Segera setelah serangkaian aksi keji di Lapas Mako Brimob Depok (8/5/2018) dan serangkaian ledakan bom di Surabaya (13/5), Presiden Joko Widodo mengambil sikap tegas.
Sikap tegas ini diambil atas kelambanan proses legislasi revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme yang sudah di DPR pada Maret 2016.
Pilihan politik memperkuat hukum antiterorisme melalui jalur legislasi di DPR lebih tepat dibanding harus mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).
Gagasan yang diusung dalam revisi UU Antiterorisme bukanlah satu-satunya obat mujarab yang bisa menghentikan aksi-aksi terorisme sehingga setiap ada aksi teror, aspirasi percepatan pembahasan RUU selalu menguat. Namun, dapat dipahami, karena memang UU No 15/2003 yang sebelumnya Perppu No 1/2002, sesungguhnya tidaklah memadai untuk memberantas terorisme dari hulu hingga hilir.
Fokus UU No 15/2003 adalah penindakan saat kejahatan telah terjadi; sedangkan terhadap gejala permulaan yang belum mewujud dalam suatu kejadian, tak dapat dijangkau oleh UU tersebut. Dasar hukum untuk menjalankan langkah antisipatif itulah yang sudah cukup lama dinanti oleh Polri dan institusi keamanan lainnya.
Memperluas kewenangan
Revisi UU Antiterorisme mengusung gagasan preventive justice yang berfokus pada penguatan kewenangan negara, melalui aparat penegak hukum melakukan langkah-langkah antisipatif. Preventive justice secara umum diartikan sebagai suatu sistem dan tindakan yang diambil pemerintah dalam rangka mencegah terjadinya kejahatan-kejahatan dengan sejumlah tindakan pembatasan (yang kemungkinan) juga berpotensi melanggar hak asasi manusia (HAM).
Doktrin inilah yang menjadi pembenar tindakan preventif kepolisian dalam menangani terorisme, termasuk pilihan penindakan dengan melakukan tembakan mati meski dikritik oleh banyak kalangan.
Deteksi dan pencegahan dini atau preemptive act,yang selama ini menjadi area yang tidak bisa disentuh oleh UU No 15/2003 menjadi salah satu fokus utama revisi. Disadari, kelemahan sistem hukum pidana adalah kriminalisasi baru bisa dilakukan apabila perbuatan sudah terjadi. Aparat penegak hukum baru bertindak apabila sudah terjadi suatu perbuatan. Doktrin ini jelas tidak sepenuhnya relevan dalam konteks kejahatan terorisme.
Satu pendekatan baru yang dianjurkan ialah enhanced criminal justice system. Beberapa negara seperti Inggris atau Australia telah mengadopsi pendekatan preventive justice atau keadilan preventif. Salah satu bentuknya yang kontroversial adalah pre trial detention atau penangkapan pra proses pengadilan, di mana aparat keamanan diberi kewenangan untuk menahan seseorang terduga teroris dalam kurun waktu tertentu yang berpotensi melakukan kekerasan sekaligus melakukan penyelidikan terhadap jaringannya, tanpa harus diproses hukum ke pengadilan.
Dengan kewenangan pre trial detention, aparat keamanan diberikan keleluasaan untuk menahan seseorang dalam kurun waktu tertentu untuk melakukan penyelidikan mendalam dan mengungkap jaringan kelompok teror yang sedang bekerja. Namun, meski bentuknya pre trial detention, seorang yang dinyatakan terduga teroris harus memperoleh akses bantuan hukum dan didampingi pengacara, tak mengalami penyiksaan, dan dapat kompensasi apabila selama kurun waktu tertentu itu tak diperoleh bukti-bukti yang cukup. Kerja aparat keamanan dalam masa pre trial detention itu juga biasanya mendapat pengawasan ketat dari komisi independen yang dibentuk untuk itu.
Kewenangan lain yang juga berlaku dalam konsep preventive justice adalah post release monitoring atau pengawasan terpidana kasus terorisme yang menjalani bebas bersyarat atau sudah selesai masa hukumannya sebagai bagian dari deradikalisasi.
Mereka tetap mendapatkan pengawasan dan ikut dalam sejumlah program yang disusun aparat keamanan dalam kurun waktu tertentu. Karena ada kekhawatiran, selama mereka masih berkecimpung di lingkungan yang sama, akan besar kemungkinan bergabung kembali. Terorisme jelas bukan kejahatan biasa dan penanganannya tidak cukup dengan prosedur biasa. Itu sebabnya, mengapa model pendekatannya adalah enhanced criminal justice system atau sistem hukum pidana yang diperluas.
Dengan segenap kewenangan baru itu, kerja antisipatif akan lebih efektif dijalankan oleh Polri dan aparat keamanan lainnya. Namun, adopsi konsep preventive justice ini juga rentan penyimpangan dan berpotensi melanggar HAM. Inilah salah satu tantangan implementasi kewenangan baru Polri sebagaimana tertuang dalam naskah RUU. Sayangnya, RUU ini belum mengatur ihwal pengawasan independen terhadap kinerja pemberantasan terorisme. Tetapi, sepanjang kewenangan-kewenangan baru Polri itu dalam kerangka rule of law, mekanisme pengawasan atas kinerja penindakan terorisme tetap masih terbuka melalui jalur pengawasan internal maupun eksternal melalui praperadilan.
Mengatur hulu-hilir
Selain menjadi dasar perluasan kewenangan Polri dan institusi keamanan lainnya, RUU Antiterorisme juga mengatur hulu-hilir dari terorisme. Pada hulu terorisme, gejala-gejala intoleransi yang mewujud dalam bentuk ujaran kebencian akan menjadi salah satu perhatian para penegak hukum. Ujaran kebencian telah teruji menjadi medium radikalisasi publik.
Tanpa dasar kewenangan yang kokoh, praktik-praktik ujaran kebencian sulit dipidanakan, sekalipun dalam KUHP dan UU ITE delik-delik semacam ini telah diatur, tetapi penggunaannya terhadap jejaring terorisme belum optimal dilakukan
Pada aspek hilir, RUU Antiterorisme juga mengatur perihal deradikalisasi dan pemulihan hak-hak korban kejahatan terorisme. Deradikalisasi yang selama ini dijalankan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) akan lebih memiliki pola dan dukungan kelembagaan yang lebih kuat jika RUU Antiterorisme ini disahkan. Demikian juga dengan hak-hak korban yang menjadi bagian tak terpisah dari tanggung jawab negara memenuhi keadilan korban.
Hal lain yang masih menghambat pengesahan RUU Antiterorisme adalah definisi dan pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme. Tetapi pascakoordinasi lintas kementerian dan lintas partai, tampaknya pengesahan RUU bisa terjadi dalam waktu segera. Kita berharap pendefinisian ini bukanlah suatu langkah yang membatasi gerak pemberantasan terorisme dan mempersulit pembuktian.
Terkait pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme, kerangka perbantuan dalam operasi penegakan hukum yang dijalankan Polri adalah prinsip yang mesti dipatuhi. Tanpa pembatasan, pemberantasan terorisme akan keluar dari jalur proses yudisial, yang justru berpotensi melahirkan pelanggaran baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar