Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 20 September 2017

Hijrah dan Transformasi Kebangsaan (A HELMY FAISHAL ZAINI)

Tidak bisa dimungkiri, ikon ajaran Islam adalah hijrah. Hijrah adalah ajaran paling "fundamen" dan ikonik bagi umat Islam. Maka, hijrah diabadikan jadi sistem penanggalan.

Dalam sebuah kesempatan, Khalil Abdul Karim (2008) mengatakan bahwa seluruh aspek kehidupan ini sejatinya gerak positifnya adalah dalam rangka untuk menunaikan sunnatullah bernama "hijrah". Berpindah dari satu tempat ke tempat lain yang lebih baik. Beralih dari satu "fenomena", "lokus" atau apa pun saja dari satu "kondisi" ke "kondisi" yang lebih baik.

Bukan dinamakan hijrah jika gerak perpindahan itu tak menghasilkan perubahan yang baik. Tidak bisa dikategorikan hijrah jika perpindahan itu tidak transformatif. Inti ajaran hijrah adalah transformasi. Tentu saja transformasi di bidang apa pun. Jika gerak yang dihasilkan adalah gerak regresif, maka gerakan tersebut tidak bisa dikatakan dan dinamakan sebagai hijrah.

Gerak kehidupan

Nabi Muhammad SAW berhijrah dari Mekkah ke Madinah dalam rangka mentransformasikan gerakan-gerakan dakwahnya. Perpindahan dari satu lokus (Mekkah) ke lokus yang lain (Madinah) memberi pelajaran, perspektif, dan spirit baru dalam berdakwah.

Semua gerak kehidupan sejatinya menuju ke arah fitrah makna hijrah itu sendiri. Dalam bahasa yang idiomatik, hijrah dapat dirangkai dalam kerangkaminadz dzulumati ilannur, dari kegelapan menuju kondisi yang terang benderang.

Dalam konteks apa pun, pada hemat saya, kerangka dan spirit hijrah bisa kita terapkan. Dalam konteks pribadi, kerangka hijrah bisa digunakan sebagai pembingkaian untuk memperbaiki diri. Tentu saja sebagai elemen terkecil dan sekaligus terpenting dalam sebuah struktur sosial, pribadi yang baik akan melahirkan tata sosial yang baik.

Hijrah dalam konteks pribadi bisa berupa merevisi pandangan- pandangan yang ternyata selama ini keliru, tetapi kita yakini kebenarannya. Pandangan-pandangan yang terbukti salah dalam konteks pribadi-seperti meyakini bahwa puncak keberagamaan itu jika kita larut dan masyuk siang malam di tempat ibadah dengan mengabaikan aspek sosial-harus kita koreksi dan kita revisi.

Dalam konteks sosial keagamaan, saya menduga bahwa jangan-jangan keberagamaan kita selama ini berhenti hanya di dalam mesjid. Agama itu tiba-tiba saja "lenyap" entah ke mana seiring kita keluar dari masjid.

Di luar masjid tampaknya agama kita tidak tampak, itu pun kalau tidak ingin disebut tidak ada sama sekali. Di jalan-jalan raya, misalnya, saya mengamati kecenderungan melanggar lalu lintas masyarakat kita sangat tinggi. Kecenderungan untuk tidak taat aturan di jalan raya barangkali bisa kita saksikan setiap hari. Di jalan-jalan raya, bukan hal yang susah ditemukan seorang yang melawan arus, menerobos lampu lalu lintas, memasuki jalur terlarang, dan juga menerobos marka jalan.

Perilaku seperti itu, hemat saya, tak mencerminkan manusia- manusia yang beragama. Pada posisi ini saya menjadi teringat apa yang dikatakan Muhammad Abduh (1990). Abduh mengatakan, "Di Eropa aku melihat Islam, tetapi tidak melihat Muslim. Sebaliknya, di Timur Tengah aku melihat banyak orang Islam, tetapi tak ada Islam di sana." Artinya, perilaku keislaman itu tidak tecermin dalam perilaku sehari-hari.

Maka, dalam konteks sosial keagamaan, dalam hemat saya, kita harus bisa bertransformasi dari pribadi yang berhijrah menuju masyarakat berhijrah. Transformasi dari hijrah pribadi menjadi hijrah society ini, dalam pandangan saya, merupakan dua komponen yang saling terkait paut. Keduanya tidak boleh dipisahkan satu sama lain.

Masyarakat yang transformatif tersebut pada gilirannya akan melahirkan-dalam konteks berbangsa dan bernegara-bangsa yang transformatif pula. Ini merupakan fase ketiga dalam transformasi hijrah: pribadi, sosial, kebangsaan.

Dalam konteks berbangsa dan bernegara, spirit hijrah bisa dijadikan alas untuk memproduksi kebijakan-kebijakan yang transformatif. Muara pembangunan diarahkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sebagaimana prinsip dasar kaidah fikih tasharruful imam alar raiyyah manuthun bil maslahah.

Meminjam istilah Rais Aam PBNU Kiai Ma'ruf Amin (2015) bahwa jikalau ada sebuah amalan ajaran atau kebijakan yang tak ditemukan di rujukan tekstualnya, tetapi ia terbukti membawa kebaikan di tengah masyarakat, hal tersebut haruslah dilestarikan. Idza wujidan nash fa tsamma maslahah. Idza wujida mashlahah fa tsamma syar'ullah. Artinya, jika ditemukan teks, maka di sanalah kebaikan, dan jika ditemukan kebaikan, maka di sanalah hukum Allah.

Dalam soal pemerintahan, kita mengenal kaidah fikih-sebagimana saya kutip di atas: tasharruful imam alar raiyyah manuthun bil maslahah. Kebijakan pemimpin harus sepenuhnya bermuara pada sebesar-besarnya kemaslahatan rakyat. Kaidah ini mendedahkan kepada kita bahwa kemaslahatan rakyat adalah tujuan akhir dari segala produk kebijakan yang dihasilkan pemerintah.

Polusi birokrasi

Fungsi pemerintah sejatinya mengambil kebijakan dalam banyak hal yang basisnya adalah kemaslahatan dan aspirasi dari masyarakat. Kebijakan yang tidak mendatangkan kemaslahatan maka ia harus dikaji ulang. Jika terbukti memang benar tidak mendatangkan kemaslahatan, bahkan justru sebaliknya mendatangkan kemudaratan dan kerusakan, ia harus ditolak. Kebijakan yang demikian ini sejatinya disebut dengan-meminjam istilah Lawrence J Peter (2007)-polusi birokrasi.

Apa itu polusi birokrasi? Sebuah polusi yang dilahirkan dari macam-macam produk kebijakan yang tidak ramah kepada rakyat yang tidak mendatangkan maslahat, malah justru memantik kehebohan, keriuhan, perdebatan, dan juga cenderung menguras energi. Polusi yang demikian ini kadar bahayanya lebih dahsyat mengingat ia akan berimbas langsung pada mekanisme jalannya stabilitas tatanan masyarakat dalam berbangsa dan bernegara.

Kebijakan-kebijakan yang tak transformatif hanya akan melahirkan apa yang dalam istilah Lawrence J Peter disebutnya dengan polusi birokrasi di atas. Dan, tentu saja hal tersebut harus dihindari dan diminimalisasi semaksimal mungkin.

Ala kullihal, pada momentum tahun baru, 1 Muharram 1439 H, kali ini sangat tepat bagi kita merenungkan dalam-dalam sekaligus mengimplementasikan makna hijrah sesuai dengan yang diajarkan Nabi Muhammad SAW. Agama harus kita maknai sebagai ajaran yang transformatif sehingga kita bisa terus beradaptasi dan selalu siap dengan tantangan zaman yang kian hari kian kompleks. Wallahua'lam bis showab.

A HELMY FAISHAL ZAINI

SEKRETARIS JENDERAL PENGURUS BESAR NAHDLATUL ULAMA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 September 2017, di halaman 7 dengan judul "Hijrah dan Transformasi Kebangsaan".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger