HANDINING

Politik Uang

Siapa sebenarnya yang mula-mula memperkenalkan idiom mahar politik? Kalau saja benar, idiom ini pertama kali diperkenalkan media, kita menemukan satu kreasi penting dalam "permainan" makna. Pada titik ini media tak sekadar mewartakan segala kesibukan pilkada serentak, tetapi dengan sengaja telah mendorong apa yang bisa kita sebut sebagai upaya "pelembutan semantik" atas frasa ongkos politik dan politik uang; suatu model eufimisme dengan meminjam vokabuler keagamaan.

Ada beberapa penjelasan penting berkaitan dengan upaya "pelembutan semantik" ini. Pertama, dengan meminjam kosakata Islam, terkait kewajiban syariat mempelai pria memberikan materi bernilai sakral kepada mempelai wanita dalam ijab kabul, media sesungguhnya sedang mempromosikan tirakat pemilihan pemimpin yang lebih transendental-imanen melalui terjemahan pinjam (loan translation) atas al-mahr. Pada terjemahan pinjam ini, ada dua konsekuensi pemuatan makna secara bolak-balik, yaitu desakralisasi atas al-mahr dalam fikih pernikahan (ke) dalam urusan keduniawian dan sakralisasi urusan serah terima uang "syubhat" dalam politik yang profan-mondial itu menjadi urusan yang "halal".

Kedua, media sedang menawarkan "jalan tengah" untuk mendamaikan ketegangan perdebatan antara apakah uang (atau fasilitas material lain) yang disepakati calon dan partai pengusung itu adalah ongkos politik atau politik uang? Dengan menggunakan sebutan mahar politik sebagai idiom jalan tengah, media sedang mengafirmasi calon kepala daerah dan partai pengusung agar mempromosikan praktik baik, transparansi, dan akuntabilitas pengelolaan dana agar tak terjebak praktik kotor politik uang.

Pada aras ini, jika kita membuat "garis kontinum" yang merentangkan ekstrem ongkos politik di satu ujung dan politik uang di ujung lain, tawaran jalan tengah media menggunakan mahar politik adalah semacam sublimasi atas ongkos politik yang "syubhat" itu jadi tindakan pembiayaan politik yang terang benderang dan sekaligus "perlawanan kata" atas tabiat politik yang menggunakan uang "haram" dalam menyukseskan pemimpin.

Politik uang dan kualitas pemimpin

Ketiga, ini paling menarik, penggunaan idiom mahar politik untuk menggambarkan segala peristiwa serah terima uang "di bawah tangan" yang tampak ke permukaan seperti angin, terasa tapi tak dilihat, media sesungguhnya sedang menyindir elite politik yang lihai membungkus kebenaran di balik fitur semantik ongkos politik dan politik uang.

Keempat, kalau bukan upaya pelembutan semantik; bukan tawaran jalan tengah atas ketegangan semantik antara ongkos politik dan politik uang; dan bukan pula sindiran kepada elite agar mau jujur, penggunaan idiom mahar politik adalah upaya media membuka "kotak pandora" dan menunjukkannya kepada publik bahwa permainan uang "syubhat"—bahkan "haram"—dalam memilih pemimpin itu memang nyata adanya, senyata al-mahr dalam akad nikah.

Lepas dari empat kemungkinan penjelasan atas pilihan media dalam mencandra perilaku transaksional dalam pilkada serentak, tampilan kata dan tindak tutur elite politik ternyata tidak saja mencerminkan kualitas pemilihan pemimpin. Seperti kata Alessandro Duranti, profesor antropolinguistik Universitas California, Los Angeles, language does not simply reflect the world, it also shapes it, fashions it (bahasa tak hanya memantulkan dunia, tetapi membentuknya, menciptakannya). Mahar politik yang diperkenalkan media dalam menggambarkan sepak terjang politik transaksional tidak hanya memantulkan, tetapi juga membentuk dan menciptakan dunia ke-pilkada-an yang telah terjerembab ke dalam "industri memilih pemimpin".