ANTARA FOTO/PUSPA PERWITASARI

Aktivis Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) menggelar aksi kamisan ke-538 di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (17/5). Dalam aksinya, JSKK menilai setelah 20 tahun reformasi pemerintah gagal melaksanakan enam agenda reformasi, diantaranya penyelesaian pelanggaran HAM berat.

Isu penyelesaian kasus pelang- garan hak asasi manusia pada masa lalu terus menjadi beban bangsa yang hingga kini belum juga terselesaikan.

Keinginan dan niat pemerintah pada masa kampanye untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu masihlah menjadi pemanis untuk menarik suara aktivis hak asasi manusia. Kuat dalam retorika dan janji, tetapi amat miskin dalam realisasi.

Peringatan 20 tahun reformasi menjadi semacam penagih janji reformasi yang belum dibayar. Perubahan UUD 1945 sudah direalisasikan, penghapusan dwifungsi ABRI sudah dilakanakan, otonomi daerah sudah dipraktikkan, dan pemberantasan korupsi sudah diperangi, meski belum tuntas. Keran kebebasan berpendapat, kebebasan pers, dan kebebasan berorganisasi dibuka pada era Presiden BJ Habibie, meski ditunggangi dengan industri berita bohong.

Namun, tuntutan untuk mengungkap tuntas pelanggaran HAM masa lalu masih jauh dari harapan. Hampir tidak ada langkah berarti untuk pengungkapan pelanggaran hak asasi manusia masa lalu.

Bahkan, latar belakang peristiwa sosial-politik gerakan reformasi, penculikan aktivis, kerusuhan 13-14 Mei 1998 sering dikenal sebagai kerusuhan Trisakti dan Semanggi di Jakarta dan sekitarnya tetaplah menjadi sejarah abu-abu yang tak kunjung jelas.

Korban dan orangtua korban pelanggaran HAM tetaplah menjadi korban, sementara para terduga pelaku atau orang yang diduga harus bertanggung jawab atas sejumlah pelanggaran hak asasi manusia juga tidak terjamah. Bahkan, mereka bisa memanfaatkan panggung demokrasi untuk kembali ikut dalam kontestasi dan mengubah citra diri di mata rakyat.

Adalah kenyataan, sejumlah orang masih hilang dan tak diketahui keberadaannya. Dalam terminologi hak asasi manusia ini disebut sebagai continuing disappearance. Tidak diketahui apakah orang hilang itu meninggal atau masih hidup. Status keperdataannya menjadi tidak jelas.

Presiden Joko Widodo dalam dokumen Nawacita bisa saja menorehkan keinginannya untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia masa lalu. "Kami akan menghormati hak asasi manusia dan menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia masa lalu secara berkeadilan."

Namun, hingga 3,5 tahun pemerintahannya, Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden Jusuf Kalla belum bisa menuntaskan kasus pelanggaran hak asasi manusia masa lalu. Pelanggaran hak asasi manusia masih terjadi oleh sesama kelompok masyarakat.

Pelanggaran hak asasi manusia masa lalu tetaplah akan menjadi beban sejarah. Ia akan terus menggelayuti perjalanan masa depan bangsa. Indonesia tak seberuntung Afrika Selatan yang mempunyai tokoh negarawan seperti Nelson Mandela dan Uskup Desmond Tutu yang mampu membawa bangsanya berekonsiliasi dengan sejarah kelam Afrika Selatan saat politik apartheid diterapkan di sana. Sementara di Indonesia lebih banyak politisi yang memikirkan kursi kekuasaan, minus negarawan yang memikirkan kepentingan bangsa dan HAM.

Kompas, 23 Mei 2018