Pasalnya, Komisi III yang langsung menggelar uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) terhadap Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) yang akan berakhir masa jabatan sebagai hakim enam bulan lagi sangat menunjukkan hal yang tidak sehat secara hukum. Apalagi, jika benar terjadi seperti pernyataan salah seorang anggota DPR dari Partai Gerindra, yang mengatakan bahwa ia melakukan lobi-lobi, tentu semakin melengkapi kemunduran dan pelanggaran pemilihan.

Prinsip pemilihan

Jika ditilik, pada dasarnya Pasal 24C Ayat (3) UUD 1945 telah mengatur hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden adalah yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden. Artinya, pola perekrutan hakim MK adalah appointee(orang yang ditunjuk/diangkat) oleh tiga cabang kekuasaan pelaku kenegaraan Indonesia. Pada titik ini saja hingga saat ini ada perdebatan tentang pola appointeepolitis yang tentu saja sangat berpengaruh pada kualitas para hakim di MK.

Secara teoretis, memang ada empat genre besar pemilihan hakim di dunia;appointeepartisan electionnon-partisan election, dan fully merit system. Praktik yang dilakukan di berbagai negara mencoba satu di antara empat genre besar itu ataupun mencoba menggabung dua atau tiga gaya dari genre besar tersebut. Misalnya, dalam seleksi hakim agung di MA, kita menggabung dua model besar antara sistem merit—dengan ada komisi tersendiri untuk hal itu, yakni Komisi Yudisial—dengan di ujungnya ada "bau" model appointee, yakni hasil KY diusulkan ke DPR untuk mendapatkan persetujuan.

Sama halnya dengan MA, pengisian jabatan hakim di MK menggabungkan pola yang sama meski dengan corak terbalik dari MA. Lebih ditekankan appointee-nya, tetapi di ujungnya dibuat pola yang lebih berbau "merit", yakni kewajiban untuk membuat tata cara pemilihan yang berkualitas. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi mengatur hal tersebut pada dua pasal berbeda. Pasal 19 mengatur perihal pencalonan hakim konstitusi yang harus transparan dan partisipatif. Sementara Pasal 20 Ayat (1) dan (2) mengatur tentang tata cara seleksi, pemilihan, dan pengajuan hakim konstitusi yang diserahkan kepada ketiga lembaga tersebut untuk mengaturnya sepanjang memenuhi pelaksanaan secara obyektif dan akuntabel.

Artinya jelas, pengajuan oleh Presiden, DPR, dan MA bukanlah cek kosong yang bisa dituliskan seenaknya. Ada pakem yang jelas dari sisi transparan, partisipatif, obyektif, dan akuntabel.

Praktik pemilihan

Dari ketiga lembaga pelaksana appointeeterhadap hakim konstitusi tersebut, apa yang dilaksanakan oleh DPR selama ini sesungguhnya menjadi sangat menarik. Dibandingkan dengan dua lembaga lainnya, maka—dalam beberapa kesempatan—DPR lebih tepat dalam memaknai pencalonan yang transparan dan partisipatif, serta proses internal kelembagaan yang obyektif dan akuntabel. Tentu, hal ini tidak lepas dari format lembaga DPR yang diharapkan merupakan representasi dari rakyat Indonesia sehingga pola hubungan DPR dan rakyat haruslah terjaga.

Berdasarkan pengalaman DPR selama ini, calon hakim konstitusi dipublikasikan di media massa, baik cetak maupun elektronik. Dengan begitu, masyarakat punya kesempatan untuk ikut memberi masukan atas calon hakim yang bersangkutan.

Akan tetapi, praktik yang cukup baik ini tiba-tiba menghilang. Dan, inilah yang memang seharusnya mendatangkan garis catat yang tebal. Mengapa ada langkah mendadak yang dilakukan dengan mengubah sesuatu yang sudah baik dan cukup pas secara aturan, malah menjadi kemunduran dan bisa melanggar aturan. Jangan pernah lupakan, langkah yang sama dengan meniadakan proses partisipatif, transparan, obyektif, dan akuntabel pernah dilakukan di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan sudah diuji di peradilan. Bahkan di peradilan tingkat pertama, kala itu, secara jelas dinyatakan bahwa ada pelanggaran nyata terhadap aspek prinsipiil dalam pemilihan hakim konstitusi.

Balik ke persoalan uji kepatutan dan kelayakan mendadak yang dilakukan saat ini, tentu menjadi pertanyaan besar. Ada sekian banyak pertanyaan yang harus dijawab oleh DPR saat ini. Pertama, bagaimana dengan keharusan ada transparansi? Artinya, DPR seharusnya menjelaskan alasan di balik gerakan tiba-tiba memberikan "karpet merah" kepada orang tertentu. Mengapa untuk kali ini DPR memilih untuk langsung melakukan uji kepatutan dan kelayakan tanpa membuka secara terbuka calon yang pantas untuk menjadi hakim MK?

Jangan pernah lupakan, uji kepatutan dan kelayakan sebagai sarana sahih menakar integritas, kapabilitas, dan akseptabilitas seorang kandidat. Akan tetapi, dengan cara hanya memberikan kesempatan uji kepatutan dan kelayakan kepada satu orang, itu sama dengan mengatakan bahwa yang layak untuk dinilai integritas, kapabilitas, dan akseptabilitasnya hanyalah satu orang. Dengan batas penalaran yang wajar, dapat dikatakan bahwa sebenarnya DPR sudah memilih dan hanya "mengonfirmasi" pilihannya saja. Padahal, harusnya bisa mendapatkan pandangan awal mengenai integritas dan kapabilitas jika DPR menggunakan panitia seleksi atau dewan pakar sebagaimana biasanya proses seleksi.

Kedua, bagaimana dengan partisipatif? Partisipatif seharusnya diartikan bahwa siapa pun bebas untuk berpartisipasi, sehingga jika ada mekanisme yang bersifat privilese terhadap seseorang, itu sama dengan tindakan yang menegasikan partisipasi. Atau, jangan-jangan Komisi III tengah menunjukkan kepongahan partisipasi politik yang dianggap lebih penting daripada partisipasi publik. Hal yang sederhananya akan bisa menghasilkan hakim konstitusi yang mendapatkan akseptabilitas politik semata tanpa adanya akseptabilitas publik. Artinya, prinsip partisipatif seharusnya memberikan kemungkinan siapa saja untuk berpartisipasi.

Ketiga, persoalan obyektif dan akuntabel. Bukan sekadar pelanggaran atas prinsip partisipasi, memberikan "wild card" untuk langsung ke tahap pemilihan tanpa uji kepatutan dan kelayakan adalah hal tersendiri yang juga harus diberi garis tebal. Sulit untuk mengartikan pemberian langsung ke uji kepatutan dan kelayakan itu sebagai suatu hal yang tetap berada pada koridor obyektif dan akuntabel.

Obyektif seharusnya diartikan sebagai penilaian secara merata tanpa membedakan pengalaman atau apa yang telah pernah dilakukan. Siapa pun yang mendaftar sebagai calon hakim konstitusi haruslah dipandang sebagai calon hakim yang memulai dari nol. Karena itu, dengan alasan terhadap sosok tertentu yang telah pernah menjadi hakim, ia diberikan jalan lapang langsung ke uji kepatutan dan kelayakan adalah sesuatu yang tak pas.

Secara teoretik, ini sulit diterima. Bagaimanapun, pada diri seorang hakim terdapat dua unsur perbuatan yang melekat pada dirinya, sebagai seorang hakim sekaligus sebagai seorang warga biasa. Dalam tugas yang berkaitan dengan kenegaraan, ia memerankan diri sebagai posisi hakim. Sementara ketika berhadapan dengan mekanisme calon hakim, seharusnya dia diposisikan sebagai rakyat biasa yang mengikuti seleksi calon hakim. Pengalaman tidaklah menjadi penentu pemberian privilese. Apalagi, tidak ada aturan hukum yang memberikan kesempatan untuk melakukan hal tersebut.

Memang, akan patut ditunggu langkah DPR selanjutnya untuk menjelaskan sebagai bagian dari akuntabilitas yang dimaksudkan dalam prinsip seleksi hakim MK. Dan, hal inilah yang akan menentukan apakah seorang hakim konstitusi memang dapat terlacak dengan benar integritas, kapabilitas, dan akseptabilitasnya? Ataukah hakim konstitusi memang hanya hasil dari proses lobi-lobi (politik) dan kepentingan semata.