Menanti Negarawan
Peledakan dan penyerangan teroris di beberapa tempat di Tanah Air, pada hemat saya, tidak patut dijadikan panggung politik dan pencitraan oleh elite politik.
Dari media massa saya menyaksikan ada segelintir elite politik yang kemudian menjadikan momentum bengis ini sebagai alat pencitraan dengan menyudutkan pemerintah dan memetik untung bagi diri sendiri, partai, dan kelompoknya. Tak tampak sama sekali empati bagi keluarga korban yang masih menanggung duka karena ditinggal orang-orang yang mereka sayangi.
Dengan hanya saling menyalahkan tanpa mencari solusi konkret, tanpa sadar kita telah jadi agen dan promotor terorisme tanpa harus menjadi pelaku teror. Jangan salahkan rakyat kalau menyimpulkan kejadian ini by design dan ada dalangnya karena pernyataan yang kurang tepat. Tak tepatlah menjadikan aksi teror ini dengan mengail di air keruh dan mencari untung sendiri seolah-olah kelompok dan partainya sendiri lebih baik. Justru pemerintah yang tengah berjibaku melawan terorisme perlu dibantu dengan pernyataan menyejukkan.
Menjelang Pilkada 2018 dan Pilpres 2019, tidaklah tepat tangisan korban dipakai untuk memetik untung politik dan menganggap pemerintah gagal. Pada saat seperti ini tunjukkan rasa empati kita dengan peduli pada keluarga korban. Sadar bahwa manusia tak paham semua soal, tidak semestinya semua hal dikomentari. Lebih baik kita banyak bekerja dan sedikit bicara. Apa salahnya justru mempercepat pengesahan RUU Terorisme ketimbang hanya berpolemik tanpa ujung.
Saatnya bangsa ini lebih dewasa: jangan semua hal ditarik ke ranah politik karena hanya akan melahirkan rasa benci dan sikap permusuhan. Jadilah politisi yang negarawan.
Paulus Mujiran
Manyaran Semarang Barat, Semarang
Konfirmasi Data Rehabilitasi Adiksi
Setelah membaca "Rehabilitasi Adiksi" oleh Muhammad Hatta di rubrik Surat kepada Redaksi edisi 16 Mei lalu, saya ingin mengonfirmasikan antara fakta dan data yang diangkat sebagai acuan dengan konten masalah yang diulas penulis.
Penulis mengangkat data pengguna narkotika: yang tertangkap 58.365 tersangka, hanya 18.311 penyalah guna yang direhabilitasi. Penulis mengulas tentang minimnya koordinasi antarlembaga terkait: Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, dan Badan Narkotika Nasional (BNN). Katanya, penerapan layanan rehabilitasi masih tumpang tindih wewenang. Disinggung juga hasil investigasi Ombudsman.
Ulasan penulis lebih menitikberatkan pelaksanaan rehabilitasi secara sukarela (nonkasus hukum), sedangkan data yang ditampilkan adalah data pada jumlah kasus hukum. Sangat disayangkan, penulis tidak mengulas lebih jauh mengapa dari sejumlah kasus penyalahgunaan yang tertangkap, hanya segelintir yang mendapatkan hak untuk rehabilitasi.
Dibahas juga mengenai minimnya sosialisasi atas program IPWL (institusi penerima wajib lapor) yang seharusnya menjadi ujung tombak pengobatan. Namun, tidak dibahas hasil kajian yang dilakukan BNN bersama Rumah Cemara tentang "Evaluasi Peraturan Bersama Tujuh Kementerian tentang Penempatan Pencandu, Korban Penyalahgunaan Narkotika ke Dalam Rehabilitasi". Hasil evaluasi ini menunjukkan minimnya jumlah tersangka kasus penyalahgunaan narkotika yang mendapatkan hak atas asesmen serta penggunaan pasal pemidanaan atas kepemilikan dan penguasaan dengan pidana minimal empat tahun.
Saya berharap Muhammad Hatta selaku dokter di BNN, instansi yang berperan penting dalam masalah narkotika, dapat lebih menajamkan perbandingan agar tak terjadi disinkronisasi antara data yang diangkat dan masalah yang hendak diulas.
Subhan Hamonangan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar