KOMPAS/TOTO SIHONO

.

Facebook, platform media sosial terpopuler sejagat, seperti tak pernah putus dirundung prahara. Skandal mobilisasi akun-akun Facebook palsu oleh Rusia untuk menyebarkan ribuan ujaran kebencian dan berita bohong dalam pilpres AS tahun 2016 masih dalam proses penyelidikan, kini muncul skandal tak kalah menggemparkan.

Seorang "peniup peluit" (whistle blower) bernama Christopher Wylie mengungkapkan, data pribadi lebih dari 50 juta pengguna Facebook diam-diam digunakan perusahaan bernama Cambridge Analytica untuk mendukung kampanye Donald Trump pada pilpres AS di 2016. Cambridge Analytica mengolah data itu untuk memprediksi kecenderungan politik para pemilih dalam pilpres AS, untuk kemudian menjadikan mereka sasaran iklan politik yang sesuai.

Kegeraman dan kepanikan pun terjadi di mana-mana. Tak hanya Pemerintah AS yang kelabakan, tetapi juga Pemerintah Inggris, Uni Eropa, Israel, India, dan lain-lain. Muncul kekhawatiran praktik penyalahgunaan data pengguna medsos untuk memobilisasi opini publik juga terjadi di negara lain. Keluarnya Inggris dari UE diperkirakan juga tak terlepas dari kejahatan itu. Untuk Indonesia yang sedang menyongsong tahun politik dan sedang didera histeria hoaks, kejahatan itu jelas sangat relevan dan kontekstual.

Dalam buku Marx in Age of Digital Capitalism (2016), Vincent Mosco menjelaskan, mediamedia baru, seperti medsos, mesin pencari, dan e-commerce telah menciptakan ekosistem baru yang sangat rawan manipulasi dan kejahatan. Kerawanan setidaknya disebabkan empat hal: 1) ketidaktahuan pengguna internet akan risiko-risiko keaktifan mereka di ranah digital; 2) kemampuan perusahaan media digital mengakses privasi penggunanya nyaris tanpa batas; 3) ketidakmampuan atau ketidakmauan perusahaan media digital menjamin keamanan data penggunanya; 4) belum adanya pranata hukum untuk menangani berbagai manipulasi, penyelewengan dan kejahatan pada aras itu. Dalam konteks ini, menjadi jelas bahwa yang kita hadapi terkait dengan medsos bukan hanya ujaran kebencian dan hoaks, melainkan juga campur tangan dan pengendalian atas kehidupan pribadi pengguna medsos.

Infiltrasi ranah personal

Para pengguna medsos umumnya tak menyadari  campur tangan dan pengendalian itu. Mereka terus-menerus mengumbar data pribadi, aktivitas, sikap politik dan orientasi ideologis di medsos. Kata sosial dalam media sosial begitu hegemonik sehingga masyarakat umumnya mengira medsos murni ruang diskusi dan interaksi sosial. Mereka tak   sadar medsos juga instrumen pengawasan dan pengendalian yang sistemik dan eksesif oleh perusahaan-perusahaan media digital. Dalam kaitan inilah, pada 2015, Shoshanna Zuboff mengenalkan konsep surveillance capitalism.

Jenis kapitalisme yang senantiasa mengawasi dan merekam aktivitas pengguna internet untuk menghasilkan data perilaku (behavioral data) yang akan digunakan untuk menunjang kepentingan bisnis perusahaan media digital. Melalui penghitungan algoritma dan penerapan kecerdasan artifisial, perusahaan medsos, e-commerce, atau mesin pencari mengolah data perilaku pengguna untuk menghasilkan prediksi pola konsumsi, keputusan, dan interaksi sosial mereka.

Data perilaku ini lalu bertransformasi menjadi surplus perilaku (behavioral surplus) ketika dikemas sedemikan rupa dan dijual kepada pelanggan perorangan, organisasi dan perusahaan yang akan membayar tarif layanan data sesuai permintaan. Surplus perilaku inilah instrumen utama bisnis perusahaan media digital. Pada tataran global, surplus perilaku itu secara oligopolis dikuasai sedikit perusahaan, seperti Google, Facebook, dan Amazon.

Lebih dari itu, yang juga terjadi menurut Mosco adalah infiltrasi atas ranah personal pengguna internet. Google diam-diam dapat membaca surat elektronik pengguna layanan Gmail untuk menentukan iklan apa yang tepat untuk dikirimkan ke pengguna.

Facebook dapat memanipulasi lini masa penggunanya untuk mendongkrak jumlah waktu yang dihabiskan setiap orang untuk berselancar di medsos. Data durasi penggunaan medsos ini  kemudian digunakan untuk menarik minat pengiklan. Facebook juga dapat memasok iklan-iklan daftar impian (bucket list) kepada penggunanya karena Facebook telah memetakan terlebih dahulu masalah dan kebutuhan mereka.

Eksploitasi data pengguna internet juga lazim terjadi pada ranah politik. Tahun 2012, Amazon menyediakan layanan berbasis analisis big data untuk tim kampanye Barack Obama. Keberhasilan Amazon mengidentifikasi dan mengarahkan pemilih AS pada Obama mirip kemampuan Amazon menggiring pengguna internet ke arah iklan digital tertentu. Keberhasilan itu dianggap sebagai salah satu penyebab kesuksesan Obama terpilih sebagai presiden untuk kedua kali.

Berkat keberhasilan ini, Amazon dapat imbalan kontrak 600 juta dollar AS guna menyediakan layanan cloud dan big datauntuk CIA. Menurut Mosco, Amazon bukan hanya sukses mendominasi bisnis media digital, melainkan juga mendemonstrasikan tendensi usang kapitalisme: kemampuan menggunakan akses politik demi keuntungan ekonomi.

Peretasan privasi pengguna internet secara terus-menerus dan pengawasan atas pengguna internet yang kian menyeluruh merupakan elemen penting dari model bisnis yang dikembangkan perusahaan media digital seperti Facebook dan Google. Mereka memaksimalkan pengolahan dan penggunaan data pengguna internet yang tersimpan dalam server raksasa mereka, lalu mengemas dan menawarkan data itu kepada klien bisnis dan politik yang akan membayar layanan data sesuai dengan permintaan.

Pertanggungjawaban

Pertanyaannya, bagaimana etika penggunaan data pribadi pengguna internet secara sepihak oleh perusahaan media digital? Apakah perusahaan media digital pernah meminta izin menggunakan data itu? Atas dasar apa perusahaan media digital merasa berhak  memonetisasi data pribadi pengguna? Apakah ini bukan manipulasi atau penyalahgunaan?

Dalam konteks inilah permintaan maaf bos Facebook, Mark Zuckerberg, ke publik AS atas skandal Cambridge Analytica menarik dicermati. Di satu sisi, dia menyatakan tak seharusnya data pribadi pengguna Facebook digunakan secara sepihak.

Namun, bukankah selama ini model bisnis perusahaan medsos memang berdasarkan pada pemanfaatan sepihak data pengguna? Di satu sisi, dia mengakui adanya kesalahan dan meminta maaf, tetapi di sisi lain dia secara implisit menyatakan kesalahan bukan pada Facebook, melainkan Cambridge Analytica.

Ketiadaan hukum yang mengatur keamanan data pengguna internet memberi efek impunitas bagi perusahaan media digital. Impunitas juga tecermin dari bagaimana peretasan data pengguna internet diselesaikan. Kasus peretasan 10 lembaga keuangan di AS yang berdampak pada keselamatan data 83 juta pelanggan layanan cloud September 2014, menurut Mosco, menunjukkan Pemerintah AS dan perusahaan media digital hanya fokus menangani peretasan sebagai murni tindakan kriminal pelanggaran privasi dan peretasan. Padahal, ada dua perkara di sini. Pertama, ketakmampuan perusahaan media digital melindungi data pelaku pengguna internet yang mereka kelola. Kedua, tindakan peretasan oleh individu atau kelompok.

Namun, yang dianggap tindakan kriminal perkara kedua saja. Padahal, secara kausalitas, masalah kedua tak akan terjadi jika masalah pertama tak terjadi. Masalah pertama semestinya juga kesalahan yang mengandung konsekuensi bagi yang bertanggung jawab atasnya. Perusahaan media digital merekam data perilaku pengguna internet dan memanfaatkan tanpa izin untuk keuntungan ekonomi atau politik.

Perusahaan tak merasa perlu bertanggung jawab meski pengguna internet dirugikan. Peretasan dianggap semata-mata tanggung jawab peretas. Impunitas perusahaan media digital dalam kasus ini paralel dengan impunitas perusahaan medsos dalam kasus persebaran hoaks.