.

Kesediaan China untuk memulai perundingan kode tata berperilaku (COC) di Laut China Selatan dalam Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN di Manila baru-baru ini disambut dengan gembira bercampur waswas.

Gembira, karena memberikan harapan terciptanya peredaan ketegangan menuju stabilitas dan perdamaian regional yang didambakan semua pihak. Pada saat sama muncul juga pertanyaan mengapa China berubah menjadi sangat akomodatif dan bagaimana ASEAN khususnya Indonesia harus menyikapi perubahan sikap tersebut?

"Status quo" baru

Dalam analisis politik internasional perubahan sikap suatu negara menyangkut kepentingan strategis selalu terkait dengan kepentingan lebih luas dari negara tersebut. Perubahan sikap itu tidak serta-merta terjadi, tetapi telah dirancang secara matang.

Ada sejumlah faktor yang mendorong perubahan sikap itu. Pertama, China telah melakukan reklamasi masif di pulau-pulau yang disengketakan di Laut China Selatan (LCS). Selain itu, juga sudah dibangun fasilitas sipil dan militer yang canggih tanpa bisa dihalangi siapa pun. Artinya, secara de facto China telah mengontrol wilayah perairan itu dan akan mempertahankannya dengan kekuatan yang dimilikinya.

Kesediaan China untuk membahas COC pasca-KTT ASEAN di Manila harus diartikan untuk mengamankan kontrol de facto tersebut. Artinya, apa pun dapat dirundingkan asalkan tidak mempersoalkan keabsahan reklamasi yang sudah dilakukan serta semua fasilitas militer yang ada di dalamnya.

Jadi, perundingan harus menggunakan asumsi penerimaan semua pihak terhadapstatus quo baru. Jika ini yang dimaksud China, maka arah pembicaraan COC sudah jelas, yaitu legitimasi terhadap kontrol de facto China atas LCS. Bagi Beijing penerimaan status quo ini sangat penting karena dapat menetralisasi dampak dari keputusan Mahkamah Arbitrase Permanen (Permanent Court of Arbitration/ PCA) yang menggugurkan klaim China atas wilayah di LCS.

Dengan demikian, Beijing bisa melepaskan diri dari kewajiban untuk tunduk pada ketentuan hukum internasional yang diamanatkan keputusan PCA itu.

Kedua, di tengah keengganan Amerika Serikat (AS) di bawah Presiden Donald Trump untuk memainkan peranan kepemimpinan secara global, China dengan senang hati mengisi kekosongan yang terjadi dan karena itu sangat memerlukan dukungan ASEAN demi mendapatkan legitimasi yang lebih kuat.

Apalagi Presiden Trump sempat menawarkan diri sebagai mediator dalam konflik di LCS yang langsung ditolak oleh Beijing. Jauh lebih mudah lagi untuk langsung berhadapan dengan negara-negara ASEAN sambil mengandalkan kontrol de facto atas LCS tanpa campur tangan AS.

Ketiga, Beijing sudah memperhitungkan bahwa ada tiga sumber daya tawar (bargaining power) yang dimilikinya untuk menghadapi negara-negara ASEAN. Pertama, sebagaimana Jepang dan Korea Selatan yang merupakan saingannya di Asia Tenggara, secara perlahan, tetapi pasti China sudah menguasai perdagangan, investasi, dan pinjaman luar negeri di kawasan ini. Dalam hal perdagangan tidak diragukan lagi bahwa semua negara ASEAN memerlukan pasar China yang selalu menciptakan permintaan (demand) bagi produk-produk ekspor mereka apakah sumber daya alam atau produk industri lain. Negara-negara ASEAN tak siap menghadapi risiko ditutupnya akses pasar ke China dan bahkan mereka bersaing untuk memperebutkannya.

Ketiga, Beijing pun tidak bermaksud mengganggu atau membatasi kebebasan navigasi perdagangan yang selama ini sudah berjalan di sekitar perairan LCS. Yang ditolaknya adalah pelayaran dengan misi tertentu, seperti kepentingan intelijen, spionase atau misi nonperdagangan lainnya. Sudah dapat diduga bahwa dari perspektif kepentingan Beijing pembicaraan substansi COC yang mendukung keamanan jalur perdagangan sangat sesuai dengan kemauan Beijing karena hal itu juga membawa manfaat untuk perdagangan dan investasinya di Asia Tenggara.

Sikap Indonesia

Dalam hal investasi dan keuangan China pun telah membuka jalan bagi dominasinya melalui deklarasi Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative/BRI) dengan janji investasi miliaran dollar AS di Asia Tenggara dan pembentukan Asia Infrastructure Investment Bank (AIIB) di mana Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya ikut menjadi anggota.

Bagaimana Indonesia harus menyikapi hal ini? Indonesia harus bertolak dari kepentingan nasionalnya. Pertama, harus ditegaskan bahwa kita bukanlah claimantdi LTS, artinya Indonesia bukan negara yang terlibat dalam konflik teritorial di LCS. Beijing juga tidak mempersoalkan kedaulatan Indonesia atas Kepulauan Natuna.

Kedua, Indonesia perlu menyimak secara kritis perbedaan pendefinisian makna COC antara Beijing dan negara-negara claimantlainnya. Bagi Beijing, COC yang akan dirundingkan tidak akan menyentuh substansi sengketa wilayah dan hanya akan mengatur perilaku semua pihak untuk mengendalikan diri dan membangun saling percaya (mutual trust).

Penafsiran seperti ini tidak menimbulkan beban atau ancaman apa pun bagi Beijing. Bagi claimant yang lain ekspektasinya adalah justru menyelesaikan sengketa wilayah yang ada secara damai dan menuju penyelesaian yang adil dan diterima semua pihak. Beijing pasti menolak interpretasi seperti ini.

Ketiga, sebagai pemimpin tradisional ASEAN, Indonesia berkepentingan agar Beijing tetap memperhitungkan peran ASEAN dalam menjaga stabilitas dan keamanan di wilayah ini. Namun, Jakarta juga tidak perlu memberi kesan bahwa Indonesia terlalu jauh mendesak Beijing untuk menuruti kemauan ASEAN karena hal ini bisa ditanggapi secara negatif oleh Beijing yang bisa menyimpulkan bahwa Indonesia terlalu jauh mencampuri urusan negara-negara yang mengklaim wilayah di LCS.

Karena itu, kebijakan Indonesia harus tetap terukur dan realistis dan harus bertolak dari kepentingan nasional Indonesia sendiri tanpa terlalu jauh berusaha meraih apa yang bukan dalam kapasitas kita untuk meraihnya.

Aleksius Jemadu