Informasi potensi gempa megathrust mengemuka dan menjadi viral dimulai usai diselenggarakan acara Sarasehan Ikatan Alumni Meteorologi dan Geofisika yang bertempat di Kantor BMKG Pusat, Jakarta, pada 28 Februari 2018, dengan tema "Gempabumi Megathrust Magnitudo 8.7, Siapkah Jakarta?"
Tema sarasehan di atas tentu saja berdasarkan hasil kajian ilmiah. Rahma Hanifa (2014) dalam disertasi doktornya di Nagoya University, Jepang, yang berjudul "Interplate Earthquake Potential off Western Java, Indonesia, Based on GPS Data" menyebutkan zona megathrust selatan Jawa Barat dan Banten berpotensi memicu gempa dengan magnitudo 8,7. Sementara hasil kajian Pusat Studi Gempa Nasional (Pusgen, 2017) dalam buku Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia Tahun 2017 juga mengungkap bahwa zona megathrust selatan Jawa Barat dan Banten memiliki potensi gempa dengan magnitudo maksimum 8,8.
Pentingnya mitigasi
Pesan utama panitia sarasehan sebenarnya ingin menyoroti pentingnya upaya mitigasi gempa bumi. Dengan adanya potensi gempa kuat, diharapkan pemerintah lebih memerhatikan peta rawan bencana sebelum merencanakan penataan ruang dan wilayah.
Dalam konteks ini perlu ada upaya serius dari berbagai pihak untuk mendukung dan memperkuat penerapan building code dalam membangun infrastruktur. Masyarakat juga diharapkan terus meningkatkan kemampuannya dalam memahami cara penyelamatan saat terjadi gempa.
Dalam perkembangannya, informasi gempa megathrust magnitudo 8,7 malah memicu salah pengertian. Masyarakat ternyata justru lebih tertarik untuk membahas potensi kekuatan gempa yang mencapai magnitudo 8,7 daripada pesan mitigasinya.
Potensi gempa magnitudo 8,7 akhirnya terus bergulir menjadi berita meresahkan. Berita bohong (hoax) pun berkembang, seolah dalam waktu dekat di Jakarta akan terjadi gempa dahsyat dengan magnitudo 8,7.
Ramainya perbincangan mengenai gempa megathrust membuat para ahli kebumian bertanya-tanya. Apakah masyarakat sudah benar dalam memaknai arti gempa megathrust? Ternyata masih banyak yang belum tepat dalam memahaminya. Gempa megathrust seolah seperti sesuatu yang baru, yang akan terjadi di sekitar Jakarta dalam waktu dekat, berkekuatan sangat besar, dan akan menimbulkan kerusakan dahsyat. Pemahaman seperti ini tentu saja kurang tepat.
Sekadar istilah
Zona megathrust sebenarnya sekadar istilah untuk menyebutkan sumber gempa di zona subduksi lempeng. Dalam hal ini, lempeng samudra yang menunjam ke bawah lempeng benua dapat menimbulkan terjadinya gempa bumi. Jika terjadi gempa, maka bagian lempeng benua yang berada di atas lempeng samudra akan bergerak naik (thrusting).
Jalur subduksi ini umumnya sangat panjang, dengan kedalaman yang mencakup seluruh bidang kontak antar-lempeng. Dalam perkembangannya, zona subduksi diasumsikan sebagai sebuah "patahan naik yang besar", yang kini populer disebut sebagai zona megathrust.
Zona megathrust sebenarnya bukan hal baru. Di Indonesia, zona sumber gempa ini sudah ada sejak jutaan tahun lalu saat terbentuknya rangkaian busur kepulauan.
Zona megathrust terdapat di beberapa zona subduksi aktif, seperti: (1) zona subduksi Sunda yang mencakup barat Sumatera, selatan Pulau Jawa, Bali, Lombok, Sumba, dan Flores, (2) zona subduksi Banda dan Seram, (3) zona subduksi Lempeng Laut Maluku, (4) zona subduksi Utara Sulawesi, dan (5) zona subduksi utara Papua. Hingga saat ini baru 16 zona megathrust yang dapat dikenali potensinya. Seluruh wilayah ini merupakan daerah seismik aktif dan berpotensi terjadi gempa kuat.
Seluruh aktivitas gempa yang bersumber di zona megathrust dapat disebut sebagai gempa megathrust. Gempa megathrust tidak selalu berkekuatan besar. Sebagai sumber gempa, zona megathrust dapat membangkitkan gempa dalam berbagai variasi magnitudo dan kedalaman. Data menunjukkan, justru "gempa kecil" yang tidak berpotensi merusak lebih sering terjadi. Namun demikian, zona megathrust juga berpotensi membangkitkan gempa kuat.
Bangun literasi mitigasi
Meskipun kajian ilmiah mampu menentukan potensi magnitudo maksimum gempa megathrust, akan tetapi hingga saat ini teknologi belum mampu memprediksi dengan tepat dan akurat kapan dan di mana gempa akan terjadi. Maka, dalam ketidakpastian ini, yang perlu dilakukan adalah upaya mitigasi dengan menyiapkan langkah-langkah konkret untuk meminimalkan risiko kerugian sosial ekonomi dan korban jiwa seandainya gempa dimaksud benar-benar terjadi.
Adanya salah pengertian di masyarakat terkait gempa megathrust merupakan bukti bahwa masih ada kesenjangan dalam komunikasi sains (science communication). Para ahli kebumian kita tampaknya masih memiliki setumpuk pekerjaan rumah dalam membangun literasi mitigasi bencana di masyarakat. Antara sains sebagai teknologi dan sains sebagai kebijakan agar dapat memberikan manfaat luas bagi masyarakat, tampak masih ada kesenjangan pada komunikasi sains.
Seyogyanya para pakar memiliki lebih banyak kesempatan berinteraksi dan berkomunikasi dengan masyarakat. Ini penting agar seluruh lapisan masyarakat menjadi tercerahkan dan tidak terjadi kesalahpahaman setiap ada informasi potensi bencana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar