Dokumen kependudukan berupa KTP elektronik adalah hal dasar yang harus diberikan negara kepada penduduknya. Itu harus jadi target pemerintah.

Foto utama harian ini Sabtu, 21 Oktober 2017, menggambarkan ribuan warga Jakarta, ibu kota negara, harus antre berjam-jam untuk merekam data kependudukan dan mendapatkan kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el). Program itu diselenggarakan Kementerian Dalam Negeri dan berlangsung di Taman Mini Indonesia Indah.

Bahkan, warga Jakarta harus menggunakan payung dan jas hujan untuk menahan basah dan dingin. Seorang ibu harus menunggu sejak pukul enam pagi untuk mendapatkan nomor antrean. Ibu itu sudah menunggu satu tahun dari kelurahan untuk pencetakan KTP elektronik, tetapi belum juga datang panggilan. Menyedihkan wajah birokrasi kita, sementara reformasi birokrasi selalu diteriakkan.

Di tengah apa yang disebut revolusi digital, warga harus mengorbankan waktu berhari-hari untuk mendapatkan apa yang menjadi haknya, yakni KTP elektronik. Tidak bisakah pemerintah lebih melayani warganya untuk mendapatkan KTP elektronik tanpa harus menyusahkan warganya.

Sesuatu yang sangat ironis. Warga harus antre lama karena perekaman data yang seharusnya bisa dilakukan di kelurahan tak jelas penyelesaiannya. Banyak warga yang sudah merekam data, tetapi KTP elektronik tak kunjung juga selesai. Tak ada penjelasan kepada warga soal lambatnya birokrasi penyelesaian KTP elektronik ini.

Buruknya administrasi KTP elektronik dengan mudah dikaitkan dengan korupsi pengadaan KTP elektronik yang melibatkan sejumlah orang penting negeri ini. Meskipun belum tentu ada korelasi antara korupsi pengadaan KTP elektronik dan masih belum direkamnya 7 juta warga, sah saja kalau publik menganggap karena korupsi itulah pelayanan publik terkait pengadaan KTP elektronik jadi buruk. Sementara elite politik yang dituduh terkait dengan kasus KTP elektronik tetap nyaman dengan posisinya.

Tidak ada kata lain bagi Presiden Joko Widodo untuk memerintahkan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyelesaikan perekaman data dan pemberian KTP elektronik kepada warga yang belum mendapatkannya.. Presiden tentunya akan mendengar suara rakyat dan segera menyelesaikan masalah KTP elektronik itu.

Kementerian Dalam Negeri tentunya mempunyai data domisili dari 7 juta orang yang belum memiliki atau merekam data KTP elektronik. Kita berharap Menteri Dalam Negeri segera memerintahkan kepada wali kota dan bupati untuk menuntaskan masalah itu dalam target waktu tertentu. Jangan kemudian saat pilkada atau pemilu presiden masalah perekaman data KTP elektronik juga masih belum selesai dan masalah hak pilih kembali jadi isu politik lima tahunan.

 
KOMPAS