AFP/RAMI AL SAYED

Asap tebal membubung, Jumat (20/4/2018) di distrik selatan ibu kota Suriah, Damaskus, selama serangan tentara Pemerintah Suriah terhadap posisi kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Serangan udara rezim Suriah dan gempuran artileri menghujani wilayah yang masih berada di bawah kontrol NIIS.

Irak dan Afghanistan, juga Suriah dan Libya, adalah contoh negara- negara yang dikoyak-koyak oleh perang saudara, perang sektarian, dan sepak terjang terorisme.

Secara cepat kita tentu akan sepakat mengatakan, "Kita harus berusaha sekuat tenaga untuk tidak menapaki jalan yang sama dengan mereka!" Negeri ini harus tetap bersatu, penuh persaudaraan, saling menghormati, perbedaan bukan kelemahan, melainkan justru kekuatan. Indonesia harus seperti pelangi, yang indah ketika semua warna bersatu membentuk sebuah lengkungan yang indah di langit.

Kisah Irak sangat terang benderang. Jatuhnya Presiden Saddam Hussein karena digusur pasukan koalisi pimpinan AS telah melemparkan "Negeri Seribu Satu Malam" itu ke jurang kekelaman. Perang bernada sektarian menguasai Irak. Aksi terorisme dengan peledakan bom, entah itu bom bunuh diri ataupun bom mobil, menjadi menu sehari-hari. Begitu banyak nyawa melayang sia-sia. Dan, pemerintah Baghdad hampir tak mampu berbuat apa-apa karena napas sektarianismenya begitu kuat.

Afghanistan pun tidak jauh berbeda. Negeri yang indah itu terkoyak-koyak oleh perang saudara. Serangan terorisme juga terjadi hampir saban hari. Berbagai upaya untuk mendamaikan pihak-pihak yang berseteru seakan-akan tidak membuahkan hasil. Afghanistan begitu gelap, seakan tidak ada jalan keluar untuk menuju negara yang aman dan damai. Korban jiwa begitu banyak pula, belum terhitung mereka yang terpaksa meninggalkan negerinya mencari keselamatan hidup di luar.

Kondisi Suriah bahkan jauh lebih buruk. Hingga kini tidak terlihat tanda-tanda akan ke mana negeri itu mengarah. Bermula dari protes rakyat akan keadilan, akan demokrasi, akan kebebasan menjelma menjadi perang saudara, lalu perang sektarian, dan mengundang kekuatan asing masuk. Walhasil, Suriah terpecah-pecah. Ratusan ribu warganya mati. Jutaan mengungsi. Jutaan lainnya kehilangan tempat tinggal. Kekuasaan teror menguasai negeri itu.

Nafsu kekuasaan telah bercampur dengan fanatisme agama yang berlebihan. Melihat orang lain salah, dan menganggap dirinya paling benar. Yang berbeda harus disingkirkan. Yang boleh hidup hanyalah yang sama. Sungguh, pandangan semacam itu telah menghancurkan Suriah. Ditambah lagi, tangan-tangan asing yang ingin mencari keuntungan.

Sekali lagi, seperti ditulis di awal ulasan pendek ini, kita tidak ingin mengikuti jejak mereka. Bukankah sebuah ironi kalau kita bisa mengumpulkan dan sekaligus menjadi tuan rumah mereka yang berseteru di Afghanistan, sementara kita justru diserang dari belakang oleh teroris? Dunia jelas-jelas telah menyatakan perang terhadap terorisme yang menempuh cara-cara tidak manusiawi, tidak berhati, yang adalah anak kegelapan dan mengembangkan politik kegelapan, menebar rasa takut.