Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 23 April 2018

Teror Penagih Utang Bank//JKN 2019 yang Menggoda (Surat Pembaca Kompas)


Teror Penagih Utang Bank

Pada 13 Maret 2018 pukul 06.50, saya didatangi penagih utang sebanyak empat orang yang mengaku dari Bank Mega. Dua orang mengaku bernama masing-masing Zulkifli dan Ramsi; dua orang lain tak menyebutkan nama. Mereka mencari orang bernama Steven Darmadi dan Irwanto yang beralamat di rumah saya.

Pada saat menagih dan mencari nama-nama tersebut, mereka memaki dan mengeluarkan kata-kata kasar—bajingan, kurang ajar—dan mendorong badan saya. Mereka mengatakan saya harus membayar tunggakan kartu kredit atas nama-nama tersebut yang sama sekali tidak saya kenal dan ketahui.

Surat tugas mereka tidak boleh saya lihat. Mereka pun tak mau memperlihatkan KTP mereka.
Pada pukul 10.00, Ramsi dan kawan-kawan datang kembali ke rumah saya sambil berteriak-teriak dan marah-marah. Lalu saya dan mereka sama-sama datang ke polsek. Di polsek, mereka tidak berani mengeluarkan KTP kepada petugas, sedangkan data diri saya berikan kepada polsek. Polsek pun mengatakan bahwa nama yang dicari tidak sama dengan nama saya, tetapi para penagih utang itu tetap menuduh dan mengatakan bahwa orang yang dicari adalah saya.

Atas kejadian ini, saya merasa dirugikan dengan perbuatan tak menyenangkan dan pencemaran nama baik. Hal ini pun sudah saya laporkan kepada kepolisian daerah pada 20 Maret 2018.

Kurniawan Rozali, Jl Anggrek, Karet Kuningan, Jakarta Selatan

JKN 2019 yang Menggoda

Kompas, 1 Februari, memberitakan bahwa 71 juta penduduk belum daftar Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)-Kartu Indonesia Sehat (KIS). Pejabat negara di kementerian dan BPJS cenderung mendorong agar mereka yang tersisa patuh daftar melalui sistem JKN.

Siapa dan mengapa belum mendaftar? Bukankah dalam empat tahun pertama JKN pendaftaran lancar sampai 80 persen penduduk? Apakah solusi "benahi sistem JKN" dapat mendaftar 71 juta penduduk jelang 2019?

Mohon pejabat negara dan BPJS mempertimbangkan kembali data berikut. Ada tiga kelompok dari 71 juta penduduk yang belum daftar JKN {diolah dari Badan Pusat Statistik (BPS), 2017}.

Pertama, dari 43,83 juta buruh/karyawan, baru 14 juta yang didaftarkan majikannya sebagai peserta JKN-KIS. Lebih dari 25 juta buruh (di luar keluarganya) belum didaftarkan perusahaan. Perlu didalami mengapa sebanyak itu majikan belum mendaftar. Apakah majikan bisa patuh daftar JKN melalui pende- katan para pejabat berlandaskan regulasi sekarang, seperti diungkap pejabat dalam berita Kompas itu?

Kedua, yang belum daftar lain adalah pekerja bukan pene- rima upah (PBPU), seperti usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), self employed. Dari 43,85 juta PBPU, menurut laporan BPS, umumnya berpenghasilan setara upah minimum, sedangkan yang berpenghasilan di atas Rp 5 juta per bulan sebanyak 5,7 juta PBPU.

Dengan demikian, tantangan BPJS Kesehatan mendaftar PBPU di samping lemahnya kemampuan bayar iuran juga akibat perpres JKN yang membuka peluang mendaftar kapan saja, termasuk saat sakit parah, dan boleh pilih kelas rawat yang bagi JKN biaya "lebih mahal". Keadaan ini menimbulkan defisit 2017 mencapai Rp 9 triliun. Peserta JKN 2017 dari PBPU baru mencapai 24 juta (termasuk keluarganya) dari total PBPU di atas.

Kelompok ketiga di luar tersebut terdapat pekerja keluarga tak berbayar.

Melalui surat pembaca ini, kami mengimbau keberadaan "pemimpin" untuk menyelamatkan JKN-KIS dengan mematuhi Undang-Undang SJSN oleh presiden sampai seluruh rakyat sebagai wujud gotong royong. Dengan kata lain, regulasi yang belum pas dengan Undang-Undang SJSN diluruskan kembali.

Odang Muchtar, Bintaro, Jakarta Selatan


Kompas, 23 April 2018

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger