Nilai ekonomi tuna yang tinggi menyebabkan setiap negara berlomba memanfaatkan. Rekor dunia untuk harga satu ekor tuna adalah 155,4 juta yen atau sekitar Rp24 miliar yang tercatat atas satu ekor tuna sirip biru selatan (Thunnus maccoyii) seberat 222 kilogram saat pelelangan awal tahun di pasar ikan Tsukiji, Jepang, 5 Januari 2013 (World Record Academy: 2013). Per kilogramnya mencapai Rp 108 juta!
Nilai ekonomi tuna dipengaruhi setidaknya dua faktor: Pertama, citra tuna sebagai ikan dengan kandungan nutrisi sangat tinggi seperti protein, omega-3 dan DHA. Kedua, tuna dianggap makanan premium karena praktek penangkapannya relatif sulit dan pengembangan budidayanya belum optimal. Keberhasilan operasi penangkapan sangat ditentukan oleh keterampilan mengenali pola tingkah laku ikan tuna terkait kebiasaan makan, suhu dan arus air, hingga musim kawin.
Ikan tuna merupakan jenis ikan yang berdaya jelajah jauh (highly migratory species) dan melintasi batas-batas negara sehingga banyak yang berkepentingan. Perburuan massal terhadap tuna menimbulkan kekhawatiran terhadap kelestariannya. Oleh karena itu dibentuklah organisasi-organisasi pengelolaan perikanan regional lintas negara atau Regional Fisheries Management Organization (RFMO) seperti Indian Ocean Tuna Commission (IOTC), The Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC), The Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT), The International Commission for the Conservation of Atlantic Tunas (ICCAT) dan lain-lain. Perkembangan RFMO tersebut cukup efektif dalam mengendalikan penangkapan ikan tuna yang berlebih.
Pelestarian tuna
Banyak negara menyadari perlunya pelestarian tuna sehingga mengadopsi prinsip-prinsip pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. Di sisi lain peningkatan kesadaran tersebut justru memunculkan peluang bisnis baru yaitu bisnis sertifikasi ramah lingkungan atau ekolabel. Skema ekolabel berkembang sebagai mekanisme pasar yang mengatur rantai nilai suatu produksi ramah lingkungan dari hulu ke hilir dengan insentif harga premium bagi produsen yang memproduksinya.
Sistem sertifikasi tersebut umumnya diinisiasi oleh organisasi non pemerintah (NGO) internasional yang menggandeng jaringan ritel global untuk membangun mekanisme pasar bagi produk tuna bersertifikat. Hanya produk yang telah disertifikasi dapat masuk ke jaringan retail global tersebut. Pola ini menjadi tren pasar perikanan dunia. Dilihat dari sisi perdagangan khususnya negara berkembang, hal tersebut menjadi hambatan karena penerapannya sepihak oleh jaringan ritel global. Meskipun bisnis sertifikasi ekolabel bersifat sukarela namun karena menjadi persyaratan wajib jaringan retail global, akhirnya jadi ketentuan penghambat.
Kompas/Putu Fajar Arcana
Ikan tuna terbaik dunia dilelang di pasar ikan Tsukiji Tokyo setiap dinihari. Sushi segar yang disajikan warung-warung kecil ini seharga 3.850 yen atau sekitar Rp 462.000. Di restoran besar di Tokyo harga sushi terbaik bisa mencapai Rp 1.000.000 per porsi.
Negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan anggota Uni Eropa umumnya telah memberlakukan ketentuan ketat terhadap produk perikanan yang masuk ke negara mereka baik dari sisi bebas praktik penangkapan yang ilegal dan destruktif (IUUF) maupun sisi keselamatan konsumsi. Persyaratan memasuki pasar menjadi berlapis dengan penerapan ekolabel sepihak.
Organisasi Pangan Dunia (FAO) telah menerbitkan rambu untuk ekolabel perikanan yaitu FAO Guidelines on Ecolabelling of Marine Capture Fisheries tahun 2005 (direvisi tahun 2009 dan 2011).
Namun, belum ada ketentuan yang mengikat untuk pengaturan bisnisnya. Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang bersifat mengikat anggotanya juga belum mengatur tentang bisnis sertifikasi swasta ini atau private labelling. Akibatnya, bisnis sertifikasi ekolabel perikanan semakin menguat dan berpeluang membangun sistem kartel baru.
Terungkapnya praktik perbudakan dan IUUF yang dilakukan oleh PT Pusaka Benjina Resources yang beroperasi di Benjina, Maluku Utara beberapa waktu lalu benar-benar menyentakkan perhatian internasional. Perusahaan tersebut ternyata terafiliasi dengan perusahaan pengolahan tuna terbesar di dunia yaitu Thai Union Frozen Food (TUFF). Perusahaan asal Thailand ini memasok ikan hingga masuk pasar retail di Amerika Serikat seperti Kroger, Walmart, Safeway hingga jasa distribusi makanan Sysco. TUFF merupakan pemegang berbagai merk produk konsumsi global seperti Chicken of The Sea, Bumble Bee, John West dan lain-lain. Artinya produk TUUF melenggang bebas di pasar Amerika Serikat dan bersertifikat ekolabel perikanan.
Jadi, bagaimana sebenarnya kesahihan skema ekolabel perikanan?
Ikan tuna merupakan jenis ikan yang berdaya jelajah jauh (highly migratory species) dan melintasi batas-batas negara sehingga banyak yang berkepentingan. Perburuan massal terhadap tuna menimbulkan kekhawatiran terhadap kelestariannya.
Kerja sama kawasan
Indonesia perlu mendorong inisiatif kerja sama di kawasan untuk mencegah kejadian terulang. Sejak tahun 2012, Indonesia telah mengajukan inisiatif konsep ASEAN Tuna Ecolabelling (Atel) dalam level pembahasan tingkat teknis kelompok kerja tuna atau ASEAN Tuna Working Group (Atweg). Atelmerupakan inisiatif sertifikasi tuna ramah lingkungan.
Asia Tenggara merupakan produsen utama tuna dunia dengan produksi 26,2% dari produk tuna dunia atau 1,7 juta ton (FAO: 2013). ATEL muncul atas kesadaran bahwa diperlukan kerjasama lintas negara di Asia Tenggara dalam menanggulangi praktik IUUF dan keberpihakan pada masyarakat nelayan dan pekerja di atas kapal (ABK).
Diharapkan melalui Atel seluruh produk tuna intra ASEAN merupakan produk yang ditangkap secara ramah lingkungan, berkelanjutan, bebas dari penyalahgunaan tenaga kerja, dan keadilan bagi nelayan. Lembaga yang menilai aspek-aspek tersebut adalah lembaga independen terakreditasi. Pelaku usaha yang ingin mendapatkan sertifikasi Atel akan diotorisasi oleh wakil resmi negara ASEAN (Focal Point).
Indonesia harus terus memperjuangkan inisiatif Atel di level Menteri ASEAN agar dapat diadopsi menjadi best practices yang bersifat mandatory.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar