Paling tidak ada dua agenda penting terkait keterlibatan agama di ranah publik di negeri ini. Pertama, ekstremisme paham keagamaan. Keterlibatan agama di ranah publik memberi ruang beragam ekspresi keberagamaan, termasuk munculnya ekstremisme keberagamaan dengan beragam aktualisasinya, seperti diskriminasi, persekusi, bahkan upaya negasi terhadap eksistensi yang berbeda. Bom gereja di  Surabaya (13/5/2018) dan penyerangan Ahmadiyah di Lombok (19/5/2018) adalah eksemplar negasi yang amat gamblang dibaca.

KOMPAS/ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN

Sebanyak 47 peserta "Dialog Antar Agama Masyarakat Indonesia di Eropa" yang sebagian besar merupakan masyarakat diaspora Indonesia di 23 negara Eropa berkesempatan berkunjung ke Masjid Agung Roma, Selasa (3/7/2018)

Kedua, perselingkuhan agama dan politik. Kehadiran agama di ranah publik membuka ruang munculnya beragam model relasi agama dengan aspek kehidupan lainnya, termasuk dengan politik. Perselingkuhan agama dan politik tampil dalam dua wajah yang sama-sama distortif sekaligus destruktif bagi bangunan kebangsaan dan misi agung agama itu sendiri, yaitu politisasi agama atau agamaisasi politik.

 Ragam tafsir

Munculnya ekstremisme maupun politisasi agama atau agamaisasi politik menunjukkan adanya kontestasi di ruang publik yang dapat "mengancam" pasar kebebasan. Era reformasi memberi ruang kontestasi bagi politik dan agama dalam langgam yang cenderung tanpa batas, bahkan melibas fatsun politik kebangsaan. Problem ini hadir karena perbedaan tafsir publik yang memberi ruang luas pada agama tanpa menjadi negara agama.

Baik pada ranah awam maupun elite, terjadi ragam penafsiran dalam menempatkan agama di ranah publik. Walaupun agama publik tetap menahbiskan batas antara agama dan publik, tetapi faktanya kecenderungan perselingkuhan keduanya sangat kuat. Bahkan dalam beberapa kasus di masyarakat (negara) Muslim, diferensiasi keduanya sulit diurai (Esposito, 1991).

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Kebersamaan Keberagaman Dalam Pancasila – Umat lintas agama berkeliling ke dalam Gereja Katedral, Jakarta, saat kumpul menjelang buka bersama lintas agama dengan tema Menguatkan Toleransi, Persaudaraan, dan Solidaritas Kemanusiaan, Jumat (1/6/2018). Berkumpulnya umat lintas agama di saat Hari Lahir Pancasila ini menjadi salah satu bentuk nyata kuatnya kebersamaan lintas iman yang penting menguatkan persatuan dan kesatuan bangsa.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO (RON)
01-06-2018

Berdasarkan diskursus yang berkembang selama ini, relasi agama dan negara (publik) di Indonesia mencerminkan tiga corak pandang.

Pertama, pandangan integralistik. Walaupun secara sistem kenegaraan Indonesia menempatkan agama dalam posisi diferensial, tetapi kesadaran tentang agama yang serba mencakup (kaffah) dan harus diaktualisasikan secara formalistik-simbolik masih menjadi sudut pandang sebagian warga.

Pernyataan Aman Abdurrahman, pendiri Jamaah Anshorut Daulah (JAD), misalnya, bahwa hukum dan pemerintahan di Indonesia adalah kafir karena tidak berlandaskan Al-Quran (Kompas, 25/5/2018) menunjukkan puncak gunung es dari rapuhnya konstruksi kebangsaan warga.

KOMPAS/NINA SUSILO

Beragam
Sekolah Kuncup Melati Semarang menjadi ruang bagi siswa, guru, donatur dari beragam latar belakang suku, agama, ras. Semua bergabung dalam harapan untuk maju bersama tanpa membedakan latar belakang tersebut, Adapun para guru maupun donatur yang juga dari beragam latar belakang berkumpul dengan niat baik yang sama, mencerdaskan anak-anak Indonesia yang kebetulan tak beruntung secara ekonomi. Saat foto diambil akhir Februari 2018, para guru dan siswa berinteraksi dalam permainan tanya jawab.
KOMPAS/NINA SUSILO (INA)
23-02-2018
u tulisan pilkada jateng

Kedua, pandangan dominatif. Sebagian umat beragama memandang agama memiliki hak menguasai ranah publik dengan simbol-simbolnya yang khas. Misalnya muncul Perda Syariah, Perda Injil, Perda Hindu, dan peraturan berwajah agama lainnya yang memicu kegaduhan dan mempertebal sekat perbedaan antar agama. Begitu juga penggunaan idiom agama yang spesifik di ranah publik merupakan ekspresi dominatif. Misalnya, klasifikasi partai politik menjadi partai setan dan partai Allah sebagaimana disinyalir oleh Amien Rais.

Pejalan kaki melintas di dekat spanduk yang menolak digunakannya isu mengenai suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) untuk meraih simpati dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) di jembatan penyebrangan Rawamangun, Jakarta Timur, Senin (10/10/2016).

Ketiga, pandangan diferensial. Pandangan ini menempatkan agama dan politik sebagai dua ranah yang pada titik tertentu bisa berpotensi memecah belah, karena itu perlu dipisah. Hal ini bisa dibaca, salah satunya, dari pernyataan Presiden Joko Widodo pada awal 2017 tentang urgensi pemisahan agama dan politik dalam kehidupan publik. "Dipisah betul, sehingga rakyat tahu mana yang agama, mana yang politik,"  ujar Presiden Jokowi. (Kompas.com, 24/3/17).

Ragam pandangan di atas menunjukkan perbedaan persepsi baik di ranah awam maupun elite dengan implementasi yang berbeda pula. Karena itu, diperlukan sinergi konsepsi atau kesamaan persepsi, sebagai alat pijak dalam pengembangan kehidupan agama publik yang konstruktif bagi masyarakat yang majemuk.

Pijakan publik

Ruang kebebasan yang hadir di era reformasi sejatinya melahirkan penguatan paradigma posisi agama di ranah publik sebagai lokus kebangsaan. Apalagi kontestasi diskursus agama dan politik di ranah publik sudah lama berlangsung, dan negara, terutama di era reformasi, telah memproduksi banyak institusi, termasuk kebijakan yang dirancang untuk mempercepat capaian agenda transformasi.

Namun keberadaan institusi dan dinamika wacana belum sepenuhnya efektif berkelindan, sehingga problem terus berulang seakan tanpa ujung. Karena itu, agenda relasi konstruktif agama dan negara bisa dilakukan melalui optimalisasi atau institusionalisasi lembaga yang sudah ada.

KOMPAS/ISMAIL ZAKARIA

Berbagai pihak termasuk di dalamnya Wakil Gubernur Sumatera Barat Nasrul Abit, Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Barat Inspektur Jenderal Fakhrizal, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan pasangan calon walikota dan wakil walikota peserta Pilkada serentak di empat kota yakni Padang, Padang Panjang, Pariaman, dan Sawahlunto, membubuhkan tandatangan usai acara Silaturrahmi Sumatera Barat "Basamo Mambangun Nagari" Melalui Pilkada Badunsanak Tahun 2018 di Padang, Rabu (21/2/2018).

Pertama, selama ini persoalan kehidupan beragama lebih dipandang sebagai agenda sektoral. Dalam konteks institusi, masalah tersebut menjadi ranah Kementerian Agama, sementara agama semakin menguat menjadi napas publik dalam beragam ranah. Karena itu, keagamaan harus menjadi ruh semua lembaga negara sebagai penguat sinergi antar- lembaga dan aktualisasi misi profetik agama.

Keberadaan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), misalnya,  bisa mengontruksi Pancasila melalui semangat agama publik, sehingga lahir warga yang Pancasilais sekaligus agamis. Bangga mengatakan; saya Pancasilais, justru karena saya agamis. Dengan demikian, masyarakat merasakan kesenyawaan antara agama yang diyakini dengan ideologi yang dipahami melalui sikap dan perilaku kebangsaan.

HUMAS POLRESTA TANGERANG KABUPATEN

Doa bersama lintas agama menjelang Pemilihan Bupati Tangerang dan wakilnya digelar Polresta Tangerang Kabupaten di Gereja Katolik Santa Odilia, Panongan, Kabupaten Tangerang, Minggu (24/6/2018). Doa bersama ini dipimpin Ketua FKUB Kabupaten yang juga Sekretaris MUI Kabupaten Tangerang, KH Nur Alam.

Kedua, revitalisasi kaukus civil society keagamaan. Agenda kaukus ini adalah penguatan inklusivitas keberagamaan publik. Langkah ini penting untuk membangun solidaritas dan soliditas substantif antar-civil society keagamaan yang inklusif. Melalui diseminasi inklusivitas tersebut akan mempersempit ruang gerak eksklusivitas keberagamaan yang mengancam kebinekaan.

Ketiga, reorientasi politik keagamaan. Seiring tampilnya politik sebagai panglima dan agama yang semakin menguat di ranah publik, maka diperlukan reorientasi yang menempatkan agama sebagai kekuatan konstruktif (profetik) politik, bukan legitimatif. Selama ini partai, sebagai pilar penting politik dalam demokrasi, hanya merayakan simbol agama sebagai legitimasi dan justifikasi (politisasi agama) untuk kepentingan diri.

Dari kiri, aktifis dari JPPR Masyukurudin Hafidz, aktivis Formappi Sebaastian Salang, Aktivis Lima Indonesia Ray Rangkuti, Aktivis Lakpesdam NU Rumadi, dan aktivis aspirasi indonesia Iryanto Djou dalam sebuah diskusi terkait isu SARA dalam Pilkada di Jakarta, Kamis (15/9). Dalam kesempatan itu mereka menolak penggunaan isu Suku Agama Ras dan Asal Usul untuk menjatuhkan lawan politik. Mereka memilih mengutamakan debat program kerja dalam berkampanye.
Kompas/Wisnu Widiantoro (NUT)
15-09-2016

Akibatnya terjadi distorsi atas agama yang universal menjadi sektoral. "Payung keagamaan" yang dimiliki partai politik saat ini perlu direorientasikan dari formalistik-simbolik menjadi substantif-esensialistik dalam sikap dan perilaku politik kadernya yang bermoral.