Krisis Venezuela yang terjadi sekarang ini merupakan akumulasi dari kesalahan-kesalahan pengelolaan keuangan negara dan kisruh politik dari beberapa pemerintahan sebelum Nicolas Maduro. Maduro dan Hugo Chavez tidak berhasil menyukseskan perekonomian negara itu.
Venezuela sebenarnya telah mengekspor minyak mentah sejak 1914, tetapi hasil ekspor tersebut hanya dinikmati oleh segelintir elite politik. Sebagian rakyatnya tetap miskin, tidak mendapat tetesan kesejahteraan dari minyak. Pada 1950-an, Venezuela termasuk lima negara terkaya per kapita, hanya dikalahkan oleh Amerika, Swiss, Selandia Baru, bahkan lebih kaya dari Australia dan Kanada.
Kekacauan ekonomi sudah berawal sejak 1970-an. Ketika itu, perekonomian Venezuela sangat baik. Pertumbuhan ekonomi 1958-1977 lebih dari 250 persen.
Di bawah pemerintahan Presiden Carlos Andres Perez (1974-1979), inflasi di Venezuela sangat rendah. Mata uang bolivar pun kuat. Perez lalu menasionalisasi industri minyak Venezuela.
Pada akhir 1980-an, kejayaan Venezuela mulai pudar. Inflasi naik dari 7,2 persen pada 1987 menjadi 81 persen pada 1989. Perekonomian pun mulai terguncang.
Krisis ekonomi hampir selalu dibarengi dengan krisis politik. Kudeta terhadap Perez terjadi dua kali. Perez yang ketika itu baru hendak mereformasi ekonomi secara signifikan tiba-tiba tersingkir. Rencana perbaikan ekonominya tidak pernah terlaksana. Jika saja sempat dilaksanakan, bisa jadi kekacauan ekonomi Venezuela tidak akan separah ini.
Program subsidi
Hugo Chavez lalu terpilih menjadi presiden pada 1998. Dia menjanjikan akan membawa kesejahteraan bagi seluruh warga miskin. Ketika itu, harga minyak memang sedang naik. Chavez sangat terbantu oleh kenaikan pasar komoditas ini.
Dia membanjiri rakyat dengan berbagai program subsidi, seperti subsidi pangan, pembangunan infrastruktur, subsidi perumahan, dan kebijakan populis lainnya. Ketika itu, rakyat tentu saja senang. Ketimpangan dan kemiskinan jauh menurun. Situasi sosial menjadi lebih baik.
Akan tetapi, Chavez tampaknya lupa bahwa pasar komoditas tidak selamanya naik. Harga minyak kadang naik, kadang turun sesuai permintaan di pasar. Ketika harga minyak dan gas sedang naik, tampaknya anggaran Venezuela aman-aman saja, termasuk untuk program-program subsidi yang populis.
Namun, bukannya menjaga agar anggaran negara stabil antara belanja dan pendapatan, Chavez justru lebih senang belanja dan berutang.
Ketergantungan impor tidak dapat dibiayai lagi. Program subsidi tidak mudah dihapuskan karena secara politis tidak akan menguntungkan pemerintahan yang berkuasa. Sementara penghasilan negara menipis. Selaras dengan hukum ekonomi, ketika devisa menipis, nilai mata uang domestik pun terdevaluasi. Bahan makanan bersubdisi yang murah juga menyebabkan penyelundupan. Antara tahun 2005 dan 2006, utang luar negeri Venezuela naik pesat dari 25 miliar dollar AS menjadi 120 miliar dollar AS.
Warisan utang
Ketika Chavez meninggal pada 5 Maret 2013, dia pun meninggalkan warisan berupa belanja yang terlampau tinggi daripada penghasilan, bahkan ketika harga minyak berada di level 100 dollar AS per barrel.
Akibatnya, tidak lama kemudian, pada 2014 Venezuela masuk ke dalam resesi. Pada 2016, saat harga minyak internasional turun menjadi 35 dollar AS per barrel, Venezuela sungguh terkulai. Inflasi pun sudah mencapai 800 persen.
Penerusnya, Presiden Nicolas Maduro, meneruskan kebijakan tersebut walau perekonomian sudah semakin berat. Pada akhir 2014, harga minyak melorot. Perekonomian kemudian dibiayai dengan utang.
Antara 1998 dan 2017, produksi minyak turun hingga 66 persen. Padahal, sebelumnya pada 1998—sebelum Chavez menjadi preside—produksi minyak Venezuela mencapai 60 barrel per orang per tahun. Venezuela ketika itu sangat kaya. Adapun pada 2017, utang Venezuela mencapai 184,5 miliar dollar AS.
Dalam beberapa tahun terakhir, makanan dan obat sangat langka. Ketika inflasi semakin tinggi, demikian pula dengan kejahatan. Politik pun tidak stabil. Banyak tokoh oposisi dijebloskan ke penjara dan protes terus berlangsung. Sudah 170-an orang tewas karena serangkaian demonstrasi sepanjang 2017.
Situasi menjadi tambah buruk ketika AS menjatuhkan sanksi untuk Venezuela, di antaranya bank dan investor di AS tidak boleh bertransaksi dengan Venezuela. Aset Maduro pun dibekukan. Maduro dianggap sebagai diktator oleh AS.
Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan inflasi di Venezuela bisa mencapai 13.000 persen pada tahun ini. Tingkat pengangguran juga akan naik mencapai 30 persen pada 2018. Ekonomi pun masih akan terkontraksi 15 persen tahun ini.
Jika diakumulasikan sejak 2013, perekonomian sudah menciut 50 persen. Padahal, menurut data dari bank sentral, produk domestik bruto Venezuela naik 250 persen antara 1958 dan 1997.
Berlawanan dengan perekonomian Venezuela yang terus melorot, ekonomi di kawasan Amerika Selatan justru sedang membaik. Berdasarkan IMF, jika penurunan di Venezuela tidak dihitung, kawasan Amerika Selatan tumbuh 2,5 persen. Jika Venezuela dihitung hanya tumbuh 1,9 persen. Pertumbuhan tersebut ditopang oleh selesainya resesi di Brasil dan Argentina, juga pemulihan harga komoditas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar