KOMPAS/AYU SULISTYOWATI

Seorang anak tengah melintas di pameran topeng barong, pada Festival Barong, di Bentara Budaya Bali, Jumat (30/3/2018). Festival ini diadakan sebagai upaya mendukung pelestarian budaya lokal yang tengah populer di kalangan anak muda Bali.

Mitos tentang keberadaan  barong di Bali dituturkan oleh lontar Barong Swari. Alkisah pada suatu masa, kehidupan di bumi mengalami petaka yang menyedihkan. Tanah mengering dan pepohonan layu bertumbangan. Binatang merintih kehausan dan kelaparan, mati satu per satu. Manusia saling bertikai dan terjerumus dalam perilaku barbar. Bencana kehidupan  di bumi ini membuat para dewata gundah. Dewa Tri Murti kemudian turun ke bumi untuk menyelamatkan segala peri kehidupan. Dewa Brahma turun menjadi Topeng Bang. Dewa Wisnu turun menjadi Topeng Telek. Adapun Dewa Iswara turun menjadi Barong. Para dewa ini membangkitkan rohani manusia dan menyemai kembali harmoni bumi dengan segala isinya.

Mitologi  barong tersebut dihayati secara religius dalam ritual ngelawang. Beragam jenis barong yang disakralkan oleh komunitasnya, saat hari-hari tertentu, terutama ketika wabah penyakit berjangkit, diusung menjelajah ruang yang dianggap membuat keonaran dengan tujuan menciptakan kesembuhan dan ketenteraman. Ritual ngelawang tersebut ditradisikan dalam perayaan Galungan-Kuningan karena salah satu sumber asal-usul digelarnya  hari raya umat Hindu di Bali itu juga dilandasi psiko-religi tolak bala yang dalam konteks ini berasal dari mitos Mayadanawa, seorang raja Bali nan durjana yang berhasil ditumpas oleh Dewa Indra.

Barong adalah benda sakral yang hingga kini dihormati begitu takzim oleh masyarakat Bali. Beragam bentuk barong itu pada umumnya  dikeramatkan di tempat suci dan hanya dihadirkan pada waktu,  tempat, dan acara terpilih. Dilihat dari segi bentuk umumnya menyerupai binatang berkaki empat dan ada pula yang berkaki dua seperti manusia. Barong Ket, Barong Lembu, Barong Macan, Barong Gajah, Barong Asu adalah jenis barong berkaki empat. Barong Landung dan Barong Brutuk   adalah jenis barong personifikasi manusia. Selain kedua jenis barong tersebut, di penjuru Bali terdapat pula barong dengan menggunakan topeng tokoh-tokoh utama cerita Ramayana, seperti Rama, Laksamana, Sugriwa, Hanoman, Sempati, Rahwana, Kumbakarna, dan Wibisana. Barong yang menggunakan karakter dari dramatari Wayang Wong ini disebut Barong Kedingkling, Nongnongkling, Blasblasan.

Barong Ket atau Barong Ketet adalah barong yang paling umum dikeramatkan oleh masyarakat Bali. Barong yang memiliki sorot mata mendelik tajam ini berpenampilan agung berwibawa. Secara visual, Barong Ket merupakan bentuk kombinasi dari singa, macan, atau lembu. Bulu-bulu putih barong ini dibuat dari praksok dan ada pula yang mempergunakan bulu-bulu unggas. Keseluruhan tubuhnya meriah dengan ornamen berukir, berprada kuning emas, dengan kemilau binar-binar kacanya. Secara mitologis, Barong  Ket diidentikkan dengan raja hutan alias banaspati raja yang umumnya dikeramatkan di Pura Dalem masing-masing desa.

Membawakan tari Barong Ket, selain harus memiliki keterampilan seni tari, juga mesti disangga oleh fisik prima dan tenaga ekstra. Penari utama, saat menari bersama pemain belakang, harus mengusung beban 15-20 kg berat barong yang terbuat dari kayu, bambu, kulit sapi, gelas, dan rumbai-rumbai. Dalam durasi 20-30 menit, duet sepasang penari Barong Ket harus menunjukkan koreografi dengan  kepala yang tertindih dan ruang napas yang sempit. Pesona sebuah tarian barong lebih menjadi tanggung jawab pemain bagian depan—kendati kerja sama dengan pemain belakang tak bisa diremehkan—yang disebut tukang atau juru bapang tersebut.

Moralitas barong

Transformasi budaya atau perubahan budaya merupakan realitas dan  kelaziman yang tak terelakkan. Perubahan sosial budaya yang signifikan pada masyarakat Bali salah satunya adalah sejak dikenalnya pulau ini sebagai tujuan wisata dunia. Barong yang sebelumnya sangat dikeramatkan menjadi seni tontonan untuk memenuhi keinginan para pelancong. Menurut Walter Spies dalam bukunya Dance and Drama in Bali (1938), tari Barong Ket telah disaksikan turis pada 1930-an di Desa Batubulan. Selanjutnya dengan kemasan seni pertunjukan berjudul Kunti Sraya yang berawal pada 1948 di Desa Singapadu, barong menjadi salah satu seni pentas yang umum disaksikan wisatawan hingga sekarang.

Jagat kepariwisataan mendorong Barong Ket bagaikan ikon Bali. Figur Barong Ket pun mencuat dan merambah  ke berbagai lini kehidupan profan sekuler. Pergeseran sosial budaya masyarakat Bali dari agraris tradisional ke industri pariwisata menjadikan wajah (tapel) atau bentuk keseluruhannya bernilai ekonomis. Barong imitasi sebagai benda pajangan atau suvenir diperjualbelikan dalam bentuk seni rupa, seperti lukisan dan patung. Derasnya kunjungan wisatawan mancanegara sejak 1970-an memunculkan baju kaus bergambar kepala Barong Ket yang hingga krisisnya kepariwisataan Bali sekarang ini masih tetap diproduksi. Kemashyuran figur Barong Ket juga didaulat menjadi nama hotel, restoran, hingga diguratkan sebagai gambar tato di bagian tubuh manusia. Demikianlah, Barong Ket yang memiliki binar komersial telah berkontribusi memberikan geliat dan manfaat praktis serta eksotis kepada masyarakat, bukan hanya Bali, melainkan juga dunia.

Kendati diumbar begitu masif sebagai ladang finansial, barong sebagai mitos, barong sebagai benda sakral, dan barong sebagai  seni tetap kokoh. Barong sebagai mitos masih laris dijadikan sumber berkesenian di kalangan kreator dan pelaku seni di Bali. Bidang seni pertunjukan tari atau dramatari seperti tak pernah jenuh mengeksplorasi mitos barong dijadikan bingkai lakon, baik seni pertunjukan yang kental tradisional maupun garapan pentas kreatif inovatif. Barong sebagai benda sakral justru semakin kuat dengan bukti semakin dirawatnya barong yang diwarisi, bahkan dibuatnya barong sakral yang sama sekali baru.  Adapun barong sebagai seni menunjukkan eksistensinya pada pementasan tari barong dalam ruang komunal, yaitu pertunjukan dramatari Calonarang, di tengah masyarakat Bali. Demikian pula pergelaran tari barong dalam forum kompetisi yang  belakangan ini sering diselenggarakan merupakan tradisionalisasi Barong Ket di tengah reduksi dari komersialisasi. Perspektif positivistik tampak berpendar menyangkut keberadaan barong, kini dan nanti.

Kini, moralitas yang perlu kita renungkan adalah pesan filosofis dari barong sebagai pengibar kebenaran, kebajikan, ketenteraman, dan kedamaian. Barong sebagai konkretisasi dari sebuah abstraksi mitos rupanya  tetap akan mengingatkan dan mengawal moralitas manusia (Bali) dalam peran dan tata pergaulannya agar senantiasa berbudi pekerti yang jujur dan berakhlak mulia.

Nanti, andai kata moralitas manusia kian bobrok dan busuk, barong sebagai simbol pejuang kebenaran akan bertindak sebagai penumpas kezaliman, seperti yang dikisahkan dalam mitos Barong Swari karena manusia sudah menjadi gerombolan buta kala, dedemit, dan setan yang perlu dikembalikan dan diruwat kemanusiaannya. Barong akan konsisten menjadi penyeimbang di posisi dharma (kebajikan) atas adharma (kezaliman), dualisme rwa-bhineda yang tak pernah henti bergejolak.