Beberapa waktu lalu,1-3 Mei 2018, pemerintah menyelenggarakan Kegiatan Konsultasi Tingkat Tinggi (KTT) Ulama dan Cendekiawan Muslim Dunia di Bogor. Kegiatan ini membahas sebuah topik yang sangat urgen dan kontekstual, yaitu Islam wasathiyah (Islam moderat), baik pada tataran konsepsi maupun tataran implementasi.
Kegiatan KTT tersebut menghasilkan komitmen para ulama dan cendekiawan dalam menjunjung tinggi paradigma Islam moderat dan mendorong negara-negara Muslim ataupun komunitas Islam aktif mempromosikan Islam moderat. Adapun nilai-nilai utama yang melandasi paradigma Islam moderat adalah pertama, posisi di jalur tengah dan lurus (tawassut). Kedua, berperilaku proporsional dan adil dengan tanggung jawab (i'tidal). Ketiga, mengakui dan menghormati perbedaan dalam semua aspek kehidupan (tasamuh). Keempat, bersandar pada konsultasi dan menyelesaikan masalah melalui musyawarah untuk mencapai konsensus (syura). Kelima, terlibat dalam tindakan yang reformatif dan konstruktif untuk kebaikan bersama (islah). Keenam, merintis inisiatif mulia dan memimpin untuk kesejahteraan manusia (qudwah). Ketujuh, mengakui negara-bangsa dan menghormati kewarganegaraan (muwathonah).
Dari nilai-nilai utama yang mengerangkai paradigma Islam moderat, lalu bagaimana cara mengimplementasikannya ke dalam kehidupan nyata? Setidaknya ada tiga wilayah yang perlu dijadikan sebagai tempat pengarusutamaan Islam moderat dengan melibatkan para pelaku utama dan berbagai elemen pendukungnya, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Pola asuh di keluarga
Keluarga merupakan institusi yang paling potensial untuk menyemaikan dan menyerbukkan berbagai bentuk karakter apa pun. Di dalamnya melibatkan aneka pola asuh yang dimainkan oleh pelaku utamanya, yaitu kedua orangtua untuk membangun tali kekerabatan dan persaudaraan yang kuat. Merujuk pemikiran William J Goode dalam buku Sosiologi Keluarga, dalam proses penyemaian karakter dan pola asuh tersebut, ada lima fungsi yang berlangsung dalam keluarga: biologis, psikologis, sosial, ekonomi, dan edukasi.
Dalam kaitan ini, kelima fungsi tersebut merupakan modalitas utama dalam keluarga untuk menciptakan sistem keteladanan dan kepatuhan yang bergerak secara hierarkis. Kedua orangtua jadi pemain kunci dalam menentukan pola asuh. Maka, ketika konsep Islam moderat ingin diarusutamakan ke level keluarga, pihak pertama yang perlu diberdayakan adalah kedua orangtua.
Islam moderat perlu diderivasikan sebagai konsep dasar pengasuhan yang menyasar bagi orangtua agar memiliki wawasan, ciri berpikir, dan cara pandang yang moderat dalam membimbing dan mendidik anak-anaknya. Selain itu, orangtua perlu dibimbing dan disegarkan kembali melalui pola-pola pengasuhan agar memahami kiat dan teknik menjalankan fungsi keluarganya dengan baik dan benar.
Bahkan, para pegiat Islam moderat perlu membuat modul tentang pola asuh keluarga yang maslahat dan mencerdaskan (parenting quotient) yang bisa diajarkan kepada para orangtua. Setidaknya, melalui modul parenting quotient yang berbasis pada konsep Islam moderat, orangtua bisa melakukan tiga aspek pengasuhan yang baik kepada anak-anaknya. Pertama, bagaimana melakukan respons secara tepat kepada anak-anak ketika pada masa tumbuh-kembangnya anak-anak menginginkan pengetahuan keagamaan yang terarah. Kedua, bagaimana melakukan monitor kepada anak-anaknya ketika berinteraksi dengan sistem sosial, pengetahuan, maupun norma budaya yang secara substantif menyimpang dari Islam moderat. Ketiga, bagaimana orangtua memosisikan diri sebagai sumber keteladanan atau pemodelan dalam memanifestasikan nilai-nilai Islam moderat.
Dari cara implementasi Islam moderat yang menyasar pada fungsi-fungsi keluarga dan pelibatan orangtua dalam pola pengasuhan yang mencerdaskan tersebut, keluarga akan memiliki sistem ketahanan diri yang bisa menangkal berbagai macam gerakan radikalisme dan terorisme. Sebab, radikalisme dan terorisme yang bergeliat saat ini mulai menggunakan keluarga sebagai "tumbal jihadis" dengan cara bom bunuh diri.
Pola asah di sekolah
Sekolah merupakan lembaga pengajaran yang berperan penting dalam menumbuhkan sistem pengetahuan yang komprehensif. Melalui kurikulum dan pembelajaran yang disampaikan secara berkala dan sistemik, masa depan siswa untuk menjadi manusia yang berilmu dan bisa mengamalkan ilmunya, bertumpu kepada pelaku utamanya, yaitu para guru.
Sebagai elemen penting yang bisa menggerakkan pola pembelajaran yang baik di sekolah, para guru berkewajiban mentransformasikan berbagai cara belajar, cara memahami, dan cara menyelesaikan persoalan akademik. Di antara konsep pembelajaran yang dilakukan adalah para siswa dilatih bernalar dalam mengamati, menganalisis, dan mencari solusi dari sekian persoalan dan permasalahan yang ada.
Dalam pembelajaran keagamaan, baik dalam kegiatan intra maupun ekstra, para guru perlu menjadikan konsep Islam wasathiyah sebagai kerangka metodologi dalam membangun sistem penalaran melalui dua aspek. Yaitu, pertama, membangun kepekaan agar para siswa bisa mengembangkan berpikir kritis dalam menganalisis dan mengamati lingkungan sosial. Kedua, cara membangkitkan daya imajinasi untuk membangun ide dan gagasan yang maslahah.
Kedua cara ini menjadi ruang diskursus dan praksis bagaimana tujuh nilai yang melandasi Islam moderat bisa diajarkan kepada para siswa. Melalui pendekatan dan materi yang bernapaskan Islam moderat, para siswa perlu diantarkan pada sistem pendidikan yang inklusif dan bisa menjadikan ilmunya sebagai instrumen untuk saling menghargai dan koeksistensi dalam keragaman.
Hal ini penting dilakukan agar sekolah bisa terbebas dari berbagai modus pembelajaran yang mengedepankan pada konten dan bacaan yang eksklusif, dikotomik, dan mengklaim kebenaran versinya sendiri. Sebab, bila mengacu pada penelitian yang sudah ada, saat ini banyak siswa mulai terjebak dalam radikalisme yang secara umum dipengaruhi oleh bacaan dan bahkan kurikulum yang diterapkan di beberapa sekolah (Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, 2017 dan Wahid Institut, 2017).
Pola asih di masyarakat
Masyarakat merupakan laboratorium sosial di mana segala macam interaksi, kohesi, dan pola asih terbangun di dalamnya. Setiap orang akan terjalin dalam ikatan saling berkelindan untuk membentuk dirinya sebagai makhluk sosialnya. Oleh karena itu, sejatinya masyarakat harus menjadi filter kultural yang bisa mengidentifikasi segala bentuk potensi dan tendensi gerak-gerik setiap orang.
Akan tetapi, seiring bermunculannya sekelompok orang yang mulai memisahkan dirinya dari sistem sosial kemasyarakatan, apalagi dalam proses alienasi dirinya menggunakan cara pandang—meminjam istilah Karl Popper—peyorasi, yaitu memosisikan diri sendiri sebagai pihak yang paling benar dan falsifikatif, yaitu memosisikan orang lain sebagai pihak yang salah dan keliru, maka dampaknya dalam masyarakat memunculkan sikap saling curiga, saling tuduh, bahkan kerentanan sosial.
Oleh karena itu, mencermati suasana keterkepungan mental masyarakat (besieged of social mentality) yang demikian, nilai-nilai Islam moderat perlu diterapkan melalui para kaum, rois, maupun tokoh agama setempat. Bahkan, struktur pemerintah di dalam masyarakat, yaitu RT, RW, kepala dusun, dan lain sebagainya, diberikan bekal pengetahuan Islam moderat yang memadai. Sebab, di dalam Islam moderat, pihak yang berkepentingan terlibat dalam sikap saling mengingatkan dan menghargai dalam membangun pola asih yang baik dan benar dalam masyarakat.
Setidaknya, bekal pengetahuan Islam moderat yang mereka miliki bisa jadi rujukan untuk memfilter pola indoktrinasi paham-paham radikal yang biasanya dilakukan di majelis pengajian, tempat peribadatan, dan lingkungan sekitar. Dengan cara ini, Islam moderat bisa membumi dalam kehidupan masyarakat. Melalui Islam moderat, pola asih bisa terbangun dengan baik dalam semangat keguyubannya serta berfungsi sebagai instrumen untuk menciptakan ketahanan sosial dan bermanfaat bagi tegaknya NKRI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar