Berdasarkan hasil jajak pendapat terhadap 550 ahli tentang isu perempuan dunia, Reuters menulis, perempuan Arab Saudi masih tetap dikontrol keluarga dan/atau saudara laki-lakinya. Bahkan, jajak pendapat itu menempatkan perempuan Arab Saudi berada di antara lima negara yang perempuannya dalam bahaya di bawah India, Afghanistan, Suriah, dan Somalia.

Seperti diberitakan Kompas, Reem Farahat sampai menangis dua kali karena saking terharunya setelah bisa bekerja di luar rumah sebagai pengemudi taksi dalam jaringan (daring). "Pagi ini, ketika saya masuk ke dalam mobil, saya merasa air mata saya menetes. Saya benar-benar tak menyangka," kata Reem.

Sejak Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz al-Saud menunjuk Pangeran Mohammed bin Salman sebagai putra mahkota, Arab Saudi mengubah banyak paradigma kehidupan perempuan. Mereka tak hanya boleh mengemudi kendaraan sendiri, tetapi berolahraga pun sudah diperbolehkan.

Masalah utama buat perempuan di Arab Saudi adalah kebijakan perwalian Arab Saudi. Seorang perempuan harus mendapat izin dari kerabat laki-laki atau suaminya untuk bekerja, bepergian, menikah, dan bahkan sekadar mendapatkan perawatan medis.

Keberanian Pangeran Mohammed bin Salman mulai mengubah hidup perempuan Arab Saudi. Perempuan Arab Saudi yang menjadi pengemudi, seperti Reem, bisa menjemput pelanggan perempuan atau laki-laki.

Banyak yang memuji pencabutan larangan terhadap perempuan yang mengemudi sebagai bukti tren progresif baru di bawah Mohammed bin Salman. Namun, adanya penangkapan dan penahanan terhadap aktivis perempuan sedikit membuat kampanye untuk memberikan hak asasi yang penuh kepada perempuan sempat tertunda.

Mungkin aktivis perempuan sangat ingin melihat dampak nyata dari pemenuhan hak asasi perempuan Saudi sehingga mereka bernafsu melakukan kampanye. Di sisi lain, mereka yang menentang kebijakan soal perempuan ini juga tidak sedikit, baik dari kalangan ulama maupun kerabat kerajaan.

Dengan Visi 2030, Putra Mahkota Pangeran Mohammed berharap dapat meningkatkan partisipasi perempuan dalam angkatan kerja hingga 30 persen dari 22 persen, sesuatu yang dipandang cukup liberal. Moderasi ajaran Islam bukan tanpa risiko bagi kepemimpinan Putra Mahkota, apalagi kerajaan juga menangkapi ulama yang menentang keras kebijakannya.