Tentu tidak salah memiliki pola pikir itu karena menunjukkan kadar intelektualitas. Namun, kasus warganet Indonesia mengatakan bahwa banalitas itu adalah kunci. Tentunya pola pikir berlebihan lebih mempersoalkan masalah mendasar seperti halnya privasi, ideologi, dan harga diri yang menjadi konsumsi publik.
Sekarang orang merasa perlu tahu masalah orang lain melalui linimasa akun media sosial karena didorong rasa ingin tahu yang mengarah pada kompetisi hidup. Selain itu, orang juga didorong untuk bersimpati dan berempati terhadap masalah sehari-hari melalui media sosial. Kedua hal itu yang membawa warganet kemudian berusaha menautkan masalah pribadi, orang lain, dan publik dalam pertalian perspektif egosentris. Pada akhirnya kita melihat sekarang ini orang lain menjadi ahli tafsir sahih yang bisa membaca orang lain dan masalah sekelilingnya.
Secara politis, kondisi itu kemudian mendorong pada era kebenaran disruptif, yakni munculnya berbagai macam kebenaran yang belum tentu benar. Kelas menengah kemudian tak lagi adil dalam pikiran ketika menilai sesuatu di ranah digital, tetapi menjadi kerdil dalam pikiran. Media sosial memang menjadikan pemikiran kelas menengah minimalis dan reduksionis sehingga menilai sesuatu hanya sekilas saja.
Dengan kata lain, media sosial telah menanamkan pada kita suatu nilai yang jadi perspektif dalam mengakses media sosial sehingga pola pikir warganet menjadi beraneka ragam. Nilai itu berbeda satu sama lain yang kemudian menuntun pada terbentuk koalisi atau oposisi digital. Munculnya istilah "cebonger" versus "kampret" merupakan bentuk kekinian kedua hal tersebut yang kemudian secara mudah bisa diidentifikasi, baik dari posting-an status maupun komentarnya, memiliki tendensi ke pihak tertentu. Masalahnya, yang muncul dalam kasus warganet Indonesia hari ini adalah hal itu langsung merujuk pada labelisasi sosial yang berujung pada rivalitas digital laten maupun manifes.
Media sosial yang mencampuri urusan politik menjadikan konsumsi identitas diri menjadi bahan eksploitasi dan eksplorasi diri, sedangkan politik yang mencampuri media sosial menjadikan urusan sosialisasi menjadi urusan agitasi. Kedua hal itu kemudian menciptakan politik media sosial di Indonesia menjadi sedemikian pelik. Terlebih lagi hal itu menjadi nyata dan jelas ketika masa kampanye pemilu, masalah pemenuhan kebutuhan hak mendasar, dan masalah komunikasi.
Ketiganya sering kali memperlihatkan karakter mendasar perilaku warganet Indonesia yang masih emosional, reaktif, dan komunal. Namun, hal yang ingin ditekankan di sini adalah pola pikir warganet Indonesia secara tidak langsung mengarah pada rivalitas antar- sesamanya. Kondisi inilah yang menjadikan setiap kali melihat linimasa di setiap akun media sosial layaknya medan pujian yang disambut hujatan dan cacian pada saat bersamaan.
Hal ini dikarenakan ekspresi individu yang terakomodasi dalam media sosial. Namun, kebebasan yang sedemikian besar tersebut justru menjadikan kita tidak bertanggung jawab. Setiap memperbarui linimasa senantiasa memperlihatkan banyak orang tak berpikir dua kali ketika membuat pernyataan, entah itu faktual ataukah rekayasa, tanpa ditelaah terlebih dulu.
Utopia dan paranoid
Media sosial memang memungkinkan ekspresi individu menjadi konsumsi publik sehingga mendorong pada aksi narsis dan eksis di ranah dunia maya. Berbagai macam informasi pribadi dan masalah orang lain menjadi isu publik, menjadi viral dengan mudah. Alih-alih berbagai macam informasi itu mendorong pola pikir kritis, justru yang berkembang pola pikir satir. Masyarakat sedari awal sudah tidak adil dalam pikiran karena mereka telah terkonstruksi berbagai macam isu viral di media sosial. Mereka merasa perlu hadir karena dipengaruhi persepsi ancaman dan ketakutan yang artifisial.
Kondisi itulah yang menyebabkan segregasi publik karena media sosial kian membesar di ruang publik. Hal itu pula yang menjadikan pola pikir warganet sekarang ini jadi kompleks yang mengarah pada utopia dan paranoid dalam waktu bersamaan. Kita menjadi orang yang ideal sekaligus menjadi orang radikal dalam waktu bersamaan karena pola pikir media sosial menuntun kita pada hal-hal yang menjadi preferensi informasi sehari-hari.
Utopia dan paranoid dalam ranah media sosial memang berawal dari individu yang membesar jadi masalah publik. Akarnya jelas: masalah individu yang jadi isu viral itu mampu mengikat semua orang untuk merasa perlu hadir dan terlibat dalam setiap masalah yang ada.
Utopia itu muncul karena adanya idealisme sempit yang berbasis pada masalah personal. Hal itulah yang mendorong individu/kelompok menjadi keras dan radikal karena utopia. Munculnya isu, sentimen, juga desas-desus merupakan bentuk dari sikap paranoid digital di media sosial. Paranoid itu muncul karena bentuk perilaku saing-bersaing, pamer-memamerkan diri, dan hujat-menghujat dalam media sosial yang menuntun individu dan kelompok menjadi saling tersegregasi satu sama lain.
Hal yang perlu diperhatikan adalah sekarang ini individu dan kelompok begitu mudah menuliskan permasalahan di status akun media sosial masing-masing yang tujuannya adalah mencari sensasi dan apresiasi. Padahal belum tentu masalahnya adalah masalah publik. Oleh karena itu, sikap adil dalam dunia digital perlu dikedepankan oleh kalangan warganet Indonesia. Tujuannya jelas agar terhindar dari serangkaian pola pikir konspiratif dan imajinatif yang mendorong pada disintegrasi negara dan bangsa. Adil dalam digital juga bermakna agar kita senantiasa berpikir korektif dan verifikatif terhadap berbagai macam informasi yang bertebaran di media sosial agar bisa lebih mawas diri dan tak terikut arus pemikiran sempit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar