Menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB mulai awal 2019, Indonesia perlu meningkatkan wibawa dan karismanya di mata dunia agar dapat berperan dalam ikut menciptakan perdamaian dan keadilan antarbangsa. Salah satu caranya ialah dengan menyelesaikan masalah pelanggaran HAM di negeri kita sendiri, baik melalui pengadilan maupun melalui islah tulus-ikhlas antara pihak yang dianggap telah menzalimi dan pihak yang merasa dizalimi.

Rekonsiliasi adalah rujuk kembalinya dua orang atau dua pihak yang bermusuhan, baik yang permusuhannya terbuka maupun yang terpendam di dalam hati bak sekam dimakan api. Namun, ikatan batin antarwarga satu bangsa sangat kuat.

Karena itu, permusuhan di antara dua pihak yang sebangsa, bahkan yang memuncak dalam perang saudara dan memecah negaranya menjadi dua negara pun, cepat atau lambat akan berakhir dengan rekonsiliasi. Jerman Barat dan Jerman Timur bersatu kembali menjadi Jerman Bersatu/Serikat di bawah pemerintah pimpinan seorang Bundeskanzler(in), dan pusat pemerintahan diboyong kembali dari Bonn ke Berlin. Kendati melalui perang yang ditunggangi Amerika, Vietnam Utara bersatu lagi dengan Vietnam Selatan. Demikian pula sekarang mulai tampak secercah sinar harapan akan menyatunya kembali Pyongyang dengan Seoul.

Rekonsiliasi juga terjadi antara rakyat Argentina yang tertindas dan rezim oligarki junta militer pimpinan jenderal-jenderal seperti Vidella dan Gartiliery, sesudah pengujungnya diwarnai perang melawan Inggris dalam berebut Malvinas (Falkland). Malvinas adalah pulau kecil di lepas pantai ujung selatan Argentina, jauh dari negaranya Ratu Elizabeth II. Namun, penduduknya mengibarkan Union Jack, menyanyikan "God Save The
Queen", dan setia kepada Sang Ratu.

Di Afrika Selatan, setelah "ditebus" dengan meringkuknya Nelson Mandela di penjara selama likuran tahun, rezim Apartheidakhirnya tumbang dan segregasi di masa kekuasaan kulit putih mulai dari Verwoerd, melalui Botha, dan sampai dengan de Klerk berakhir dengan rekonsiliasi damai.

Perasaan mengganjal lantaran adanya pelanggaran berat HAM di Indonesia pun mulai menampakkan titik terang menuju penyelesaian yang akan disyukuri bersama oleh semua pihak. Rangkaian pelanggaran HAM yang terentang mulai Gestapu 1965 sampai Tragedi Trisakti dan Reformasi 1998, yang sudah diprotes secara damai melalui 540 kali "Kamisan" di seberang Istana Merdeka selama 11 tahun, tampak tanda-tandanya akan diselesaikan dengan baik.

Rekonsiliasi Maespati

Kita dapat meniru rekonsiliasi gaya Mandela. Kita juga dapat menemukan cara kita sendiri (yang mungkin akan disebut rekonsiliasi ala Jokowi). Namun, kita juga bisa mengambil rekonsiliasi Sumantri-Sosrobau sebagai teladan. Rekonsiliasi melalui perang tanding yang berlangsung secara ksatria dan terhormat itu dikisahkan dengan peragaan oleh dalang kita dalam lakon "Sumantri Ngenger".

Bambang Sumantri, pemuda dari pertapaan di gunung, mematuhi perintah ayahandanya, sang pertapa, Resi Suwandagni, untuk mengabdi di Kerajaan Maespati. Ketika ia menghadap raja Maespati, Prabu Harjuno Sosrobahu, kebetulan sang raja itu sedang ingin mempersunting Dewi Citrawati, sekar kedaton Magada. Sang Dewi dijadikan hadiah bagi pemenang sayembara perang "alap-alapan Citrawati".

Untuk memamerkan kebolehannya, Sumantri menawarkan kesanggupannya mewakili Prabu Harjuno Sosrobau dalam sayembara itu. Oleh Prabu Harjuno Sosrobau, itu dianggap cumanthoko, artinya sok kelewat berani, belum disuruh sudah mau. Namun, kesanggupan Sumantri diluluskan oleh sang raja.

Ternyata Sumantri memang mumpuni. Ia berhasil mengalahkan semua pesaingnya, yakni raja-raja dari 1.000 negara. Maka, Dewi Citrawati bersama pengiringnya, putri-putri domas, diboyong Sumantri ke Maespati.

Di tapal batas Maespati iring- iringan keretanya berhenti. Patih Maespati yang menjemputnya dibiarkan saja oleh Sumantri berdiri di jalan, sedang ia sendiri tetap duduk gagah di kereta. Sumantri bahkan lebih sombong lagi, disuruhnya sang mahapatih itu menyampaikan pesan kepada Prabu Harjuno Sosrobau bahwa ia hanya mau menyerahkan Dewi Citrawati kalau Raja Maespati mampu mengalahkannya.

Kekurangajaran Sumantri membuat Patih Maespati itu marah dan semua dilaporkannya kepada Prabu Harjuno Sosrobau, yang juga menjadi panas hatinya. Tantangan Sumantri dilayaninya, tetapi Sumantri diberinya dulu busana raja demi membuatnya tampak sederajat dengan dirinya sebagai raja binatara.

Sumantri memang sakti mandraguna. Senjatanya, Cakra Baskara, ampuh bukan kepalang. Namun, itu semua tidak berdaya melawan Prabu Harjuno Sosrobau karena Raja Maespati itu avatar, titisan Dewa Wisnu. Sumantri kalah telak dan menyerah tanpa syarat. Melihat ketulusan Sumantri, Prabu Harjuno Sosrobau lalu mengampuninya. Sumantri (yang sebenarnya masih adik sepupunya sendiri) diterima mengabdi di Maespati.

Namun, karena Sumantri bersalah, ia harus dihukum. Ia harus memindahkan Taman Sriwedari dari negerinya Dewi Citrawati ke Maespati. Tidak sehelai daun pun boleh rontok; seluruh taman itu harus utuh sampai Maespati.

Beruntung, Sumantri dibantu adindanya, Bambang Sukrosono, yang buruk rupa tetapi baik hati dan sangat sakti. Taman Sriwedari dapat dipindahkan ke Maespati dengan sempurna. Namun, ketika Dewi Citrawati menikmati keindahan Taman Sriwedari, ia "kepergok" Sukrosono dan menjadi ketakutan. Prabu Harjuno Sosrobau pun lalu memerintahkan Sumantri untuk mengenyahkan "monster" di taman itu.

Karena Sukrosono tidak mau dibujuk agar pulang saja ke pertapaan di gunung, Sumantri berpura-pura mengancamnya dengan panah Cakra-nya. Celakanya, tanpa disengaja, anak panahnya lepas dan menewaskan Sukrosono. Sumantri menyesal, tetapi "nasi sudah jadi bubur".

Prabu Harjuno Sosrobau lalu mewisuda Sumantri jadi Mahapatih Maespati dengan gelar Patih Suwondo. Pengabdian Patih Suwondo di Maespati total, sampai mati di tangan Prabu Dosomuko. Kumara. Rohnya disongsong Sukrosono dan kedua kakak-beradik itu naik ke surga.

Prabu Harjuno Sosrobau bersikap forgive and forget (maafkan dan lupakan) terhadap Sumantri. "Sing wis ya wis" (yang sudah, ya, sudah; let bygones be bygones).

Itulah rekonsiliasi yang indah. Rekonsiliasi yang sama-sama terhormat bagi kedua pihak dan terjadi dengan penuh ketulusan. Seperti itulah yang kita harapkan akan menghapus luka hati yang telah dan masih diderita pihak yang merasa terzalimi selama 20-53 tahun. Bagaimana kita bisa ikut menjaga perdamaian dunia kalau kita tidak dapat berdamai dengan sesama putra bangsa kita sendiri?

L Wilardjo  Guru Besar Universitas Kristen Satya Wacana


Kompas, 28 Juni 2018