERBANKAN DAN MANTAN ASSISTANT VICE PRESIDENT BNI

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 Agustus 2017, di halaman 6 dengan judul "Saatnya Redenominasi".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger