Pada akhir kekuasaan politiknya di Partai Golkar, Novanto berupaya menunjuk Aziz Syamsuddin sebagai Ketua DPR. Namun, penunjukan Aziz gagal karena ditentang kader Partai Golkar itu sendiri. Novanto kehilangan kontrolnya di Partai Golkar setelah Pengadilan Tindak Pidana Korupsi membuka persidangan atas dirinya dan mengubah status dirinya sebagai terdakwa.

Kontrol Partai Golkar tampaknya bakal diambil alih Airlangga Hartarto yang kini menjadi Menteri Perindustrian di Kabinet Kerja di bawah Presiden Joko Widodo. Secara formal, posisi Airlangga sebagai Ketua Umum Partai Golkar akan ditetapkan dalam Munas Luar Biasa Partai Golkar. Adapun posisi Ketua DPR masih kosong.

DPR periode 2014-2019 bisa disebut DPR dengan penuh gejolak. Novanto terpilih sebagai Ketua DPR dalam sistem paket yang diajukan Koalisi Merah Putih yang mengusung pasangan calon presiden-wakil presiden Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Pada masa akhir DPR periode 2009-2014, setelah Joko Widodo-Jusuf Kalla terpilih sebagai presiden-wakil presiden, DPR mengubah pola pemilihan pimpinan DPR. Jika sebelumnya pimpinan DPR dipilih secara proporsional berdasarkan hasil pemilu legislatif, diubah menjadi sistem paket. Perubahan itu diyakini sebagai reaksi ikutan dari hasil pemilu presiden. PDI-P sebagai partai pemenang pemilu bahkan tidak menempatkan kadernya di pimpinan DPR.

Pemilihan sistem paket ternyata tidak langgeng. Gejolak terus terjadi. Belum lama Novanto menjabat, dia diguncang isu "Papa Minta Saham" dan disidangkan di Majelis Kehormatan Dewan. Novanto turun dan digantikan Ade Komaruddin. Melalui berbagai manuver hukum, Novanto meraih kembali kursi pimpinan DPR menggantikan Ade kembali. Namun, terkait kasus korupsi KTP elektronik kali ini, Novanto kembali mengundurkan diri. Ia ditahan KPK. Kursi Novanto inilah yang kini diperebutkan. Posisi Wakil Ketua Fahri Hamzah mengganjal karena Fraksi PKS memecatnya, tetapi Fahri menang di pengadilan. Fahri pun tetap bertahan sebagai Wakil Ketua DPR.