Ketika Baginda Sisyphus mangkat, tibalah masa pembalasan. Di Hades, alam barzah tempat orang-orang yang sudah meninggal, Sisyphus Kumara dihukum oleh Dewa.
Ia harus menggulingkan batu yang sangat besar menaiki bukit yang tinggi. Tetapi, begitu sampai di puncak bukit, batu raksasa itu menggelinding turun ke kaki bukit. Sisyphus Kumara harus mulai lagi dari kaki bukit, menggulingkan batu itu ke atas.
Begitulah berulang kali tak kunjung berhenti. Sisyphus Kumara harus mengumpulkan seluruh tenaganya, menahan kelelahan menjalani hukuman, buah karma kejahatannya.
Filsuf Perancis, Albert Camus, mengangkat legenda Sisyphus ini dalam karyanya. Ia memperoleh Hadiah Nobel dalam kesusastraan (1956). Dalam karya Camus, Sisyphus dinobatkan menjadi pahlawan teknologi karena ia pantang menyerah kendati terus-menerus gagal.
Filsuf STF Driyarkara, Dr Karlina Supelli, memandang Sisyphus sebagai pecundang besar, sama dengan rekayasawan dan teknologiwan yang selalu gagal mencapai kesempurnaan. Cepat atau lambat pasti ketahuan cacat dan kekurangannya. Celakanya, kekurangan yang berisiko musibah itu biasanya baru diketahui ketika teknologi sudah telanjur dipakai dan efek negatifnya sudah memakan korban.
Contohnya, pembasmi serangga DDT (dichloro-diphenyl-trichloroethane) yang disangka ampuh membasmi nyamuk ternyata menjadi racun bagi satwa lainnya, sedangkan sang nyamuk berjaya saja menyebar penyakit.
Samuel F Florman, rekayasawan-cum-filsuf, berseberangan pandangan dengan Karlina Supelli. Florman jelas-jelas mengamini pendapat Camus. Ia bahkan yakin para rekayasawan dalam kerja kerasnya yang berujung kegagalan demi kegagalan meresapi kenikmatan eksistensial!
Rekayasawan di mata Florman bukan tukang atau kerani. Perekayasaan ialah seni atau ilmu menerapkan pengetahuan ilmiah murni secara praktis. Ada juga (Billy Vaughn Koen) yang mengatakan bahwa perekayasaan ialah usaha terbaik untuk mengubah menurut persepsi manusia, yang dilakukan rekayasawan dalam situasi yang tidak sepenuhnya diketahui dan terkendala berbagai keterbatasan.
Eksistensialis ialah orang yang berkata kepada dirinya sendiri: "Aku ada. Aku eksis!". Filsuf Perancis yang mengembangkan eksistensialisme ialah Jean-Paul Sartre. Bagi seorang eksistensialis, cara dia merasakan keberadaan jauh lebih penting daripada teori apa pun. Eksistensialisme memiliki dua aspek: (1) menolak dogma, terutama "dogma ilmiah", dan (2) mengandalkan gairah (passion), krentek (urges), rangsangan (impulses), dan intuisi. Itulah landasan dasar dari eksistensi personal kita.
Aras tinggi dan rendahan
Sisyphus (dan rekayasawan sejati) tekun menjalani tugas yang tak kunjung tuntas dan hanya sekali-sekali berhasil, namun merasakan kenikmatan dari mengemban amanah itu. Mereka pada dasarnya adalah hedonis.
Hedonisme ialah aliran moral yang mengejar kenikmatan, yang diyakini sebagai summum bonum (kebaikan tertinggi)? Memang, kenikmatannya bukan kenikmatan fisik-emosional "aras rendah", seperti yang dikejar Playboy Club-nya Hugh Hefner yang gemar berpesta pora dengan playboy bunnies nan seksi dan ayu. Tetapi, kenikmatan (hedonÉ) ya kenikmatan, setinggi atau serendah apa pun arasnya.
Dalam "hedonisme aras tinggi" ala filsuf Inggris, John Stuart Mill (1806-1873), Albert Einstein adalah seorang hedonis juga. Pada tahun 1905, ia menerbitkan teori yang ia bangun di sela-sela tugasnya di kantor pencatatan permohonan paten di kota Bern, Swiss. Itulah Teori Relativitas Khusus yang memuat rumus sangat terkenal, E = mc2. Karya itu terbit di jurnal ilmiah Jerman, di kota Leipzig, yakni "Elektrodinamika-nya benda-benda yang bergerak" (Zur Elektrodynamik bewegter Koerper, Ann. Phys., Lpz, 17, 891, 1905).
Ia tidak lantas berpuas diri. Ia ingin memperluas teorinya menjadi Teori Relativitas Umum. November 1907, ia secara intuitif sampai pada pemikiran tentang apa yang sebenarnya terjadi jika seseorang jatuh dari atap rumah. Orang itu tidak bergerak dipercepat karena mengalami gaya gravitasi bumi, tetapi ruang di sekitarnya yang menjadi lengkung karena pengaruh massa dari badan orang itu.
Bersitan intuisi itu digarap secara matematis dalam Geometri Riemann. Ia bekerja habis-habisan, sampai minta-minta bantuan temannya di ETH Zurich dulu, jagoan matematika Marcel Grossmann. Sebelum menjadi kerani kelas 3 di kantor paten di Bern, Einstein memang sekelas Grossmann di Eidgenössische Technische Hochschule (Politeknik Federal Swiss).
Grossman sangat cemerlang dalam matematika, sedang Einstein cuma "begitu-begitu" saja sehingga dijuluki "anjing pemalas" oleh guru besar matematikanya, Prof H Minkowski. Akhirnya, delapan tahun kemudian, 1915, Teori Relativitas Umum ia presentasikan dalam sidang Akademi Ilmu Prusia.
Ia terkenang intuisi yang didapatnya delapan tahun silam, tentang ruang yang menjadi lengkung karena pengaruh medan gravitasi. Capaian hasil pemikiran selama dua tahun (1905-1907) itu dirasakannya sebagai kenikmatan. Itulah "pikiran yang paling menyenangkan dalam hidupku" (gluecklichste Gedanke meines Lebens). Einstein adalah seorang hedonis!
Hedonisme aras tinggi, menurut John Stuart Mill, ialah paham moral yang menempatkan kenikmatan dari penelaahan intelektual, pencapaian kreatif, apresiasi terhadap keindahan, persahabatan, dan cinta kasih sebagai kebaikan yang tertinggi (summum bonum).
Unek-unek Irma
Beberapa hari silam, saya mendapat surel dari teman, ia meneruskan "unek-unek" yang ditulis Irma Hutabarat. Irma boleh dianggap membidani KPK. Bersama Marsillam Simandjuntak (Menteri Kehakiman dan HAM) dan Bertrand de Speville (mantan anggota Scotland Yard, yakni Dinas Investigasi Kerajaan Inggris), dia menyerahkan rancangan pembentukan KPK kepada Presiden Gus Dur.
Di dalam unek-unek itu, Irma menulis: "Seorang… hedon mengaku tak bersalah, ia lolos dari berbagai kasus korupsi". Irma tidak "menceploskan" secara lugas-denotatif siapa hedon itu. Pastilah ia yakin bahwa para pembaca unek-uneknya adalah orang-orang cerdas yang mengetahui siapa hedon yang dimaksudkannya.
Hedon yang dimaksudkan Irma pastilah seorang hedonis. Tetapi, seandainya dia bertanya kepada publik, setuju atau tidak dengan pernyataannya itu, dugaan saya banyak yang akan menjawab: "Jain". Biasanya jain itu ja und nein (ya dantidak).
Jain berarti ja dan tidak. Tetapi, dalam hal ini jain berarti ja oder nein (ya atau tidak) sebab ada hedonisme aras tinggi dan ada hedonisme rendahan. Kedua hedonisme ini bertolak belakang. Mustahil dua pengertian yang kontradiktif melekat pada orang yang sama di waktu yang sama. Kalaupun melekat pada orang yang sama, pasti waktunya berbeda, seperti tokoh Jekyll-Hyde dalam novel The Strange Case of Dr Jekyll and Mr Hyde karya Robert L Stevenson (1886).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar