Tentu saja puasa tidak hanya mengajarkan keterampilan menahan lapar dan dahaga sepanjang siang. Imperatif moralitasnya melampaui itu. Puasa sejatinya menginjeksikan kesadaran sublim perasaan empatik dan kelembutan jiwa.

Puasa menyegarkan ingatan tentang pentingnya mengembalikan agama kepada khitahnya: menebar kasih sayang. Puasa sebagai akar religiositas  di mana fungsi profetik rahmatan lil alamin diharapkan mekar untuk kebaikan bersama.

Dengan berpuasa diharapkan kohesivitas sosial tumbuh. Solidaritas dan gotong royong menemukan lagi jangkar imannya yang kokoh.

KOMPAS/MEGANDIKA WICAKSONO

Ratusan warga dan tokoh lintas agama serta penghayat kepercayaan di Kabupaten Banyumas menggelar doa bersama dan menyerukan perdamaian, Minggu (13/5/2018) di Alun-Alun Purwokerto. Mereka mengecam aksi pengeboman gereja dan mengutuk terorisme.

Tema ini relevan kita aktifkan justru di tengah situasi kebangsaan yang akhir-akhir ini dikotori kaum teroris yang mengatasnamakan agama, akan tetapi perilakunya berbanding terbalik dengan ajaran suci agama. Kejadian di Markas Komando Brimob, yang menewaskan lima polisi dan bom di tiga gereja di Surabaya yang merenggut 28 nyawa dan melukai puluhan lainnya memberikan alarm bahwa terorisme bukan isapan belaka tetapi sudah berada di depan pintu halaman rumah kita, di pelataran terdepan bangsa.

Terorisme bukan drama, apalagi rekayasa, akan tetapi nyata dan setiap saat siap meledakkan bom rakitannya di depan siapa pun yang dianggap kafir dan menghalangi fantasi primitif politik arkaiknya.  Tragisnya, pemicunya tidak hanya dilakukan laki-laki dewasa, tetapi melibatkan perempuan dan bahkan anak kecil.

Agama waham

Agama yang otentik tidak pernah mengajarkan kekerasan, baik fisik ataupun simbolik.  Kepalsuan dan kesahihan sebuah keyakinan bisa dirujuk dari indikator utamanya  apakah keyakinan itu menggemakan risalah ketenteraman, damai kasih, perkawanan, atau malah  kebalikannya. Sudah cukup dikatakan agama itu palsu ketika yang ditanamkan pada jemaahnya adalah  kebencian  dan seruan pembunuhan terhadap  yang tak sehaluan. Yang terakhir ini sesungguhnya bukan agama, tetapi delusi atau  waham: agama seolah- olah.

Inilah yang dikritik keras Richrad Dawkins, dalam The God Delusion, bahwa waham itu gejala penyakit yang diderita secara personal, tetapi apabila menimpa banyak orang maka dinamakan "agama".

Terorisme hampir dapat dipastikan selalu bermula  dari puritanisme. Berawal dari penafsiran keagamaan   bipolar, hitam putih, dan pendakuan membabi-buta atas faham yang dianutnya. Mereka menautkan teologinya pada  teks-teks keagamaan atau fikih Abad Pertengahan yang dimaknai  secara  serampangan.

Sisa terbesarnya: obsesi  merebut kekuasaan politik bukan untuk tujuan sakral membangun kerajaan ilahiah di muka bumi, akan  tetapi memburu tahta dan motif profan kebendaan.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Warga lintas agama dari beragam profesi dan latar belakang mengikuti aksi solidaritas #KamiBersamaPOLRI di depan Markas Besar Polri, Jakarta Selatan, Kamis (10/5/2018) malam.

Negara Islam Irak Suriah (NIIS/ISIS) adalah contoh paling telanjang  bagaimana agama dibajak untuk tunduk pada hasrat degil kekuasaan, pada trayek politik duniawi semata. Bahkan kalau perlu mereka bikin fikihnya juga. Tujuannya tak lain agar orang yang bergabung di dalamnya merasa nyaman karena ada legitimasi keagamaannya. Fikih dima (fikih darah) seperti ditulis ideolog NIIS Abu Abdullah al-Muhajir adalah referensi para teroris dalam menjalankan aksi-aksi biadabnya. Ideologi di balik fikih dima adalah memilih hidup atau berjuang sampai mati daripada menyerah kepada musuh.

Seperti diteliti   AE Priyono (2018), kitab setebal 579 itu dibagi dalam beberapa bab dengan judul yang mengerikan. Seperti Pemenggalan Kepala, Pencincangan Tubuh, Penculikan atas Para Kafir, atau Bagaimana Membunuh Mata-mata. Termasuk di dalamnya cara genosida, penggunaan senjata pemusnah massal, pembunuhan atas penduduk (sipil) non-kombatan, perbudakan seks atau perbudakan sandera.

