Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 04 Agustus 2017

ARTIKEL OPINI: Pembaruan Data Beras (TOTO SUBANDRIYO)

Beberapa hari terakhir masalah akurasi data pangan, khususnya beras, kembali mencuat dalam wacana publik. Pemerintah dinilai perlu secepatnya menyelesaikan perbaikan metode penghitungan luas panen dan produksi. Ketidaksinkronan data dinilai dapat memicu gejolak sekaligus membuka potensi kekeliruan dalam penghitungan alokasi anggaran subsidi untuk petani (Kompas, 15/7).

Publik masih ingat polemik terbuka antara Presiden Joko Widodo dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla terkait kebijakan impor beras akhir 2015. Polemik berpangkal dari data Angka Ramalan II produksi padi nasional yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS).

Produksi padi nasional diperkirakan mencapai 74,99 juta ton gabah kering giling (setara 43,5 juta ton beras). Jika data itu akurat, ada surplus produksi beras sekitar 9 juta ton. Pertanyaan publik ketika itu, mengapa pemerintahbersikukuh mengimpor beras? Mengapa harga beras masih stabil tinggi?

Perlu akurasi

Sebagai dasar perencanaan dan pengambilan keputusan strategis di bidang pangan, akurasi (validitas) data yang digunakan harus benar-benar terjamin. Menurut Wirosardjono (1984), validitas data merupakan kedekatan antara nilai yang diperoleh dari hasil pengukuran contoh dan angka yang sesungguhnya.

Pengukuran yang dilakukan haruslah merupakan tindakan yang jelas tata caranya, terinci urutan tindakannya, dan secara operasional langkah-langkah pengukuran itu dapat didefinisikan tanpa kekaburan.

Statistik produksi beras diselenggarakan Kementerian Pertanian bersama BPS. Hal ini tertuang pada Pasal 12Ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1997 tentang Statistik yang menegaskan bahwa statistik sektoral diselenggarakan instansi pemerintah sesuai lingkup tugas/fungsinya secara mandiri atau bersama dengan BPS.

Selama ini pengumpulan Statistik Pertanian Padi (SP-Padi) yang meliputi data luas tanam, luas panen, dan luas puso menjadi tanggung jawab instansi pertanian. Data produktivitas menjadi tanggung jawab instansi statistik. Pengukuran data luas tanam/panen dilakukan melalui perkiraan pandangan mata (eye estimate). Pengukuran data produktivitas diperoleh melalui cara ubinan petak sampel 2,5 meter x 2,5 meter dengan peralatan sederhana sehingga sangat besar kemungkinan terjadi human error.

Pembaruan metode penghitungan produksi padi dengan kerangka sampling area (KSA) memberikan hasil yang lebih meyakinkan. Metode ini menggunakan citra satelit dan telah diuji coba di Garut dan Indramayu, Jawa Barat.

Hasil uji coba di Indramayu menunjukkan adanya perbedaan angka luas panen yang cukup signifikan. Dengan metode KSA diperoleh angka luas panen 183.000 hektar,sedangkan SP-Padi angkanya 201.200 hektar (Kompas, 15/7).

Pada era digital seperti sekarang, cara pengumpulan data secara konvensional harus sudah ditinggalkan. Kita apresiasi upaya pemerintah yang akan memperluas pembaruan metode penghitungan produksi beras tidak hanya di Indramayu dan Garut, tetapi juga di seluruh daerah di Pulau Jawa. Namun, hal ini tentunya bukan merupakan upaya yang mudah.

Selain kendala penyediaan sumber daya manusia yang mumpuni, pemerintahjuga menghadapi kendala pemenuhan sarana prasarana. Sebagian besar petugas pertanian dan statistik saat ini mendekati usia pensiun. Karena faktor usia dan latar belakang pendidikan, kebanyakan mereka gagap teknologi.

Sarana prasarana terbatas

Terkait sarana prasarana, selama ini sarana dan peralatan petugas lapangan sangat terbatas. Jangankan peralatan modern seperti global positioning system(GPS) atau pesawat tanpa awak (drone), perlengkapan utama seperti alat ukur kadar air (moisture gauge) dan timbangan digital yang presisi saja jarang ada.

Jadi, jangan heran jika saat pelaksanaan ubinan, besaran persentase kadar air gabah yang seharusnya diukur denganmoisture gaugeterpaksa dikira-kira saja. Padahal, angka persentase kadar air gabah ini sangat menentukan bobot timbangan gabah kering panen sampel ubinan dan konversinya ke gabah kering giling.

Menurut hemat penulis, pembaruan metode penghitungan produksi beras ini harus segera diikuti dengan audit angka konsumsi. Saat ini paling tidak ada tiga versi data konsumsi beras penduduk dari kementerian/lembaga.

Versi Kementerian Pertanian 139,15 kilogram/kapita/tahun, versi BPS 114,8 kilogram/kapita/tahun, versi Susenas tahun 2012 adalah 98 kilogram/kapita/tahun. Beragamnya data konsumsi beras membuat beragamnya data neraca beras nasional sehingga terjadi tarik ulur dalam eksekusi kebijakan impor.

Audit terhadap luas lahan juga merupakan upaya mendesak yang harus dilakukan. Selama bertahun-tahun meski terjadi pengurangan luas lahan untuk keperluan pembangunan, data luas baku lahan relatif tetap. Saat menjadi tim program Iuran Pelayanan Irigasi (Ipair) beberapa tahun lalu penulis menemui keanehan.

Pada kuitansi pembayaran Ipair tertulis status lahan sawah, tetapi saat didatangi di lokasi obyek sudah berdiri bangunan sekolahan. Saat ini kasus seperti itu banyak terjadi di lapangan. Dalam data luas baku lahan statusnya masih tertulis sawah, tetapi sebenarnya sudah berubah jadi perumahan, bangunan puskesmas, sekolah, terminal bus, atau bangunan fasilitas umum dan fasilitas sosial lainnya.

Data luas lahan ini bukan hanya erat kaitannya dengan anggaran eksploitasi dan pemeliharaan jaringan irigasi, melainkan juga terkait besaran subsidi pertanian yang kian membengkak.

Pada 2014 nominal subsidi pupuk mencapai Rp 21 triliun, tahun 2015 Rp 31,3 triliun, tahun 2016 Rp 30,1 triliun, dan 2017 ini mencapai Rp 31,2 triliun. Sementara untuk subsidi benih pada 2014 besarnya Rp 0,3 triliun, tahun 2017 ini membengkak menjadi Rp 1,3 triliun.

Sebagai catatan penutup perlu penulis ingatkan bahwa pemerintah tidak boleh hanya fokus pada pembaruan metode penghitungan produksi beras, tetapi juga harus mewaspadai kemungkinan terjadi gejolak harga beras. Penggantian program raskin ke kupon pangan sangat potensial menimbulkan gejolak harga beras pada tahun-tahun mendatang.

Salah satu fungsi program raskin adalah sebagai alat stabilisasi harga beras. Di satu sisi, pembelian gabah/beras oleh Bulog saat panen raya sangat membantu petani dari keterpurukanharga jual. Di sisi lain, stok beras cukup besar yang disalurkan dalam bentuk raskin sangat ampuh meredam inflasi akibat melonjaknya harga beras.

Ketika program raskin dihapus, sudah siapkah pemerintah menghadapi gejolak harga beras?

TOTO SUBANDRIYO, PENGAMAT SOSIAL-EKONOMI; LULUSAN IPB DAN PASCASARJANA UNSOED

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 Agustus 2017, di halaman 6 dengan judul "Pembaruan Data Beras".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger