Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 04 Agustus 2017

Beras dan Garam Pancasila//Tanah Dirampas Tentara Jepang (Surat Kepada Redaksi Kompas)

Beras dan Garam Pancasila

Judul tepat pendapat ini adalah "penerapan Pancasila dalam polemik perberasan dan solusi kelangkaan garam" yang jadi berita utama Kompas edisi 28 Juli dan 29 Juli lalu.

Ini bisa diperluas ke "penerapan Pancasila dalam mengatur tata niaga sembako". Bukankah penanganan keseluruhan masalah sembako berpangkal dan berujung pada cita-cita ekonomi Pancasila yang dibahas Emil Salim, Mubyarto, dan Boediono? Maka, "Beras dan Garam Pancasila" hendaknya dimaknai dalam semangat lebih memahami, menghayati, dan menerapkan Pancasila sebagai pola pikir dan arah dasar dalam mencari solusi kasus sembako dalam perjalanan hidup berbangsa bernegara.

Semangat ini jadi keyakinan dan sikap dasar dalam pergulatan eksistensial (intelektual dan emosional) mengelaborasi Pancasila secara kreatif untuk solusi masalah apa saja yang menimpa bangsa kita. Ini tantangan bersama menerjemahkan dan membumikan Pancasila dalam pola pikir keseharian kita. Tanpa keberanian dan tekad bersama yang konsisten mencari solusi holistis Pancasilais pada setiap masalah bangsa, selalu akan muncul skeptisisme, pesimisme, dan sinisme terhadap manfaat Pancasila sebagai falsafah hidup berbangsa yang akhirnya memunculkan gerakan radikal anti-Pancasila. Karena itu, Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila tak akan berarti jika tak mampu memberi solusi berbasis Pancasila atas masalah beras dan garam atau sembako pada umumnya.

Sila mana paling relevan dalam polemik perberasan dan kelangkaan garam? Beras, garam, dan sembako lain senantiasa melibatkan berbagai pemangku kepentingan mulai dari hulu (produsen) sampai ke hilir (konsumen). Komposisi instansi berwenang/regulator (pemerintah dan atau asosiasi) pun beragam, bergantung pada jenis sembako yang ditangani. Dalam menangani kasus beras dan garam serta sembako lainnya seyogianya pemerintah dan masyarakat punya peta matriks yang sama, rinci, lengkap dan transparan menunjukkan pihak mana saja pemangku kepentingan.

WIM K LIYONO, SURYA BARAT, KEDOYA UTARA, KEBON JERUK, JAKARTA BARAT

Tanah Dirampas Tentara Jepang

Surat pembaca oleh Arifin Pasaribu diKompas (16/7), "Penegakan Hukum", menarik perhatian saya yang tengah dipermainkan Pemerintah RI. Saya dan keluarga berjumlah tiga orang punya tanah pertanian 46.465 hektar di Desa Rancagong, Kecamatan Legok, Kabupaten Tangerang, Banten. Lahan terdiri dari darat dan sawah.

Ketika tentara Jepang berkuasa di Tangerang, pada 1943 tanah tersebut mereka ambil dan duduki seluruhnya untuk keperluan perang. Apabila perang selesai, tanah itu akan dikembalikan kepada pemilik semula. Dalam situasi dan keadaan semacam itu, saya tak dapat menolak tindakan Jepang dan harus merelakan lahan tadi mereka kuasai/duduki. Kami harus meninggalkan tempat tadi dan mencari tempat lain sebagai ganti.

Pada 19 Januari 1945 Jepang memberi uang Rp 10.000 melalui kepala desa ketika itu. Katanya, uang itu guna membantu biaya dan keperluan hidup di tempat yang baru dan bukan untuk pembelian tanah. Begitu Jepang berkuasa, telah ada pengumuman masih dalam bahasa Belanda, "koop en verkoop van onroerende is verboden". Demikian dekrit Jepang dalam masa pemerintahan militernya.

Usaha yang telah saya lakukan adalah (setelah terbit SE Mendagri Nomor H20/5/7 tanggal 9 Mei 1950) segera mengajukan klaim kepada bupati Kabupaten Tangerang dan direspons serta diproses di Kantor Wedana Curug-Tangerang pada 25 Juni 1951.

Klaim diproses. Kami disuruh menunggu karena sebagian lahan akan dipakai Bandara Budiarto, Curug, yang saat itu belum selesai diukur.

Tanah yang dipakai bandara itu sebenarnya belum dibayar. Yang telah dibayar adalah untuk pohon-pohon karet. Mereka anggap tanah telah dibeli pemerintah pada 19 Januari 1945, tetapi pemerintah apa namanya? Pada 19 Januari 1945 masih bercokol Pemerintah Jepang dan pemerintah militer Jepang tidak membeli tanah tersebut.

Pada 1997 diterbitkan oleh BPN Kabupaten Tangerang SHM No 00875 PS 538/1997 luas 108.520 meter persegi atas nama suatu perusahaan swasta tanpa setahu dan pelepasan hak tanah dari pemilik yang sah.

WIRJAWAN HARDJAMULIA, SUKASARI III, BOGOR, JAWA BARAT

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 Agustus 2017, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger