Angel Parra

Dalam percakapan dengan dua mahasiswa asal Indonesia di program doktoral biologi struktural dan psikiatri di Universitas Cambridge, setengah tahun lalu, saya mengajukan pertanyaan ini: "Pernahkah kamu atau tetanggamu atau sahabatmu menyesali keputusan politik saat memilih? Menyesali tindakan lima menit dalam kotak suara yang berakibat lima tahun  ke depan?" Pertanyaan saya selanjutnya kepada mereka adalah, "Adakah teknologi yang nyaman bagi rakyat untuk secara akurat membangun kebahagiaan dengan mengurangi banyak kekecewaan karena ketidaktepatan dalam membuat pilihan politik di alam demokrasi?"

Yang saya tanyakan kepada mereka adalah tentang jurang yang menganga antara keinginan sesaat tiap orang dan kebutuhan jangka panjang tiap orang dalam demokrasi.

Demokrasi sebagai sistem operasi politik, selama fitur dan mekanismenya masih menggunakan warisan abad ke-19, akan jadi sosok yang tertatih-tatih ketika mau mengatur masyarakat yang sedang berlompatan ke depan karena revolusi teknologi. Jajak pendapat Kompas pada Desember 2017 menemukan 35 persen responden usia muda memandang politik dalam arena demokrasi semata-mata soal perebutan kekuasaan. Sepertiga lagi melihatnya sarat dengan korupsi dan kebohongan. Hal ini menunjukkan anak-anak muda, generasi milenial, semakin berjarak dengan panggung politik formal meski sama sekali tidak apolitis.

Dari survei itu, politik jadi cuma seolah perasan paling akhir dari seluruh tetesan peluh yang dihasilkan dari hubungan antarmanusia. Politik seakan cuma peluh kotor. Banyak anak muda tak lagi melihat bahwa dalam proses demokrasi politik itu ada juga tubuh (masyarakat) yang sedang bermetabolisme secara sehat karena berolah raga, berolah rasa, dan berolah rasio sehingga menghasilkan peluh. Jangan salahkan generasi muda. Salahkan kita yang ngotot tak mau berubah.

Agar tubuh bangsa sehat, demokrasi butuh terobosan. Ingatlah, teknologi zaman kini akan lebih memenangkan mereka yang berani melakukan terobosan ala abad ke-21 ketimbang mereka yang cuma mengandalkan pengalaman ala abad ke-20. Hal ini dimungkinkan oleh perkembangan sains teknologi yang sangat cepat. Dalam demokrasi politik, ia membutuhkan data raksasa (big data), biopolitik dan kecerdasan buatan sebagai steroid untuk otot-ototnya supaya aspirasi kolektif rakyat tak terus jadi korban penipuan elite.

Teknisi

Lantas, terobosan macam apa? Yang kita butuhkan adalah "teknisi", yang terdiri atas dua hal: teknologi advokasi dan teknologi representasi.

Begini argumen saya. Akses dan ketersediaan informasi merupakan hal mendasar dalam demokrasi. Hal ini agar tiap-tiap orang dapat membangun dalil dan dalih atas tiap-tiap keberpihakan politiknya (advokasi).

Namun, saat ini akses saja tak cukup. Di era di mana informasi yang tersedia sudah berlimpah ruah, dibutuhkan teknologi  advokasi yang bekerja memilah informasi dari rumor, memilih dan mengubah informasi yang relevan menjadi pengetahuan yang dibutuhkan oleh tiap orang saat memutuskan keberpihakan politik. Ia menjadi semacam asisten digital bagi tiap-tiap warga negara supaya lebih mengenal siapa dirinya (pilihan politik dan bioritme fisik, emosi, dan intelektual dirinya yang relevan), mengenal calon pemimpinnya (rekam jejak digital ucapan, tindakan, pengalaman, psikografi, dan lain-lain), dan mengetahui  konsekuensi diri pribadi dari tiap-tiap pilihan politik yang akan diambil.

Teknologi advokasi akan membuat rakyat lebih mengenali siapa dirinya, yaitu mengenali kebutuhan politiknya maupun tubuh biologisnya, dan bagaimana keduanya saling memengaruhi. Temuan di studi biopolitik, misalnya, berhasil menunjukkan adanya hubungan fungsional antara perilaku politik dan struktur otak manusia.

Kemajuan sains dan teknologi telah melapangkan jalan hadirnya teknologi advokasi semacam ini. Hanya dengan cara ini rakyat bisa melepaskan diri dari tipuan "seolah toleran", "seolah berwawasan maju", atau "seolah saleh" oleh calon-calon pejabat publik dan menekan rasa penyesalan setelah memilih.

Proses perbincangan publik merupakan unsur penting dari cara pengambilan keputusan dalam demokrasi. Hari ini proses tersebut berlangsung dan secara organis mengisi ruang-ruang diskusi di media sosial. Hanya saja, meskipun hal itu telah mendorong peningkatan partisipasi warga dalam urusan politik, diskusi di dunia maya lebih sering berujung pada munculnya pembelahan opini yang memecah belah dan penjalaran informasi palsu. Hal ini disebabkan media sosial dianggap jadi saluran aspirasi warga, sementara rancang algoritmanya tidak (baca: belum) memungkinkan terjadinya moderasi dari opini-opini yang bertentangan antara otak liberal, progresif, dan konservatif.

Untuk memobilisasi ide dan pikiran politik yang beragam, demokrasi digital butuh platform perbincangan dunia maya, yang memudahkan ruang musyawarah di mana selain ide dan pemikiran terkait topik tertentu diungkapkan secara bebas, juga bisa distrukturkan dan dianalisis secara otomatis (menggunakan kecerdasan buatan)  menjadi sejumlah sudut pandang yang berbeda, dan kemudian (jika perlu) diputuskan secara kolektif. Mekanisme pengambilan keputusan kolektif bisa cepat dan efektif.

Di sinilah setelah menggunakan teknologi advokasi kita butuh juga teknologi representasi. Ini bisa berlaku dalam organisasi masyarakat, musyawarah desa, partai politik, juga DPR dan rapat kabinet. Sebagai teknologi representasi digital, platform semacam ini diharapkan mampu menumbuhkan budaya demokrasi digital yang sehat, dan lebih jauh memfasilitasi terbangunnya kecerdasan kolektif warga melalui kolaborasi ide, keterampilan, dan sumber daya.

Kecerdasan kolektif

Data raksasa, biopolitik, dan kecerdasan buatan adalah inovasi teknologi yang penting dan jadi tulang punggung kemajuan ekonomi dan sosial-politik era digital. Namun, pelaksanaannya harus tetap berjalan dalam jalur-jalur demokrasi dan hak konstitusional warga negara. Hal ini untuk mencegah agar masyarakat di masa depan tidak terjebak dalam kerangkeng totaliterisme yang menggunakan teknologi.

Kecenderungan totaliterisme teknologi dunia mulai muncul dalam upaya penerapan angka peringkat untuk mengontrol perilaku warga negara. Angka peringkat ini akan memengaruhi akses seseorang pada perbankan, pembuatan visa, sampai dengan pekerjaan. Sementara di lain pihak, perusahaan-perusahaan teknologi  swasta besar lebih banyak memanfaatkan model kontrol perilaku  yang lebih halus.

Kedua model tersebut sama- sama memanfaatkan data perseorangan dan jejak digital warga di dunia maya sebagaiinput dari algoritma yang kemudian memersonalisasi pilihan-pilihan tindakan yang direkomendasikan ke tiap-tiap orang. Persoalannya, mesin yang supercerdas sekalipun tidak akan mampu menghasilkan solusi yang optimal dan sempurna ketika dihadapkan pada problem masyarakat yang semakin kompleks di masa depan. Hal ini disebabkan kompleksitas sistem akan senantiasa melampaui kemampuan mesin memproses data yang volumenya terus berlipat dua setiap tahun.

Kecerdasan kolektif adalah saripati demokrasi digital. Ia adalah satu-satunya cara untuk mengatasi tantangan yang kian kompleks. Totaliterisme negara lewat teknologi bukanlah jawaban untuk masa depan. Terobosan demokrasi yang kita mau adalah untuk menempatkan teknologi sebagai pelayan bagi kecerdasan kolektif warga. Bukan untuk melayani kuasa totaliter negara maupun kuasa uang.  

Lantas, siapa yang layak memegang dan memiliki teknologi data raksasa ini supaya tidak dimonopoli negara dan perusahaan swasta besar? Unit-unit kewirausahaan sosial dan organisasi komunitas harus memilikinya. Kecerdasan buatan (artificial intelligence) akan membantu rakyat dalam mengenali tubuh biologisnya sendiri, pikiran politiknya, dan sekumpulan rambu atau data (big data) di rute perjalanan politik mereka. Dengan begitu, rakyat yang berteknologi ini sanggup melawan kecerdasan dangkal yang dibuat-buat (superficial intelligence) oleh politisi-politisi rasis, korup, dan tidak cakap, yang kelakuannya persis bengkel- bengkel sepeda motor yang mencari pelanggan dengan menyebarkan paku-paku di jalanan.