Untuk mencegah semakin menjamurnya terorisme, tentu saja bukan hanya menggelorakan roh ritus puasa, akan tetapi juga  mengandaikan  peta jalan strategis yang semestinya menjadi agenda seluruh komponen bangsa. Meliputi, pertama, masyarakat, negara, ormas keagamaan tak boleh kendor mempromosikan tafsir keagamaan inklusif,  terbuka,  sistematis  dan berkelanjutan. Sekaligus kerja sama partisipatif  antar-semua golongan untuk memastika bahwa kebinekaan tetap terjamin.

KOMPAS/I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA

Pemuka lintas agama berkumpul di Gedung Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Minggu (13/5/2018). Mereka menyerukan masyarakat untuk bahu membahu bersama pemerintah dalam memerangi aksi teror

Kebinekaan bukan sekadar dikhotbahkan tetapi menjadi laku. Mengalami keragaman. Secara ontologis orang lain bukan musuh yang boleh ada atau lenyap, akan tetapi  belahan    tak terpisahkan   roh kita. Kehadiran kita secara eksistensial ditentukan liyan.

Kedua, negara jangan sampai kalah oleh gerakan yang mengancam keutuhan bangsa. Negara harus selalu hadir melalui kebijakan dan sistem regulasinya (UU dan perppu) yang padu.  Bahwa setiap warga negara dijamin keamanan, kelayakan dan kehormatan hidupnya (dignitas). "Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia".

Sebagai bentuk kepercayaan terhadap negara, maka semua penyelesaian  persoalan kita percayakan kepada yang berwenang. Tidak main hakim sendiri.    Hukum berbanding  lurus dengan keadilan dan kebenaran. Tidak tebang pilih dan apalagi sampai dinegosiasikan dengan  kepentingan pragmatisme politik.

Ketiga, Pancasila sebagai ideologi negara sudah saatnya  menjadi napas kehidupan segenap warga.  Pancasila sebagai titik temu anak bangsa, payung  besar tempat seluruh rakyat berteduh.

DOK PRIBADI DIN SYAMSUDDIN

Utusan Khusus Presiden RI untuk Dialog dan Kerjasama Antar Agama dan Peradaban (UKP-DKAAP) Prof. Dr. Din Syamsuddin beserta delegasi bertemu Imam Besar Grand Syaikh Al-Azhar Prof. Dr. Ahmad Thoyyib di Masyikhotil Azhar Kairo, Jumat (9/3/2018).

Dalam pembahasaan Yudi Latif, mesti ada gerakan kebudayaan pengarusutamaan Pancasila  melalui lima jalur: (a) jalur pemahaman yang kemudian akan melahirkan Indonesia memiliki kecerdasaan kewargaan; (b) jalur inklusi sosial akan melahirkan Indonesia rukun; (c) jalur keadilan sosial akan melahirkan Indonesia berbagi kemakmuran;  (d)  jalur kelembagaan akan melahirkan Indonesia tertata; dan  (e)  jalur keteladanan melahirkan Indonesia yang mulia.

Keempat, optimisme hadirnya keindonesaan yang  berkeadaban.   Tidak bosan bermimpi ihwal kemajuan. Optimisme yang  tentu saja harus diiringi langkah- langkah strategis  pemerintah dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara, baik dalam sektor ekonomi, sosial, pendidikan atau  kebudayaan.

Teladan kenabian

Memasuki bulan puasa, memori kolektif kita seperti ditarik pada masa kenabian. Tentang  sosok Muhammad SAW   yang telah mengalirkan mata air keteladanan yang utuh dalam segenap hal. Wajar kalau penyair Pakisatan, Muhammad Iqbal, bilang, "Bagiku cukup al-Mustafa". Kanjeng Nabi   ini yang seharusnya menjadi contoh, bukan al-Bagdhadi atau siapa pun yang sering kali menyampaikan ceramah provokatif.

Nabi Muhammad  yang menebarkan kasih sayang bukan hanya kepada anak, istri, para sahabat, bahkan kepada mereka yang berlainan keyakinan, malah juga alam dan binatang. Suatu hari pernah datanglah serombongan orang  memanggul keranda ketika Nabi sedang duduk-duduk bersama para sahabatnya. Nabi kemudian berdiri memberikan penghormatan penuh. Seorang sahabat mengingatkan bahwa jenazah itu seorang  Yahudi. Kata Nabi, "Yahudi juga sama manusia."

Di lain kesempatan,  Nabi bertanya tentang  seorang Yahudi yang tidak lagi melemparinya  ketika hendak sembahyang. Seorang sahabat memberi jawaban  bahwa Yahudi tersebut tengah terbaring di rumah sakit. Sang Nabi alih-alih bergembira, justru bersedih hati. Kemudian membesuknya dan  menyuapinya.

Perilaku ini sampailah kepada kawan setianya.  Besok hari kawannya  ini melakukan hal sama.  Menengok dan tak ketinggalan membawa makanan  dan juga menyuapinya. Ternyata Yahudi yang sedang terbaring lemas  bisa membedakan mana suapan kasih sayang dan mana yang diiringi keterpaksaan.