Perubahan drastis ini berimplikasi penting pada menguatnya representasi dan partisipasi netizen melalui medsos secara besar-besaran. Sepanjang 2017, netizenlewat berbagai aktivisme kliknya mewarnai suhu politik, mulai dari kasus korupsi, pilkada, hingga suksesi jabatan publik. Medsos telah memberikan konstruksi besar bahwa urusan partisipasi dalam demokrasi Indonesia hari ini dimanifestasikan dalam  isu yang jadiviral, dikomentari dengan emoticon "like","love""sad", maupun "angry", kemudian diteruskan ke berbagai grup medsos lain. Berbagai macam ekspresi ini sebenarnya sebentuk ruang publik yang dibentuk dari ekspresi demonstratif yang kemudian merambah ke relasi partisipatif.

Ruang publik digital selalu menyugesti untuk selalu postingviral, dan forwardsehingga menimbulkan efek adiktif. Inilah yang menciptakan berbagai macam karakter netizen yang tumbuh dan berkembang di Indonesia. Netizen adalahdemos versi digital di mana mereka berusaha mengimplementasikan demokrasi substantif di medsos.

Alih-alih mendapatkan konsensus demi kemaslahatan  bersama seperti era Yunani kuno, demokrasi digital justru menciptakan desas-desus yang berujung pada kontestasi kepentingan. Hal ini sejalan dengan karakter netizen Indonesia yang mewakili individualisme kelas menengah yang berpacu dalam rivalitas mencari materi. Ekspresi dan partisipasi kelas menengah dalam medsos adalah sebentuk konfirmasi ulang terhadap pemenuhan kepentingan yang lebih besar melalui media digital. Maka, masalah eksistensi itu menjadi poin penting dalam partisipasi digital untuk mendapatkan atensi yang lebih besar.

Dalam konteks ini, partisipasi politik melalui medsos sebenarnya masalah eksistensi, apresiasi, dan kontestasi mengenai isu dan masalah privat yang mampu menjadi isu publik. Kondisi ini yang kemudian menciptakan polarisasi dalam partisipasi politik di medsos. Partisipasi politik melalui netizen sublim yang didominasi kelas menengah atas lebih condong mengangkat masalah apresiasi dengan mengangkat glamoritas sebagai tema partisipasi politiknya.

Secara sosiologis mereka ingin diakui sebagai kelas atas, secara politis mereka ingin diapresiasi sebagai kelompok kepentingan. Sementara partisipasi politiknetizen medium yang notabene kalangan menengah didominasi kalangan terdidik lebih mengangkat masalah eksistensi isu keseharian. Masalah pribadi terkait pelayanan publik jadi bahasan kunci dari eksistensi politik mereka. Oleh karena itu membosankan karena keluhan, desakan, dan tuntutan jadi tema utama.

Positifnya, kedua tipe netizenmencerminkan adanya rasionalitas yang hendak dibangun kelas menengah Indonesia bahwa kepekaan terhadap politik dimulai dari lingkungan sekitar. Karakter politik dalam status medsos mereka bersifat post and discuss. Mereka bertanggung jawab atas narasi informasi yang ditulis sehingga terjadi pola diskursif.

"Netizen" anonim

Dibanding kedua tipe partisipasi netizenitu, yang sebenarnya perlu dapat perhatian adalah netizen anonim yang mampu menghasilkan relasi intim karena menghadirkan keterikatan masalah personal. Netizen anonim menampilkan vulgarisme informasi yang secara cepat diserap publik. Mereka memilih menyamarkan nama asli dan lebih menggunakan nama populer yang mampu menjaring massa. Umumnya mereka mampu menciptakan kebenaran dan hasutan dalam sekali menuliskan status di akun medsosnya. Mereka umumnya menyasar kelas menengah bawah yang menempati porsi terbesar dalam piramida demografi politik kelas menengah.

Netizen anonim hadir dari kelas menengah bawah yang secara materi dan intelektual tak seperti dua tipe netizen lain. Mereka menggunakan masalah emosional, identitas, atau primordial saat menuliskan status di akun medsos. Status politik netizen anonim ini bersifat hit and run sehingga tak bertanggung jawab atas substansi informasi yang ditulis. Kondisi ini membuat isu cepat menyebar dan membesar di ruang publik, baik nyata maupun maya.

Berbagai macam praktik intoleransi, radikalisme, dan vigilantalisme lebih cepat menyubur melalui masyarakat kelas menengah bawah daripada kelas menengah atas. Ini yang sebenarnya jadi celah potensi hasutan menjadi terbuka di dunia maya, diteruskan di dunia nyata. Kelas menengah yang mengklaim diri sebagai kalangan rasional bisa menjadi delusional dan primordial karena celah hasutan ini.

Sepanjang 2017, ketiga tipe dan karakternetizen ini yang mewarnai kancah politik informal dan politik digital. Untuk 2018, mereka bisa jadi aktor berpengaruh, apalagi dalam konteks pemilu serentak dan pemanasan menjelang 2019. Namun, ada potensi berkembang tipe netizen lain di kelas menengah mengingat karakternya yang dinamis dan butuh kejelian menafsirkan.