Penyakit difteri disebabkan oleh infeksi bakteri pada selaput lendir hidung dan tenggorokan. Racun dari bakteri merusak jaringan sehingga menghalangi pernapasan dan dapat mengakibatkan kematian.

Menurut catatan Kementerian Kesehatan, sepanjang 2017 telah dilaporkan 450 kasus dengan penderita terbanyak berusia 5-9 tahun. Paling tidak, 19 provinsi telah melaporkan dugaan kejadian luar biasa (KLB), termasuk di antaranya DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sumatera Barat. Bagaimanakah kita mengurai persoalan ini ketika warga di ibu kota negara dan kawasan-kawasan yang infrastrukturnya relatif baik dan merata banyak yang menjadi korban?

Sejak tahun 1974 Pemerintah Indonesia sebenarnya mulai menerapkan program imunisasi dengan tambahan imunisasi DPT dua tahun kemudian. Vaksin DPT-difteri, pertusis, dan tetanus-seharusnya diberikan sejak bayi berusia dua bulan bersama vaksin lain seperti hepatitis B, BCG, polio, dan campak.

Namun, cakupan imunisasi 90 persen sejak 1990 ternyata cuma di atas kertas. Kantong-kantong rawan ledakan penyakit bermunculan akibat kondisi geografis, sosial-ekonomi, dan kampanye negatif terhadap manfaat vaksin. Padahal, sampai saat ini imunisasi adalah upaya paling murah, mudah, dan efektif mencegah penularan penyakit.

Menurut Cecil G Helman (Culture, Health and Illness, 2000), masalah organisasi dan teknik mudah ditangani. Namun, abai mengupayakan pemahaman masyarakat bisa menjadi hambatan serius. Inilah yang terjadi di Indonesia hari-hari ini. Bombardir info negatif di media sosial langsung menyebar tanpa hambatan, apalagi jika disampaikan dengan bahasa keagamaan yang meyakinkan.

Oleh karena itu, Kementerian Kesehatan harus mengubah pola penyuluhannya, terutama dalam melibatkan pemuka agama dan tokoh masyarakat. Persis seperti ketika pemerintah mengenalkan program Keluarga Berencana pada awal tahun 1970-an.

Isu-isu krusial seperti halal-haram, efek samping, hingga vaksin sebagai konspirasi kepentingan negara-negara Barat dijawab dengan basis sosio-antropologis masyarakat. Klarifikasi ini harus disampaikan dengan memanfaatkan semua wahana: dari media sosial hingga agen penyuluhan yang mampu membaur. Agen penyuluhan dan tim kesehatan yang tangguh juga menjadi ujung tombak menembus medan geografis yang sulit.